Menuju konten utama

Hasil Riset: Dampak Buruk Pemanasan Global di Kehidupan Sehari-hari

Peningkatan suhu turut berkontribusi menambah jumlah penderita gangguan mental.

Hasil Riset: Dampak Buruk Pemanasan Global di Kehidupan Sehari-hari
Sejumlah pegiat lingkungan mengikuti aksi jeda untuk iklim di Jakarta, Jumat (29/11/2019). ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/pras.

tirto.id - Analisis Intergovernmental Panel Climate Change (IPCC) mengenai perubahan iklim menegaskan perilaku manusia berperan besar terhadap pemanasan global.

Berbagai aktivitas manusia menambah jumlah emisi gas rumah kaca sehingga meningkatkan suhu bumi.

Meski demikian, perubahan iklim dan perilaku manusia juga memiliki hubungan kausalitas. Perubahan iklim turut memengaruhi perilaku manusia.

Kenaikan suhu bumi hingga 1,5 derajat celcius merupakan tanggung jawab yang harus dihadapi manusia beberapa tahun ke depan.

Seiring dengan pemanasan global, cuaca ekstrem hingga munculnya penyakit baru mengancam kehidupan manusia.

Perilaku Agresif

Kondisi krisis iklim juga mengancam kondisi psikologis manusia. Menurut studi analisis dampak perubahan iklim, ditemukan bahwa kenaikan suhu dapat menimbulkan gangguan psikologis.

Ketika suhu di atas rata-rata, jumlah pasien akibat gangguan kesehatan mental ikut meningkat.

Perubahan kualitas hidup manusia turut berhubungan dengan cuaca panas. Semakin panas cuaca yang sebuah negara, kualitas hidup masyarakatnya dilihat dari indikator sosio-kultural dan ekonomi ikut menurun.

Suhu tinggi juga berpengaruh terhadap tingkat agresivitas seseorang.

Craig Anderson, peneliti dari Universitas Iowa, menemukan bahwa panas meningkatkan sensitivitas emosi yang berujung kepada kemarahan dan tendensi kekerasan.

Perilaku agresif akibat dari panas ini kemudian turut mengganggu interaksi interpersonal.

Lingkungan yang tidak stabil dan sulit diprediksi memproduksi perilaku pengambilan risiko yang lebih tinggi dan berkurangnya kontrol diri.

Selain itu, dampak-dampak perubahan iklim secara tidak langsung berimbas terhadap perilaku agresif.

Kekeringan akibat cuaca panas berkepanjangan, kebakaran hutan, dan cuaca ekstrem menciptakan ketidakstabilan ekonomi dan kelangkaan sumber daya.

Terganggunya ketahanan pangan kemudian berujung pada bencana kelaparan, yang menjadi salah satu faktor pendukung perilaku agresif.

Malnutrisi anak juga menjadi momok menyeramkan bagi kemanusiaan. Perkiraan bahwa ratusan penduduk bumi terancam kelangkaan pangan turut berkontribusi terhadap munculnya perilaku agresif dan kekerasan.

Hal ini mengacu kepada penelitian yang menyebut anak dengan malnutrisi berpotensi menumbuhkan perilaku anti-sosial dan agresivitas.

Sementara laju perubahan iklim mengancam kondisi ekonomi kelompok rentan. Peningkatan kemiskinan dan disparitas pendapatan akan berbuntut terhadap ketidakpuasan, frustrasi, kemarahan dan kekerasan.

Lebih lanjut, keadaan tersebut memiliki kemiripan dengan motivasi yang mendukung terorisme.

Kemarahan akibat keadaan itu diyakini sebagai faktor pecahnya konflik regional di beberapa daerah, seperti Managoa dan Palestina.

Konflik dan Perang

Marshall Burke, peneliti ilmu kebumian, menyatakan bahwa peningkatan suhu bumi akan berdampak terhadap meningkatnya perang, naiknya kriminalitas, dan kematian bayi.

Jika pada level individu tendensi agresif perlu mendapat perhatian, maka pada level kelompok, adalah ekomigrasi.

Populasi manusia yang melakukan migrasi untuk menghindari ketidakstabilan ekonomi dan politik akibat bencana ekologis, meningkat.

Migrasi massal ini berpotensi memecah konflik. Pendatang dan penduduk asli berkompetisi merebutkan sumber daya, berselisih, serta memicu konflik sosial ekonomi lainnya.

Konflik sipil dan peperangan yang didukung oleh bencana ekologis kekeringan memantik perang yang ditemukan di negara-negara Timur Tengah dan Afrika.

Performa dan Produktivitas

Panas juga dianggap berkorelasi terhadap performa dan produktivitas. Dari penelitian terhadap sekelompok siswa, hasil ujian saat cuaca panas menurun dibanding ketika cuaca lebih dingin.

Hal tersebut juga ditemukan dalam penelitian yang mengkomparasikan hasil ujian di ruangan dengan air conditioning (AC) dan ruangan tanpa AC.

Penurunan tingkat produktivitas tersebut turut ditemukan pada lingkup pekerja. Penelitian pada pekerja industri kain di India menunjukkan, rata-rata produksi harian turun hingga 2-6 persen ketika suhu di atas 30 derajat celcius.

Panas menyengat menyebabkan pekerja melakukan kesalahan bahkan pingsan saat bekerja.

Tubuh manusia tidak dapat menerima panas di atas 35 derajat celcius. Akibatnya, ketika panas menyerang, produktivitas dan performa bekerja turun.

Memancing

Perubahan perilaku manusia sebagai akibat dari krisis iklim juga dapat dilihat dari perilaku memancing.

Menurut penelitian terhadap nelayan di pedalaman Kamboja, peningkatan suhu menyebabkan mereka enggan memancing. Hanya sedikit nelayan yang pergi melaut saat suhu sedang tinggi.

Kenaikan suhu berpengaruh terhadap ekosistem seperti binatang dan tumbuhan air.

Penelitian ini turut memperkuat teori terhadap dampak kerusakan ekologis pada perilaku manusia, khususnya bagi mereka yang bergantung terhadap sumber daya alam.

Siklus melingkar antara perilaku manusia dengan perubahan iklim menunjukkan hubungan saling mempengaruhi satu sama lain.

Tanpa adanya intervensi untuk menghentikan kerusakan ekologi saat ini, efek negatif di masa depan juga akan semakin besar.

Baca juga artikel terkait PEMANASAN GLOBAL atau tulisan lainnya dari Salsabella Adista Trisnu Pramesti

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Salsabella Adista Trisnu Pramesti
Penulis: Salsabella Adista Trisnu Pramesti
Editor: Aditya Widya Putri