Menuju konten utama

Harlem Cultural Festival 1969, "Black Woodstock" yang Terlupakan

Harlem Cultural Festival 1969 yang terlupakan dihadirkan lagi melalui Summer of Soul. Punya nilai lebih dari sekadar festival musik.

Harlem Cultural Festival 1969,
Stevie Wonder. 3848417Globe Photos/MediaPunch /IPX

tirto.id - Amerika Serikat, musim panas 1969, Generasi Bunga bermekaran. Di kota Bethel, New York, festival musik legendaris bertajuk Woodstock digelar. Ingar-bingar dihadirkan Santana, Jimi Hendrix, Janis Joplin hingga Ravi Shankar.

Pada saat yang bersamaan di sisi lain New York, layaknya mawar yang tumbuh dan mekar menerobos lantai semen, sebuah festival musik lain bergemuruh. Di Harlem, tepatnya di Mount Morris Park (kini Marcus Garvey Park) dihelat Harlem Cultural Festival. Itu adalah edisi ketiga festival tahunan yang diprakarsai laki-laki asal Karibia, Tony Lawrence.

Kawasan Harlem sendiri sejak lama menjadi tempat aman bagi orang-orang kulit hitam Amerika. Tak melulu damai memang, tapi ia secara alami menjadi titik lebur beragam "black style" di mana berbagai "musik kulit hitam" menggema dari setiap sudutnya.

Bagaimana pun, itu adalah tahun-tahun yang kurang-kurang baik. Anak-anak muda beserta siapa pun yang tak setuju dengan kekerasan dan perang memulai revolusi mereka sendiri, sedamai mungkin. Bagi orang-orang kulit hitam, dekade 1960-an adalah periode selepas berpulangnya figur-figur prominen, seperti Malcolm X, dan belum lama pula usai pembunuhan Martin Luther King Jr.--yang memicu pecahnya kekerasan di lebih dari 100 kota. Belum lagi kerabat yang tewas akibat heroin epidemic dan Perang Vietnam.

Harlem Cultural Festival pun dianggap sebagai upaya agar kekerasan tidak terulang di tahun itu, menjauhkan orang-orang kulit hitam dari aksi-aksi semacam membakar kota. Seiring dengan gejolak sosial di Amerika, festival ini pun tak sekadar menjadi hiburan, melainkan juga titik temu black music, kultur, dan politik.

Adapun festival sepenting itu nyaris tak terdengar gaungnya, apalagi jika dibandingkan dengan Woodstock. Baru lebih dari setengah abad kemudian namanya kembali dikenang, berkat sebuah film.

Summer of Soul

"Aku pertama kali secara tidak sengaja melihat rekaman itu di Tokyo pada tahun 1997," kata Ahmir "Questlove" Thompson kepada Philadelphia Sunday Sun. "Penerjemahku tahu bahwa aku adalah penggemar soul dan membawaku ke sebuah tempat bernama The Soul Train Cafe. Aku tak tahu yang kusaksikan saat itu adalah The Harlem Cultural Festival".

Questlove bahkan nyaris tak bisa menemukan informasi apa pun tentang festival itu di internet. Dua dekade kemudian, produser David Dinerstein dan Robert Fyvolent membawa kabar baik. Mereka memiliki footage festival itu dan menginginkan dia untuk menyutradarai sebuah dokumenter tentangnya.

Tape rekaman festival bersejarah itu telah mendekam selama 50 tahun di basement sampai akhirnya diselamatkan oleh Joe Lauro, seorang pengarsip film yang merestorasi dan membuatkan katalog rekamannya.

Hingga akhirnya pada 2021 lalu, Questlove berhasil merampungkan dan memublikasikan rangkaian Harlem Cultural Festival 1969 dalam dokumenter berjudul Summer of Soul (...Or, When the Revolution Could Not Be Televised).

Sekitar 300.000 orang, sebagian besar berkulit hitam, memadati Mt. Morris Park pada enam hari yang cerah dalam festival yang digelar secara gratis dalam enam akhir pekan. Dari 29 Juni sampai 24 Agustus, setiap harinya memiliki tema berbeda, dari Broadway in Harlem, Festival Gospel, Soul, Blues dan Jazz, hingga ditutup dengan kontes kecantikan Miss Harlem dan talenta lokal.

Dengan sponsor seperti sebuah merek kopi dan walikota New York, panggung cukup besar dengan backdrop warna-warni bertuliskan Festival berdiri.

"We gotta get a groove goin'", nyanyi Stevie Wonder muda. Sang legenda blues B.B. King menyayat gitar Gibson merahnya. Pentolan Motown, David Ruffin memekik karismatik.

Namun, tentu saja ini semua tak berhenti di perkara bebunyian sebagai hiburan. Grup vokal The 5th Dimension membawakan musik 'kulit putih'. The Edwin Hawkins Singers berkhotbah via musik untuk anak-anak muda yang tak tahu mesti ke mana. Sly and the Family Stone menyertakan personel-personel berkulit putih dan para perempuan yang memainkan instrumen, menantang aspek sosial yang mesti ditantang. The First Lady of Soul Nina Simone merefleksikan kesulitan kaumnya di masa itu dengan melantunkan lagu seperti Backlash Blues. Tak ketinggalan pula musik-musik Amerika Latin dan Karibia.

Di sektor keamanan, berdiri para anggota Black Panther, partai kiri yang identik dengan gerakan Black Power. Tentu tak kalah mentereng dengan Woodstock yang digelar bersamaan dengan hari keempat Harlem Cultural Festival edisi ketiga ini.

