Menuju konten utama

Hari Pers Nasional: Tak Ada Progres Kebebasan Pers di Era Jokowi

Kabar mencuat jelang Hari Pers Nasional, presiden memberi remisi bagi terpidana pembunuh wartawan.

Hari Pers Nasional: Tak Ada Progres Kebebasan Pers di Era Jokowi
Sejumlah jurnalis membentangkan poster dan meneken petisi untuk Presiden saat aksi damai di Lhokseumawe, Aceh, Sabtu (26/1/2019). ANTARA FOTO/Rahmad/pd.

tirto.id - Hari Pers Nasional, 9 Februari 2019, bisa dijadikan pengingat kasus tewasnya Anak Agung Gede Prabangsa, wartawan Radar Bali, pada 2009.

Berdasarkan hasil investigasi Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia yang kemudian dipublikasikan dengan judul "Jejak Darah Setelah Berita" (PDF), Prabangsa dibunuh karena menulis setidaknya tiga berita terkait manipulasi anggaran proyek senilai sekitar Rp40 miliar di Kabupaten Bangli.

Tiga laporan tersebut adalah “Pengawas Dibentuk setelah Proyek Jalan”, “Bagi-bagi Proyek Pl Dinas Pendidikan Bangli”, dan “SK Kadis Dinilai Cacat”.

Dalang pembunuhan Prabangsa adalah Susrama, kontraktor yang rutin memenangkan tender pembangunan dan pengadaan di beberapa dinas maupun instansi pemerintahan di Bangli. Dia merupakan adik kandung I Nengah Arnawa, Bupati Bangli waktu itu. Saat Prabangsa terbunuh, Susrama terdaftar sebagai caleg PDI Perjuangan pada Pemilu 2009, yang kemudian lolos menjadi anggota DPRD Bangli. Atas perbuatannya, Susrama divonis pidana penjara seumur hidup.

Namun, ironisnya, vonis penjara seumur hidup itu dianulir oleh Presiden Joko Widodo. Lewat remisi yang tertuang dalam Keputusan Presiden 29/2018, Jokowi memberikan remisi kepada Susrama: hukumannya berubah menjadi pidana penjara sementara. Susrama berada pada urutan ke-94 dari 115 orang narapidana yang menerima jatah remisi.

Direktur Eksekutif Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, Ade Wahyudin, menegaskan pemberian remisi semestinya mempertimbangkan beragam aspek yang menyertainya.

“Yang luput dari kajian profiling terpidana ini, yaitu kasusnya detailnya seperti apa, efek sosial dari kasus itu seperti apa,” kata Ade kepada reporter Tirto, Jumat (8/2/2019).

Senada dengan Ade, Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Abdul Manan, mengatakan keputusan Jokowi tersebut begitu mengecewakan. Menurutnya, remisi yang diberikan kepada Susrama mengabaikan rasa keadilan.

Pada Jum'at (8/2/2019) sore, Ade dan Manan menemui Dirjen Pemasyarakatan Kemenkum HAM, Sri Puguh Budi Utami. Ditemani perwakilan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), keduanya menyampaikan keluhan serta memberikan petisi yang disusun AJI, LBH Pers, dan YLBHI.

“Kami meminta remisi terhadap pembunuh Prabangsa dicabut,” ujar Manan, merangkum tuntutan yang dibawanya ke pemerintah.

Pada hari ini (9/2/2019), Presiden Jokowi di sela-sela peringatan Hari Pers Nasional di Surabaya menyatakan mencabut remisi Susrama, sehingga ia tetap menjalani hukuman seumur hidup. [Naskah ini telah ditambahkan informasi terkini soal kasus Susrama, pada pukul 12.00, Sabtu (9/2)].

Kebebasan Terpuruk

Menurut Manan, apabila memakai standar Reporters Without Borders, LSM yang berfokus pada isu kebebasan pers, kondisi kebebasan pers di Indonesia sangat buram. Peringkat Indonesia berada pada urutan 124 dari total 180 negara. Bahkan, posisi Indonesia masih kalah dengan Timor Leste.

“Itu di bawah 100, kan, liga underdog. Tergolong jelek,” Manan bilang.

Jokowi memang rutin hadir dalam perayaan Hari Pers Nasional (HPN) versi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Namun, terang Manan, hal itu tak serta merta mewakili upaya untuk menguatkan kebebasan pers di Indonesia.

“Acara bulan Februari yang diperingati PWI itu, kan, lebih banyak seremonial saja. Sangat tidak memadai untuk memperlihatkan bentuk keberpihakan,” tuturnya.

Ada banyak hal yang seharusnya bisa dilakukan oleh Jokowi daripada sekadar mengikuti acara seremonial Hari Pers Nasional. Misalnya, tegas Manan, meminta Kemenkum HAM merevisi KUHP, tepatnya pasal-pasal baru yang bersifat "contempt of court." Kehadiran rumusan ini bermasalah karena jurnalis dapat dipidana lima tahun penjara apabila produk jurnalistiknya mempengaruhi keputusan hakim.

Selain itu, ada Pasal 494 tentang Tindak Pidana Pembukaan Rahasia. Begitu juga Pasal 309 ayat (1) yang berpotensi multitafsir serta rentan digunakan untuk mengkriminalisasi jurnalis.

