Menuju konten utama

Hasil Riset UGM Soal Serangan Siber Selama Pemilu 2019

Operasi siber ini termasuk aktivitas untuk mengganggu sistem penyelenggara pemilu maupun sistem-sistem yang terkait dengan kepemiluan.

Hasil Riset UGM Soal Serangan Siber Selama Pemilu 2019
Direktur Center for Digital Society (CfDS) Universitas Gadjah Mada (UGM) Dedy Permadi memberikan keterangan kepada wartawan saat jumpa pers soal ancaman keamanan siber masa Pemilu 2019 di UGM Yogyakarta, Kamis (18/4/2019). tirto.id/Irwan A. Syambudi

tirto.id -

Center for Digital Society (CfDS) Universitas Gadjah Mada (UGM) menyebut serangan siber terjadi pada masa Pemilu 2019 baik sebelum atau sesudah masa pencoblosan.

Direktur CfDS UGM Dedy Permadi menjelaskan ada tiga serangan siber yang terjadi pada masa Pemilu 2019 yakni serangan jenis operasi siber, operasi informasi, dan operasi campuran antara siber dan informasi.

"Operasi siber ini termasuk aktivitas untuk mengganggu sistem penyelenggara pemilu maupun sistem-sistem yang terkait dengan kepemiluan," kata Dedy saat jumpa pers soal ancaman keamanan siber masa Pemilu 2019 di UGM Yogyakarta, Kamis (18/4/2019).

Ia mencontohkan operasi siber itu dalam bentuk denial of service (DoS), distributed denial of services (DdoS), pengendalian sistem secara ilegal, serta intercept dan pencurian data pribadi.

"Ada beberapa politisi dari tadi malam hingga sekarang [diserang]. Misalnya ada yang masuk sistem komunikasi pribadi [...] Di mana dalam waktu yang bersamaan menyerang satu sistem yang disasar," katanya.

Sementara itu operasi informasi merupakan upaya yang dilakukan untuk menganggu aktivitas dan proses dalam pemilu dengan menyebarluaskan informasi tidak sehat seperti hoaks.

Operasi ini dapat berupa misinfromasi, disinfromasi, serta malinformasi yang diwujudkan dalam bentuk ujaran kebencian, perundungan siber, kekerasan daring, pembocoran data pribadi, dan delegitimasi hasil.

Selain itu juga pemelintiran kebencian oleh aktor dalam Pemilu 2019 ini.

“Pemelitiran kebencian ini seperti aktor dalam pemilu membuat kemarahan yang dibuat-buat untuk memengaruhi persepsi publik. Hal ini bisa merusak informasi karena pokok persoalan kemarahan adalah sesuatu yang dikonstruksi,” ujarnya.

Menurut Dedy, hoaks merupakan salah satu bentuk ancaman keamanan siber yang mengancam kualitas demokrasi, khususnya pemilu.

Ia juga mengatakan bahwa hoaks memang lebih banyak diproduksi ketika menjelang pemilu.

Pasalnya kata Dedy berdasarkan data Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) selama Agustus 2018 hingga Maret 2019 terdapat 1.224 hoaks yang teridentifikasi berkaitan dengan isu politik.

Jumlah tersebut meliputi 175 hoaks pada Januari 2019, 353 hoaks pada Februari 2019, serta 453 hoaks di Maret 2019.

Baca juga artikel terkait PEMILU 2019 atau tulisan lainnya dari Irwan Syambudi

tirto.id - Politik
Reporter: Irwan Syambudi
Penulis: Irwan Syambudi
Editor: Nur Hidayah Perwitasari