Menuju konten utama

Hendi Prio Santoso, SIG Kelola Tempat Sampah Percontohan

Di negeri ini, bicara soal sampah dan pengelolaannya memang melulu memprihatinkan.

Hendi Prio Santoso, SIG Kelola Tempat Sampah Percontohan
Lokasi Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu Refused Derived Fuel (TPS RDF) di Cilacap, Jawa Tengah. FOTO/Dok. SIG

tirto.id - Oktober lalu, Ketua Umum Indonesia Solid Waste Association (InSwA) Sri Bebassari menyebut persoalan sampah di Indonesia—yang penanganannya terbilang sangat sulit dan kompleks—perlu diatasi lewat sebuah program jangka panjang.

"Di sisi lain, kita sudah di stadium lima dan bom waktu mengenai sampah ini harus jadi perhatian,” kata Sri.

Sampah, kita tahu, terdiri atas sampah organik dan non-organik. Bicara sampah organik saja, lebih khusus lagi sampah pangan, “prestasi” Indonesia tidak sembarangan, yakni peringkat kedua di bidang produsen sampah pangan terbanyak di dunia. Data “Food Sustainable Index” (2018) menyebut rata-rata penduduk Indonesia membuang kira-kira 300 kg makanan per tahun—unggul 23 kg lebih banyak dari warga Amerika Serikat.

Selain itu, temuan Jenna R Jambeck dan timnya yang dipublikasikan di Science Magazine (2015) juga tak kalah mencengangkan: dengan rentang 0,48 hingga 1,29 juta metrik ton, Indonesia lagi-lagi menjadi runner up dalam soal memproduksi sampah plastik di lautan.

"Jumlah timbunan sampah sangat besar, kira-kira 67,8 juta ton pada tahun 2020. Kelihatannya akan terus bertambah seiring pertumbuhan jumlah penduduk dan dengan semakin membaiknya tingkat kesejahteraan," kata Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya Bakar, Selasa (9/6/2020).

Di negeri ini, bicara soal sampah dan pengelolaannya memang melulu memprihatinkan—dan sebab itu penanganannya perlu dilakukan secara simultan, lewat program-program jangka panjang. Namun jika kita terus mengutuki keadaan, jangan lupa, justru dalam kondisi demikianlah berbagai upaya untuk mengentaskan persoalan sampah sebetulnya telah dilakukan banyak pihak. Baik ‘dalam senyap maupun terang-terangan’.

Di tataran nasional, misalnya, Indonesia punya Undang-undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Sampah. Belakangan, pemerintah juga merancang program Integrasi Pembelajaran Pengelolaan Sampah untuk dimasukkan di kurikulum sekolah. Sementara masyarakat mulai terbiasa mendengar anjuran 3R (Reduce, Reuse, dan Recycle), sejumlah korporasi—salah satunya adalah PT Semen Indonesia (Persero) Tbk (SIG)—punya program sendiri terkait sustainability.

“Didorong oleh visi perusahaan dan sustainability strategy kami, maka kami fokus pada circular economy business sebagai keunggulan kompetitif kami,” demikian keterangan Dirut SIG, Hendi Prio Santoso yang diterima Tirto.

Hendi menerangkan, demi mewujudkan pembangunan berkelanjutan, SIG berkomitmen untuk terus berinovasi dan mengembangkan teknologi melalui, salah satunya, pemanfaatan energi alternatif sebagai bahan bakar.

Pada saat bersamaan, hal tersebut juga dilakukan sebagai dukungan nyata terhadap pemerintah dalam mengurangi penggunaan batu bara. “SIG ingin memberikan solusi jangka panjang dalam mengatasi persoalan sampah domestik yang dapat memberikan dampak positif bagi lingkungan dan masyarakat.”

Infografik Advertorial SIG

Infografik Advertorial Olah Sampah Menjadi Energi Alternatif. tirto.id/Mojo

Dari Sekam Padi hingga Sampah Perkotaan

Kini, sambung Hendi, semua pabrik yang dimiliki SIG telah menggunakan biomassa sebagai bahan bakar alternatif. Di pabrik Solusi Bangun Andalas (Aceh), Semen Padang (Sumatera Barat) dan Semen Tonasa (Sulawesi Selatan), misalnya, bahan bakar alternatif yang dipakai berasal dari sekam pagi dan serbuk gergaji.

Sedangkan sejak 2008 lalu, seluruh operasional di Pabrik Tuban, Jawa Timur, sudah menggunakan bahan bakar biomassa dari sekam padi, sabut kelapa, limbah tembakau, dan biji jagung. Semua limbah pertanian itu didapat dari sejumlah kabupaten di Jawa Timur, antara lain Tuban, Lamongan, Bojonegoro, dan Banyuwangi.

