Menuju konten utama
10 Tahun Kematian Soeharto

Harta Soeharto: Lika-Liku Penyitaan Aset Yayasan Supersemar

Pengadilan Negeri Jakarta menetapkan daftar aset milik Yayasan Supersemar untuk disita. Apa saja asetnya?

Harta Soeharto: Lika-Liku Penyitaan Aset Yayasan Supersemar
Aset Yayasan Supersemar, salah satu ATM keluarga Cendana, harus dikembalikan ke negara. Tirto/Gery Paulandhika

tirto.id - “Ini jangan Kejaksaan [yang] disalahkan. Ini perkara perdata, ini menjadi tugas pengadilan.”

Pernyataan itu dilontarkan Jaksa Agung Muhammad Prasetyo saat ditodong pernyataan mengenai perkembangan kasus Yayasan Supersemar pada 9 Januari lalu. Pertanyaan seperti itu sudah sering diajukan kepada Jaksa Agung atau Kejaksaan, dan Prasetyo mencoba menegaskan penyitaan itu bukan ranah kejaksaan lagi.

"Kejaksaan sudah mengajukan permintaan kepada pengadilan supaya putusan [atas] Yayasan Supersemar segera dieksekusi. Bahkan saya sudah mendengar Jamdatun (Jaksa Agung Muda Perdata Tata Usaha Negara) sudah membayar biaya perkaranya,dan sampai sekarang belum ada follow-up nya. Tolong ditanya ke PN (pengadilan negeri)!”

Kekesalan Jaksa Agung Prasetyo patut dimaklumi. Sudah hampir tiga tahun sejak putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung pada Juni 2016 lalu menyatakan Yayasan Supersemar bersalah, tapi eksekusi penyitaan belum juga dilakukan.

Pengadilan menyatakan Yayasan Supersemar terbukti menyalahgunakan uang negara. Dana yang seharusnya untuk beasiswa, justru diberikan pada tujuh perusahaan dan kelompok usaha Kosgoro. Karena itu, Supersemar diminta mengembalikan uang sebesar 315.002.183 dolar AS dan Rp139.438.536.678,56 ke negara. Jika dirupiahkan, totalnya mencapai sekitar Rp4,4 triliun.

Setelah Peninjauan Kembali menguatkan putusan tersebut, kejaksaan pun menyerahkan daftar aset Yayasan Supersemar untuk disita Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Namun eksekusi belum juga dilakukan sampai awal 2018.

Penelusuran aset milik Supersemar sudah dilakukan Kejaksaan Agung sejak 2015. Direktur PPH Kejaksaan Agung, Irsan Yogie Hasibuan, mengatakan belum semua aset milik Yayasan Supersemar dideteksi. Sejauh ini sudah ditemukan ada ratusan rekening, kendaraan bermotor, tanah dan bangunan milik Supersemar.

Aset-aset berupa simpanan di bank itu: 3 rekening di BRI Kantor Cabang Pancoran, 1 rekening Bank Mandiri KC Wisma Metropolitan, 1 rekening BNI KCU Tebet, 2 rekening Danamon KC Jakarta Pusat, 49 deposito di Bank Yudha Bhakti, 6 rekening, 2 giro, dan 5 deposito di BRI KC Jakarta Veteran, 5 giro dan 18 deposito di BNI KCU Harmoni, 1 rekening di Mandiri KC S Parman, dan 19 deposito di BRI KC Cikampek. Total ada 112 simpanan di bank.

Selain itu ada enam mobil, yakni Toyota Avanza New 1,5 Automatic tahun 2010 nomor polisi B 1472 SKA, Toyota Avanza New 1,3 M/T tahun 2008 nopol B 1246 SFD, Toyota Kijang Innova tahun 2006 nopol B 1271 DR, Toyota Kijang Innova tahun 2006 nopol B 1062 DN, Toyota Corolla Altis tahun 2007 nopol B 206 BG, dan Honda All New CR-V tahun 2012 nopol B 206 SBG.

Ada juga tanah dan bangunan, yakni gedung Granadi di Kuningan seluas 8.125 meter persegi dan tanah di Jl. Raya Megamenunding No. 6, Citalingkup, seluas 8.120 meter persegi, atas nama Zahid Hussein. Zahid adalah salah seorang jenderal yang menjadi orang kepercayaan Soeharto.

“Kalau memang ada lagi, akan kita susulkan untuk disita pengadilan,” kata Yogie kepada Tirto, 16 Januari 2018.

Penyitaan dan Pembekuan Aset

PN Jakarta Selatan telah membekukan beberapa rekening, giro, dan deposito milik Yayasan Supersemar. Dari 112 simpanan di bank itu, masih ada 10 rekening yang dibekukan, yakni di BRI KC Cikampek.

Guntur, Humas PN Jakarta Selatan, mengatakan meski sudah dibekukan, pengadilan belum mengetahui berapa jumlah uang di rekening tersebut. Sedangkan penetapan aset yang disita baru dilakukan pada 11 Januari 2018.

“Setelah pencairan nanti baru tahu berapa jumlahnya,” katanya kepada Tirto, 22 Januari 2018.

Selain sepuluh rekening itu, enam mobil milik Supersemar juga belum disita. Mobil tersebut masih dicari keberadaannya. Sementara tanah di Megamendung sudah dilakukan penyitaan, begitu pula tanah dan bangunan Gedung Granadi di Kuningan.

“Kalau gedung dan tanah itu nanti akan dilelang,” tambah Guntur.

