Menuju konten utama

Hari Migran Sedunia 2022: Negara Belum Maksimal Lindungi ABK

Mekanisme pelindungan pada ABK saat ini tidak maksimal lantaran berbagai instrumen hukum yang tumpang tindih.

Hari Migran Sedunia 2022: Negara Belum Maksimal Lindungi ABK
Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) menggelar aksi unjuk rasa di Kantor Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker), Jakarta Selatan pada Senin (19/12/2022). tirto.id/Farid Nurhakim

tirto.id - Ketua Umum Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) Hariyanto Suwarno mengatakan hingga kini peran pemerintah dalam melindungi buruh migran masih belum maksimal. Dia menyebut tumpang tindih masih terjadi, meski undang-undang (UU) dan peraturan turunannya sudah mengatur tugas dan wewenang masing-masing lembaga atau kementerian (K/L).

Dalam momentum Hari Migran Internasional 2022, Hariyanto mengajak para pegiat buruh migran dan masyarakat sipil yang peduli dengan nasib buruh migran untuk mendesak pemerintah Indonesia menjalankan tanggung jawab perlindungan sesuai dengan kewenangannya masing-masing.

“Hari Migran Internasional tidak untuk dirayakan, melainkan untuk konsolidasi rakyat dalam wadah perjuangan buruh migran baik di sektor darat maupun laut yang sampai saat ini nihil perlindungan dari negara,” tegas Hariyanto lewat keterangan tertulis yang diterima Tirto pada Senin, (19/12/2022).

Dia menuturkan, salah satu tumpang tindih aturan yang harus segera dituntaskan adalah soal implementasi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 22 Tahun 2022 tentang Penempatan dan Perlindungan Awak Kapal Niaga dan Awak Kapal Perikanan Migran.

PP ini menegaskan penerbitan surat izin usaha perekrutan dan penempatan awak kapal (SIUPPAK), yang diterbitkan oleh Kementerian Perhubungan (Kemenhub) harus dikonversi ke surat izin perusahaan penempatan pekerja migran Indonesia (SIP3MI) yang diterbitkan oleh Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker).

“Kemenhub harusnya sadar bahwa mereka sudah tidak punya kapasitas mengurus AKP (awak kapal perikanan) migran,” ujar Hariyanto.

Sementara itu, Juru Kampanye Laut Greenpeace Indonesia Afdillah mengatakan apa yang menimpa ABK asal Indonesia bisa dicegah dengan mitigasi regulasi yang tepat. Berbagai instrumen hukum yang tumpang tindih saat ini membuat mekanisme pelindungan pada ABK tidak maksimal.

“Kita tahu saat ini ada aturan yang tumpang tindih antara Kementerian Perhubungan dan Kementerian Ketenagakerjaan, padahal kondisi ABK kita banyak yang tidak bisa menunggu,” tutur Afdillah dalam kesempatan yang sama.

Lanjut dia, dalam laporan hasil kolaborasi Greenpeace Indonesia dan SBMI, disebutkan bahwa ABK asal Indonesia mengalami kondisi kerja buruk atau kerja paksa sesuai dengan 11 indikator kerja paksa Organisasi Perburuhan Internasional (International Labour Organization/ILO) seperti kekerasan, penipuan, isolasi, pembatasan gerak, lembur berlebihan, pemotongan upah, dan jeratan hutang. Apalagi para ABK juga kerap bekerja di kapal ikan asing jarak jauh yang diduga terlibat dalam praktik perikanan ilegal (illegal, unreported, and unregulated fishing/IUU fishing).

“Terbaru, Departemen Keuangan AS (Amerika Serikat) memberi sanksi pada Dalian Ocean Fishing Co, yang merupakan pemilik 26 kapal asal Cina. Kapal-kapal ini mayoritas mendapat izin menangkap tuna. Tapi faktanya, banyak ABK kita yang dipaksa secara ilegal mengambil sirip hiu atau bahkan membunuh hewan laut yang dilindungi,” kata Afdillah.

Untuk diketahui, Indonesia merupakan salah satu negara pemasok ABK perikanan terbanyak untuk bekerja di kapal ikan asing. Negeri ini memiliki banyak agen perekrut dan penyalur ABK (manning agency), yang dengan mudah merekrut serta mengeksploitasi para ABK lewat berbagai iming-iming. Kondisi ini diperburuk dengan lemahnya regulasi yang melindungi para ABK sejak perekrutan sampai bekerja di lautan lepas.

Baca juga artikel terkait BURUH MIGRAN atau tulisan lainnya dari Farid Nurhakim

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Farid Nurhakim
Penulis: Farid Nurhakim
Editor: Restu Diantina Putri