“Harusnya, kalau mau menujukan pembelaan, [bisa] menginisiasi lahirnya regulasi yang mendukung iklim kemerdekaan pers. Menganulir pasal-pasal yang selama ini membahayakan kemerdekaan pers karena terlalu karet,” ujarnya.

Kebutuhan untuk merevisi pasal-pasal bermasalah kian mendesak dilakukan mengingat dalam setahun terakhir, terdapat dua upaya pemidanaan jurnalis. Mereka yang jadi korban adalah mantan Pemimpin Redaksi Serat.id, Zakki Amali dan Manan sendiri. Keduanya dikriminalisasi karena melakukan investigasi dugaan plagiat Rektor Unnes Fathur Rokhman serta skandal buku merah yang diduga melibatkan Kapolri Jenderal Tito Karnavian.

“Kasus Serat.id itu jelas sengketa pers. Polisi harus sangat berhati-hati menangani itu. Idealnya, mendorong agar kasus itu tidak ditangani secara pidana, agar supaya diselesaikan melalui mekanisme UU Pers, yaitu dengan meminta Unnes untuk mengadu ke Dewan Pers,” terang Manan.

"Sementara kasus IndonesiaLeaks itu sangat sumir dan kalau mau mempersoalkan liputan yang dimuat lima media, tidak patut diproses secara pidana. Pihak yang merasa dirugikan, entah itu Kapolri, semestinya memberikan contoh untuk memproses kasus lewat mekanisme yang sudah disediakan oleh UU Pers."

Masih Banyak Tugas Rumah

Ada beberapa pekerjaan rumah yang harusnya diutamakan Jokowi untuk melindungi kebebasan pers.

Ambil contoh tentang visi, misi, dan program aksinya sebagai capres 2014. Dalam konteks ini, Jokowi berjanji akan menata kembali kepemilikan frekuensi penyiaran. Harapannya agar tidak terjadi monopoli oleh sekelompok orang atau kartel industri penyiaran.

Menurut riset doktoral Ros Tapsell dari Australian National University yang kemudian dibukukan dengan judul Media Power in Indonesia (2017), sampai sekarang ada delapan konglomerasi media yang menguasai frekuensi publik.

Selain soal konglomerasi media, yang harus dibenahi Jokowi adalah soal clearing house, sebuah mekanisme yang ditujukan untuk menyaring permohonan izin wartawan asing yang hendak meliput kondisi di Papua. Proses clearing house melibatkan 18 unit kerja dari 12 Kementerian berbeda dan dikenal berbelit maupun butuh waktu yang lama.

Ketika menghadiri panen raya di Kabupaten Merauke, 10 Mei 2015, Jokowi menegaskan prosedur itu bakal dihapuskan. Jokowi menyatakan bahwa harus ada mekanisme yang transparan dengan tolok ukur yang objektif, guna mempertimbangkan izin jurnalis asing dalam meliput kondisi di Papua.

“Wartawan dipersulit untuk mendapat izin bisa liputan, bahkan dimata-matai. Kalau tidak, fixer-nya yang diintimidasi,” ujarnya.

infografik kekerasan terhadap jurnalis era jokowi

infografik kekerasan terhadap jurnalis era jokowi

Masalah lain yang tak kalah penting adalah intimidasi. Berdasarkan catatan tim advokasi AJI, pada era Jokowi terdapat pola tindak kekerasan baru terhadap jurnalis berupa perundungan maupun penyebaran informasi pribadi melalui media sosial.

Sepanjang 2018, ada tiga kasus persekusi wartawan media daring. Korbannya yakni jurnalis kumparan.com dan detik.com. Data pribadi keduanya, yang sedang meliput "Aksi Bela Islam 211", diumbar oleh kelompok yang keberatan dengan pemberitaan yang ditulis.

“Persekusi terhadap wartawan belum ada yang diproses hukum. Tapi, beberapa kasus persekusi yang korbannya bukan wartawan, proses hukum jalan. Presiden harus menujukan komitmen yang lebih jelas pada kemerdekaan pers, terutama dalam realitasnya,” ungkapnya.

Buruknya perlindungan terhadap jurnalis pada era Jokowi juga diungkapkan oleh Ade.

“Tidak ada sama sekali progres. Sama saja era SBY [Susilo Bambang Yudhoyono], Jokowi. Jadi, memang tidak memberi perhatian kepada kebebasan pers. Mungkin dianggap sudah aman atau selesai. Padahal, setiap tahun masih terjadi kekerasan terhadap jurnalis,” ungkap Ade.

Semestinya, peran pemerintah, kata Ade, menjamin kebebasan pers tetap dilindungi. Namun, Jokowi belum sepenuhnya merealisasikan hal tersebut.

“Tidak cukup di situ. Penyelesaian kasus pembunuhan itu harusnya menjadi langkah konkrit pemerintah. Efeknya, ketika kasus-kasus pembunuhan dan kekerasan dibiarkan, yang ada hanyalah impunitas yang menjamur. Nantinya demokrasi kita akan sakit,” tegasnya.

“Secara umum, visi misi Jokowi saat ini belum menyentuh kebebasan pers. Lebih mendahulukan infrastruktur tapi aspek kebebasan sipilnya masih sangat kurang.”

Baca juga artikel terkait HARI PERS NASIONAL atau tulisan lainnya dari Dieqy Hasbi Widhana

tirto.id - Hukum
Reporter: Dieqy Hasbi Widhana
Penulis: Dieqy Hasbi Widhana
Editor: Maulida Sri Handayani