“Tahun ini, saban bulan Pabrik Tuban menerima kiriman sekam padi sebanyak 2.553 ton, cocopeat 244 ton, limbah tembakau 244 ton, serta kertas reject sebanyak 90 ton,” beber Hendi.

Berbeda dengan pabrik-pabrik di atas, lewat fasilitas Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu Refused Derived Fuel (TPS RDF) di Tritih Lor, Jeruklegi, Cilacap, pabrik PT Solusi Bangun Indonesia Tbk (SBI)—salah satu anak perusahaan SIG—memanfaatkan sampah perkotaan (Municipal Solid Waste/MSW) sebagai bahan bakar alternatif dalam pembuatan semen.

TPS RDF, diresmikan pada Juli 2020, merupakan fasilitas pengolahan domestik terpadu pertama di Indonesia. Fasilitas ini dimiliki oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Cilacap (dalam hal ini Dinas Lingkungan Hidup, DLH) yang berkerja sama dengan Pemerintah Kerajaan Denmark, Pemerintah Provinsi Jawa Tengah, serta mendapat dukungan dari Kementerian LHK dan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahaan Rakyat (PUPR). Dalam proyek jangka panjang ini, SBI ditunjuk sebagai operator dan bertanggungjawab mempersiapkan sumber daya manusia melalui berbagai pelatihan, serta offtaker produk RDF.

RDF merupakan hasil olahan sampah domestik, diproses melalui metode biodrying, untuk dijadikan energi terbarukan dan dimanfaatkan sebagai bahan bakar alternatif. Pemanfaatan sampah tersebut mampu mensubstitusi penggunaan batu bara menjadi bahan bakar hingga 3% Substitusi Energi Panas (Thermal Substitution Rate/TSR).

TPS RDF dibangun di atas lahan seluas 1 hektare, mampu mengolah limbah sampah domestik sebesar 120 ton per hari dan menghasilkan 60 ton RDF per hari. Capaian tersebut berhasil menggantikan 40 ton batu bara per hari.

Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi RI Luhut Binsar Pandjaitan mengapresiasi keberadaan TPS RDF. Ia berharap fasilitas tersebut dapat menjadi percontohan bagaimana seharusnya sampah diproses dan dikelola.

“Harus ada terobosan dalam pengelolaan sampah sehingga dapat mengurangi ketergantungan pengelolaan sampah kota/kabupaten kepada Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) Sampah yang sampai saat ini keberadaannya selalu menjadi masalah, baik lingkungan maupun sosial. Semoga teknologi yang dibangun di Cilacap ini selanjutnya bisa menjadi contoh bagi daerah-daerah lainnya,” ujar Luhut.

Tangani Bantar Gebang

Akhir September lalu, SBI juga menjalin kerjasama dengan DLH Provinsi DKI Jakarta dan PT Unilever Indonesia untuk pengelolaan dan pemanfaatan sampah domestik di Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST) Bantar Gebang, Bekasi, Jawa Barat. Kerjasama ini hanya dilaksanakan pada zona tertentu yang operasionalnya sudah berlangsung lebih dari 10 tahun. Diketahui, dengan luas area 110, 3 hektar, TPST Bantar Gerbang merupakan TPST terbesar di Indonesia.

“Seperti di Cilacap, sampah domestik di TPST Bantar Gerbang akan diolah menjadi bahan bakar alternatif berupa RDF,” terang Hendi.

Secara teknis, proses awal mengubah sampah menjadi bahan bakar meliputi penggalian dan pengayakan. Dalam konteks TPST Bantar Gebang, sampah-sampah itu kemudian dikirim ke Pabrik SBI di Narogong, Jawa Barat, untuk dicacah. Di tahap akhir, kadar kelembapan sampah akan dikurangi dan campuran material lain dimasukkan sehingga menghasilkan RDF yang memenuhi standar kualitas alternatif bahan bakar untuk pabrik semen.

“Produk RDF yang akan dihasilkan dari proyek awal ini minimum 1.000 ton/bulan, di mana 80-90 persennya terdiri atas sampah plastik yang akan dimanfaatkan oleh SBI sebagai sumber energi alternatif,” pungkas Hendi.

Seiring menggunungnya masalah sampah di satu sisi dan di sisi lain pemerintah gencar mengkampanyekan pengurangan penggunaan batu bara, jelas, apa yang dilakukan SIG dengan memanfaatkan energi alternatif dan sustainability strategy patut diapresiasi. Pelan namun pasti, hal demikian membuktikan bahwa komitmen perusahaan terhadap lingkungan dan keberlanjutan nyata adanya.

(JEDA)

Penulis: Tim Media Servis