Menuju konten utama

Hasrat Represif Negara di Balik Penerapan PSBB yang Kurang Maksimal

Jaksa Agung ST Burhanuddin ingin pelanggar PSBB dipidana. Bagi beberapa orang, niat ini berlebihan. Aparat semestinya memaksimalkan saja peraturan yang sudah ada.

Hasrat Represif Negara di Balik Penerapan PSBB yang Kurang Maksimal
Petugas mengarahkan penumpang kendaraan roda empat untuk melakukan pembatasan sosial atau physical distancing di titik pemeriksaan di Gerbang tol Karawang Barat, Karawang, Jawa Barat, Rabu (6/5/2020). ANTARA FOTO/M Ibnu Chazar/foc.

tirto.id - Jaksa Agung ST Burhanuddin ingin aparat dapat melakukan "tindakan represif" saat menegakkan peraturan soal Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dalam rangka menekan penyebaran pandemi COVID-19. Menurutnya ini penting agar kebijakan tersebut lebih efektif.

Juga, katanya dalam konferensi pers di Graha BNPB, Jakarta, Jumat (8/5/2020), "supaya muka teman-teman di lapangan tidak malu" karena selama ini mereka hanya dapat melakukan upaya "preventif, preventif, dan preventif." Tak jarang pula para pelanggar lebih galak dibanding aparat.

Sanksi bagi pelanggar PSBB diatur oleh masing-masing kepala daerah, dengan payung hukum Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 tentang PSBB dalam Rangka Percepatan Penanganan COVID-19.

Di Jakarta, sanksi diatur dalam Peraturan Gubernur Nomor 41 Tahun 2020. Di sana disebutkan jika ada yang berkumpul lebih dari lima orang di tempat umum akan dikenakan sanksi teguran hingga denda paling banyak Rp250 ribu. Hal serupa berlaku di tempat lain seperti Surabaya. Dalam Peraturan Wali Kota Surabaya Nomor 16 Tahun 2020, sanksi bagi pelanggar sifatnya administratif.

Burhanuddin ingin aparat dapat bertindak lebih jauh. Ia usul pelanggar PSBB juga dapat ditindak seperti "tilang, tipiring (tindak pidana ringan), atau acara pidana singkat (APS)." "Ada batas waktu sehingga tidak lama bawa ke pengadilan," katanya, dikutip dari Antara.

Tipiring adalah tindak pidana yang diatur dalam Pasal 364, 373, 379, 384, 407 dan 482 KUHP yang diancam dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) bulan. Pasal-pasal yang merupakan tipiring tersebut terdapat dalam Buku II KUHP.

Merujuk pada ketentuan-ketentuan tersebut, tindak pidana ringan adalah tindak pidana yang ancaman hukumannya adalah penjara atau kurungan paling lama tiga bulan, atau denda sebanyak-banyaknya Rp7.500 (dengan penyesuaian).

Tidak Tepat

Menurut riset LSI Denny JA yang dirilis baru-baru ini, PSBB di 18 wilayah di Indonesia memang belum maksimal, dengan indikator belum adanya penurunan signifikan kasus baru COVID-19.

Namun bukan berarti PSBB harus disertai dengan sanksi pidana. Anggota Komisi III DPR Hinca Panjaitan, misalnya, mengatakan "penegak hukum bisa menggunakan cara lain yang lebih mumpuni" agar orang-orang patuh terhadap peraturan PSBB--tidak berkerumun, keluar rumah pakai masker, dan lain sebagainya. Kepada reporter Tirto, Senin (11/5/2020), ia mengingatkan bahwa "menjelaskan dan mengarahkan juga adalah bagian dari tugas penegak hukum."

"Jangan sedikit-sedikit pidana dan menghukum. Sentuhlah rasa keadilan dan kemanusiaan rakyat, niscaya ia patuh," katanya.

Penolakan juga disampaikan Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu dengan alasan yang kurang lebih serupa. Menurutnya selama ini kebijakan yang ada pun kurang diimplementasikan dengan maksimal. Ia memberi contoh kasus kerumunan massa penutupan gerai McDonald's Sarinah. Ketika itu polisi menyebut tak ada yang dilanggar.

Sebuah artikel yang tayang di VICE juga menyebut tidak selalu petugas menertibkan kerumunan masyarakat saat berpatroli.

"Jangan langsung lompat ke hukuman, pastikan dulu jelas aturan dan implementasinya. Jangan dibalik logikanya, seakan kalau tidak pidana, [ketertiban] tidak jalan," kata Erasmus kepada reporter Tirto.

Ia khawatir jika dalam kondisi itu keinginan Burhanuddin dikabulkan, "wibawa pemerintah justru turun karena tidak jelas kebijakannya."

Kritik juga disampaikan ahli hukum pidana dari Universitas Trisakti Abdul Ficar Hadjar. Ia menegaskan Keinginan Jaksa Agung tak bisa terpenuhi karena pelanggar PSBB tidak dapat dikategorikan "tindakan kriminal." Beda dengan, misalnya, para pelanggar peraturan lalu lintas.

Ficar, sama seperti narasumber lain, berpendapat yang semestinya sekarang dimaksimalkan adalah pendekatan persuasif. Selain itu, ia juga meminta para pengambil keputusan konsisten "agar masyarakat tidak bingung."

Baca juga artikel terkait PSBB DKI JAKARTA atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Hukum
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Rio Apinino