Menuju konten utama

Hasil Debat Kedua: Jokowi dan Prabowo Gagal Membahas Isu Krusial

Dari tol laut, tata kelola sawit, hingga pemanasan global luput dari pembahasan utama debat.

Capres nomor urut 01 Joko Widodo dan Capres nomor urut 02 Prabowo Subianto saling memberi salam seusai debat capres 2019 disaksikan moderator di Hotel Sultan, Jakarta, Minggu (17/2/2019). ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/aww.

tirto.id - “Sawit merupakan komoditas strategis,” ujar moderator Tommy Tjokro membuka pertanyaan ketiga pada segmen kedua dalam debat kedua capres.

“Saat ini,” lanjutnya, “lahan perkebunan sawit telah mencapai 14 juta hektare. Namun, sistem perkebunan sawit dan pengelolaannya masih menimbulkan masalah sosial dan lingkungan. Pertanyaannya, bagaimana kebijakan dan strategi Bapak untuk memperbaiki tata kelola sawit?”

Prabowo Subianto mendapat giliran pertama untuk menjawabnya. Ia meyakini produk kelapa sawit dapat dimanfaatkan menjadi biofuel, biodiesel, dan meningkatkan pendapatan petani. Selama dua menit, Prabowo sama sekali tak menjawab esensi pertanyaan mengenai tata kelola sawit.

Jawaban Joko Widodo juga tak lebih baik. Ia sama sekali tak menyinggung kelanjutan moratorium izin perkebunan sawit yang akan kedaluwarsa pada 2021 dari inpres moratorium yang ditekennya pada September 2018.

Jokowi justru membanggakan angka produksi sawit Indonesia yang mencapai 46 juta ton per tahun dan melibatkan petani kurang lebih 16 juta orang.

Keduanya getol meng-endorse minyak sawit dan mengesampingkan fakta bahwa kebun kelapa sawit merupakan penyumbang terbesar deforestasi di Indonesia.

Laporan Greenpeace menunjukkan, 25 produsen minyak sawit di Indonesia telah menggunduli 130 ribu hektare hutan sejak 2015.

Tak malu-malu, Prabowo bahkan sesumbar akan menggenjot produksi kelapa sawit. “Tidak hanya kelapa sawit, aren, kasava, bahkan etanol dari gula semua akan kita gunakan. Agar kita bisa tidak mengimpor bahan energi dari luar negeri,” ujar Prabowo.

Debat kedua capres ini bertema energi, pangan, infrastruktur, sumber daya alam, dan lingkungan hidup. Cakupan tema yang luas seharusnya dapat membuat kedua kandidat mengelaborasi sejumlah permasalahan krusial dan fundamental di tanah air.

Namun, alih-alih menampilkan debat yang eksploratif, justru banyak permasalahan yang luput dibahas oleh kedua kandidat.

Selain tata kelola sawit yang secara eksplisit ditanyakan moderator, isu lain yang sedikit sekali dibahas--jika tak ingin disebut dihindari--adalah tol laut, pemanasan global, reklamasi, utang luar negeri, BBM, dan Freeport.

Tenggelamnya Poros Maritim Dunia dalam Visi Jokowi

Pada debat pilpres 2014, Jokowi menggaungkan slogan "Poros Maritim Dunia" melalui visi tol lautnya. Namun, pada debat pilpres 2019, slogan ini tidak satu pun keluar dari mulut Jokowi.

Visi tol laut pun bahkan hanya sekali disebut saat debat eksploratif di segmen keempat dalam debat kemarin malam. Konteksnya bahkan bukan menjadi jawaban utama atas pertanyaan mengenai pengelolaan sumber daya maritim untuk kemakmuran rakyat.

Alih-alih tol laut, pada bahasan infrastruktur, Jokowi justru mengenalkan infrastruktur untuk mendukung industri 4.0 bernama Palapa Ring. Nampaknya, kini fokus jualan Jokowi mulai bergeser dari proyek ambisius tol laut menjadi industri 4.0.

Jawaban Prabowo yang terbatas, kembali jatuh pada retorika, membuat kita juga sulit menggalinya. Prabowo jarang mengevaluasi proyek tol laut Jokowi dan pembangunan pelabuhan di sejumlah daerah. Ia hanya menyinggung mengenai operasional pelabuhan yang tidak dikelola dengan baik.

“Pelabuhan-pelabuhan di bawah pemerintah Bapak operasionalnya diserahkan ke perusahaan-perusahaan asing. Bagi kami ini kurang, kurang tepat sebagai strategi,” ujar Prabowo.

Serangan yang tidak terlalu telak dan tak tepat sasaran lantaran, lagi-lagi, Prabowo berbicara tanpa didukung data yang relevan.

Skema pembiayaan infrastruktur melalui utang juga tidak dicolek sama sekali oleh kedua kandidat.

Katakanlah, Prabowo mestinya bisa memaksimalkan data bahwa: Hingga September 2018, total utang luar negeri Indonesia mencapai 360,7 miliar dolar AS atau setara Rp 5.410 triliun.