Ada kejanggalan soal penyitaan Gedung Granadi. Dalam berita acara sita eksekusi no.72.Eks.Pdt/2015 Jo. No.904/Pdt.G/-2007/PN.Jkt.Sel, pada 26 November 2016 telah dilakukan penyitaan eksekusi oleh jurusita PN Jakarta Selatan terhadap tanah dan gedung Granadi. Namun, faktanya, gedung Granadi masih digunakan beraktivitas seperti biasa.

Di lantai 1 masih ada stan dan kafe. Di sayap utara dan selatan juga demikian. Aktivitas kantor-kantor yayasan yang didirikan Soeharto juga masih berjalan. Begitu pula kantor perusahaan milik keluarga Soeharto, seperti Humpuss dan Lamtoro Gung.

Pakar Hukum Perdata Universitas Indonesia, Heru Susetyo, berpendapat dalam kasus perdata, setelah dilakukan penyitaan, tanah atau bangunan sudah tidak boleh dipergunakan lagi untuk aktivitas.

“Tidak boleh ada tindakan hukum di sana. Tidak boleh disewakan, dihuni, atau digunakan untuk apa pun. Jadi harus dikosongkan,” katanya.

Kejanggalan lain diungkapkan Arissetyanto Nugroho, sekretaris Yayasan Supersemar, keponakan Soeharto. Ia membantah bahwa gedung Granadi adalah aset milik yayasan lainnya.

“Bukan punya Supersemar, punya yayasan yang lain,” kata Aris kepada Tirto, 23 Januari 2018.

Belakangan Aris memberikan pengakuan berbeda. Ia membenarkan bahwa gedung Granadi milik Supersemar, tetapi bukan satu-satunya pemilik. “Ada yayasan lain, empat yayasan yang punya,” tambahnya.

Gedung Granadi dikelola PT Granadi (Graha Dana Abadi). Berdasarkan akta perusahaan, ada lima yayasan yang diketahui memiliki saham di sana, yakni Yayasan Dakab sebesar Rp6,048 miliar, Yayasan Dharmais sebesar Rp5,61 miliar, Yayasan Amal Bakti Pancasila sebesar Rp2,16 miliar, Yayasan Purna Bhakti sebesar Rp2,16 miliar, dan Yayasan Supersemar memiliki saham sebesar Rp5,61 miliar.

Infografik HL Indepth Trah Harto

Berapa Besar Aset Yayasan Supersemar?

Setelah penyitaan dan pembekuan aset dilakukan, Yayasan Supersemar berhenti memberikan beasiswa. Tahun 2015 menjadi tahun terakhir kiprah Yayasan Supersemar. Berdasarkan laporan Yayasan Supersemar, sejak berdiri pada 1974 hingga 2015, sudah memberikan beasiswa sebesar Rp732 miliar.

Aris mengatakan sampai saat dibekukan, Yayasan Supersemar memiliki dana abadi sekitar Rp600 miliar. Dana itulah yang tersebar di rekening, giro, dan deposito milik Yayasan Supersemar yang sudah dibekukan pengadilan.

“Ya, itu semua sudah dibekukan,” kata Aris.

Di masa lalu, Yayasan Supersemar tak hanya memiliki aset berupa rekening. George Junus Aditjondro dalam Harta Jarahan Harto menyebut Yayasan Dakab, Dharmais, dan Supersemar pernah memiliki saham di 27 perusahaan. Dari 27 perusahaan itu, ada empat perusahaan yang terbukti menerima aliran dari Yayasan Supersemar sesuai putusan pengadilan tahun 2015.

Empat perusahaan itu adalah PT Bank Duta menerima berturut-turut 125 juta dolar AS, 19 juta dolar AS, dan 275 juta dolar AS; PT Sempati Air Rp13 miliar; Kiani Lestari Rp150 miliar; dan PT Kalhold Utama menerima Rp12,7 miliar. Uang ini diberikan kepada Soeharto saat masih presiden.

Sekarang Yayasan Supersemar sudah tak memiliki saham di empat perusahaan tersebut. Namun, khusus PT Kalhold Utama, Zahid Hussein masih tercatat sebagai pemegang saham senilai Rp3,6 miliar. Nama Zahid Hussein juga tercatat sebagai pemilik tanah di Megamendung yang turut disita pengadilan karena masih terkait Yayasan Supersemar.

Tapi berapakah sebenarnya besaran aset yang dimiliki Supersemar? Katakanlah benar pengakuan Aris bahwa dana abadi yayasan kini tinggal sekitar Rp600 miliar, itu tentu belum termasuk nilai tanah dan gedung Granadi dan enam mobil.

Di daerah Rasuna Said, tempat gedung Granadi berdiri, nilai NJOP-nya mencapai Rp43 juta. Jika dikalikan luas tanah 8.125 meter persegi, didapatkan taksiran harga tanah hampir mendekati Rp350 miliar. Sedangkan untuk enam mobil, nilainya berkisar Rp800 juta (melalui perkiraan harga berdasarkan merek mobil dan tahun pembelian melalui situs penjualan mobil online).

Jika ditotal, aset itu ditaksira baru mencapai Rp1 triliun. Masih ada kekurangan Rp3,4 triliun yang harus dibayar Yayasan Supersemar kepada negara. Lalu bagaimana melunasinya?

Berdasar pasal 36 ayat 1 Undang-Undang No. 16 Tahun 2001 tentang yayasan, jika terjadi kepailitan, setiap anggota pengurus secara tanggung renteng bertanggung jawab atas kerugian tersebut. Siapkah para pengurus Yayasan Supersemar menanggung ini?

Baca juga artikel terkait HARTA SOEHARTO atau tulisan lainnya dari Mawa Kresna

tirto.id - Politik
Reporter: Mawa Kresna
Penulis: Mawa Kresna
Editor: Zen RS