Ada banyak rekaman dari berbagai sudut festival yang ditampilkan dalam Summer of Soul. Seringkali, ia diselingi testimoni dari audiens, orang-orang biasa yang kerap terlewatkan dari dokumenter musik yang sarat puja-puji bagi para pelakunya.

Ini adalah orang-orang yang meninggalkan rumahnya untuk menikmati musim panas yang cerah. Di hari-hari biasa, mereka berpotensi menghadapi kekerasan di jalan. Namun di hari festival, mereka justru menemukan musik dan keriaan—sebuah ruang katarsis, pelipur lara dan stres sebagai warga kulit hitam di Amerika. Mengutip ujaran aktivis HAM Al Sharpton dalam filmnya, "Kami tidak tahu apa pun ihwal terapis, tapi kami tahu Mahalia Jackson."

Selain menempatkan para penonton di tengah, Questlove juga tak luput menghadirkan sudut pandang retrospektif ala video-video reaksi. Sebagian personel The 5th Dimension yang kini puluhan tahun lebih tua menyaksikan video rekaman mereka di Harlem Cultural Festival untuk pertama kalinya. Ada rasa haru mengiringi penggalian cerita-cerita lawas pada suatu hari yang baik.

Pada akhirnya, Summer of Soul tak hanya sukses mendokumentasikan rangkaian acara musik, tapi juga menyertakan konteks dan nilai-nilai yang memperkuat Harlem Cultural Festival sebagai "bukan konser belaka". Ia pantas dikenang layaknya festival-festival legendaris lainnya.

Jika pun dokumenter ini tak cukup relate bagi penonton yang tak pernah mengalami represi sebagai warga kelas dua, ia setidaknya bisa jadi tontonan inspiratif bagi mereka yang hendak membuat festival musik di tengah keterbatasan dan situasi kurang mendukung; sebuah acara senang-senang yang memiliki jiwa.

Dari Taman, Basement, ke Publik

Hal Tulchin merupakan satu-satunya orang yang memfilmkan festival itu. Menggunakan lima kamera portabel, dia berhasil mengumpulkan lebih dari 40 jam footage.

Demi mendapatkan keuntungan, Tulchin melabeli festival itu sebagai Black Woodstock. Namun, apa daya rekaman itu tak juga laku. "Tak ada yang benar-benar peduli pada acara komunitas kulit hitam," keluhnya.

"Tapi aku tahu itu [footage yang ia kumpulkan] akan menjadi seperti real estat dan cepat atau lambat seseorang akan tertarik padanya," lanjut Tulchin.

Dan benar saja. Meski membutuhkan waktu yang tak sebentar, rekaman-rekaman yang lama terlupakan itu akhirnya menemui peminatnya dan, yang terpenting, orang-orang yang tepat. Setelah melewati berbagai proses, ia tiba ke tangan Questlove yang kemudian mengolah dan menghadirkannya ke hadapan publik luas dalam wujud Summer of Soul. Ia pun memenangkan banyak penghargaan, termasuk Best Documentary Feature di Academy Awards beberapa bulan silam.

Infografik Harlem Cultural Festival 1969

Infografik Harlem Cultural Festival 1969. tirto.id/Sabit

Impak

Berbagai macam kesan dan perasaan lumrah muncul sekembalinya kau dari sebuah konser atau gigs. Entah itu rasa terbebaskan, puas, atau bahkan segera merindukan mereka yang baru saja kau tonton.

Bagi mereka yang menghadiri Harlem Cultural Festival, itu bukan sekadar release dan katarsis. Pasalnya, para penampilnya tak sekadar menghadirkan kesenangan-kesenangan banal, tapi juga kemarahan, trauma, hingga pernyataan politik komunitas kulit hitam dan cokelat. Ada kebanggaan akan identitas yang membuncah dan mungkin kesadaran baru yang lebih kuat akan situasi sosial.

Bagi anak-anak kecil, itulah pertama kalinya mereka melihat sedemikian banyak kaumnya, warga kulit hitam.

Saat warga Amerika—dan mungkin orang-orang dari berbagai belahan dunia—merayakan keberhasilan Apollo 11 mendarat di Bulan, para audiens Harlem Cultural Festival tak begitu ambil pusing. Di saat yang sama, mereka berjingkrak dengan Stevie Wonder, mendengar The Staple Singers melantunkan "haven't got an education, ..., can't get common labor".

Kesuksesan Neil Armstrong cs. sama sekali tak relevan bagi mereka, orang-orang di Harlem maupun dari berbagai penjuru AS yang masih kelaparan dan tak mendapatkan penghidupan layak.

Harlem Cultural Festival—dan tahun 1969 pada umumnya—menandai perubahan era di komunitas kulit hitam. Mereka mulai mengevaluasi sejarah dan budayanya, diingatkan kembali akan budaya tanah asal di Afrika. Hal itu tercermin dari revolusi gaya berpakaian, musik yang bertransformasi, rambut afro yang jadi hip lagi, dan pula meniadakan segregasi antara musik kulit hitam dan genre musik lain yang semestinya memang tak pernah mengenal warna.

Di tahun yang sama, para jurnalis kulit hitam juga mulai mengganti diksi “negro” menjadi “black” pada surat kabar tempat mereka bekerja. Memanggil seseorang dengan kata black tak lagi berarti ajakan untuk kelahi, malahan mulai dikenakan dengan bangga—sebagaimana yang diserukan para pelaku sebuah festival musik di Harlem.

Baca juga artikel terkait FESTIVAL MUSIK atau tulisan lainnya dari R. A. Benjamin

tirto.id - Musik
Penulis: R. A. Benjamin
Editor: Fadrik Aziz Firdausi