Sebelum debat kedua, kami membahas soal pembiayaan infrastruktur dengan Bhima Yudistira, ekonom Institute for Development of Economis and Finance (INDEF).

Bhima mewanti-wanti agar pemerintah Indonesia perlu berhati-hati dengan jeratan utang tersebut. Saat ini Cina menempati peringkat tiga sebagai negara kreditur setelah Singapura dan Jepang. Namun, tren pinjaman ke Cina meningkat 61,4 persen sejak 2014, yakni sebesar 1,59 miliar dolar AS.

Kendati demikian, Indonesia tetap harus berhati-hati mengingat saat ini Cina tengah gencar melebarkan diplomasi utang dengan Inisiatif Sabuk dan Jalan (Belt and Road Initiative).

“Bisa jadi yang menikmati infrastruktur Indonesia secara langsung adalah mereka, bukan kita,” kata Bhima.

Inisiatif Sabuk dan Jalan merupakan prakarsa yang dibentuk Cina pada 2013 untuk konektivitas dan kerja sama negara-negara Eurasia. Pada 2014, saat Jokowi mulai memimpin, sejumlah pengamat ekonomi menilai langkah Indonesia masuk dalam pakta ini merupakan pilihan berisiko. Jika mengalami gagal bayar, risikonya bisa berupa penyerahan sejumlah aset kepada Cina.

“Dalam konteks Indonesia, bisa berupa proyek-proyek strategis,” ujar Bhima.

Prabowo sempat menyinggung perihal utang pemerintah tapi terbatas pada gambaran besar yang mengawang-awang. Prabowo tak benar-benar menguasai permasalahan dalam debat kedua.

Freeport sempat disinggung Jokowi, itu pun hanya terbatas pada klaim kepemilikan mayoritas saham 51 persen. Yang luput dari Prabowo: hak-hak buruh Freeport yang sejak lebih dari delapan bulan lalu berdemo di depan Istana tanpa sekalipun pernah ditemui Jokowi.

Infografik HL Indepth Debat Pilpres Putaran Dua

Infografik Yang Kurang Dibahas dalam Debat Pilpres Putaran Dua

Tak Ada Bahasan Pemanasan Global dan Reklamasi

Dalam bidang lingkungan hidup, rencana reklamasi selalu saja menuai perlawanan dari masyarakat terutama masyarakat terdampak lantaran dinilai merusak lingkungan hidup dan tatanan ekosistem.

Setidaknya ada lima proyek besar reklamasi yang masih menjadi polemik: Reklamasi Teluk Benoa yang izinnya diperbarui, reklamasi CPI Makassar, reklamasi Manado Utara, reklamasi Teluk Palu, dan reklamasi Teluk Jakarta.

Antara luput, lupa, atau bahkan memang sengaja menghindari, kata-kata reklamasi hanya muncul dua kali dalam debat capres kedua.

Pertama, saat moderator menanyakan perihal nasib 8 juta hektare lubang tambang yang belum direklamasi. Kedua, saat Jokowi menjawabnya.

Prabowo bahkan sama sekali tidak menyebutnya.

Saat membahas mengenai lubang tambang pun mereka alpa bicara mengenai 32 korban yang tewas setelah tenggelam di lubang tambang di Kalimantan Timur, yang diduga milik PT Bukit Baiduri Energy.

Sementara isu krusial pemanasan global tidak disebut satu kali pun baik oleh moderator maupun kedua kandidat.

Padahal ada sejumlah masalah serius yang harus dihadapi Indonesia terkait isu permasalahan global. Di antaranya, menurunnya kualitas udara di sejumlah daerah di Indonesia khususnya di Jakarta, penurunan permukaan tanah, kenaikan muka air laut, hingga kenaikan suhu dan cuaca ekstrem.

Dalam catatan Greenpeace Indonesia, Jakarta menduduki peringkat satu kualitas udara buruk di dunia pada 11 Agustus 2018. Stasiun Pantau PM 2.5 milik BMKG di Kemayoran menunjukkan angka 87,3 µg/m3, yang berarti masuk dalam Kategori Tidak Sehat.

Pada saat bersamaan, Jakarta kian tenggelam satu hingga 15 sentimeter per tahun. Suhu di Indonesia naik per tahun 0,01-0,02 derajat celsius dari kenaikan suhu global 1,5 derajat celsius.

Dengan mengesampingkan problem-problem krusial terkait tema debat kedua yakni energi, pangan, infrastruktur, sumber daya alam, dan lingkungan hidup itu, kita bisa menyebut: baik Jokowi maupun Prabowo gagal menyuguhkan perkara substansial ke meja publik, yang menjadi masa depan kehidupan kita.

Baca juga artikel terkait DEBAT CAPRES 2019 atau tulisan lainnya dari Restu Diantina Putri

tirto.id - Politik
Penulis: Restu Diantina Putri
Editor: Fahri Salam