Menuju konten utama

Hari Kereta Api Nasional 2021: Sejarah HUT KAI 28 September

Hari Kereta Api 28 September 2021 dan bagaimana sejarahnya?

Hari Kereta Api Nasional 2021: Sejarah HUT KAI 28 September
Penumpang kereta api lokal Dhoho keluar dari gerbong di Stasiun Kota Kediri, Jawa Timur, Rabu (22/9/2021). ANTARA FOTO/Prasetia Fauzani/foc.

tirto.id - Hari Kereta Api Nasional diperingati setiap tanggal 28 September. Tahun ini, peringatan Hari Kereta Api Indonesia sekaligus HUT KAI ke-76 akan dirayakan pada Selasa (28/9/2021). Sejarah Hari Kereta Api Nasional ini sudah dimulai sejak zaman Belanda.

Perkeretaapian di Indonesia dimulai ketika pencangkulan pertama jalur kereta api Semarang-Vorstenlanden (Solo-Yogyakarta) di Desa Kemijen oleh Gubernur Jendral Hindia Belanda Mr. L.A.J Baron Sloet van de Beele pada 17 Juni 1864.

Dilansir laman KAI, pembangunan dilaksanakan oleh perusahaan swasta Naamlooze Venootschap Nederlansch Indische Spoorweg Maatschappij (NV. NISM) menggunakan lebar sepur 1435 mm.

Sejarah Hari Kereta Api 2021

Pemerintah Hindia Belanda membangun jalur kereta api negara melalui Staatssporwegen (SS) pada 8 April 1875. Rute pertama SS meliputi Surabaya-Pasuruan-Malang. Keberhasilan NISM dan SS mendorong investor swasta membangun jalur kereta api lainnya.

Selain di Jawa, pembangunan jalur kereta api dilaksanakan di Aceh (1876), Sumatera Utara (1889), Sumatera Barat (1891), Sumatera Selatan (1914), dan Sulawesi (1922).

Sementara itu di Kalimantan, Bali, dan Lombok hanya dilakukan studi mengenai kemungkinan pemasangan jalan rel, belum sampai tahap pembangunan.

Sampai akhir 1928, panjang jalan kereta api dan trem di Indonesia mencapai 7.464 km dengan perincian rel milik pemerintah sepanjang 4.089 km dan swasta sepanjang 3.375 km.

Pada 1942, setelah Pemerintah Hindia Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang, perkeretaapian Indonesia diambil alih Jepang dan berubah nama menjadi Rikuyu Sokyuku (Dinas Kereta Api).

Selama penguasaan Jepang, operasional kereta api hanya diutamakan untuk kepentingan perang. Salah satu pembangunan di era Jepang adalah lintas Saketi-Bayah dan Muaro-Pekanbaru untuk pengangkutan hasil tambang batu bara guna menjalankan mesin-mesin perang mereka.

Setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945, beberapa hari kemudian dilakukan pengambilalihan stasiun dan kantor pusat kereta api yang dikuasai Jepang.

Puncaknya adalah pengambilalihan Kantor Pusat Kereta Api Bandung tanggal 28 September 1945, yang kemudian ditetapkan sebagai Hari Kereta Api Indonesia. Hal ini sekaligus menandai berdirinya Djawatan Kereta Api Indonesia Republik Indonesia (DKARI).

Ketika Belanda kembali ke Indonesia tahun 1946, Belanda membentuk kembali perkeretaapian di Indonesia bernama Staatssporwegen/Verenigde Spoorwegbedrif (SS/VS), gabungan SS dan seluruh perusahaan kereta api swasta (kecuali DSM).

Berdasarkan perjanjian damai Konfrensi Meja Bundar (KMB) Desember 1949, dilaksanakan pengambilalihan aset-aset milik pemerintah Hindia Belanda. Pengalihan dalam bentuk penggabungan antara DKARI dan SS/VS menjadi Djawatan Kereta Api (DKA) tahun 1950.

Ini rincian perubahan nama PT KAI:

- Pada 25 Mei 1950 DKA berganti menjadi Perusahaan Negara Kereta Api (PNKA). Pada tahun tersebut mulai diperkenalkan juga lambang Wahana Daya Pertiwi yang mencerminkan transformasi Perkeretaapian Indonesia sebagai sarana transportasi andalan guna mewujudkan kesejahteraan bangsa tanah air.

- Pada 1971, PNKA berubah nama menjadi Perusahaan Jawatan Kereta Api (PJKA) tahun 1971.

- Pada 1991, dalam rangka meningkatkan pelayanan jasa angkutan, PJKA berubah bentuk menjadi Perusahaan Umum Kereta Api (Perumka).

- PAda 1998, Perumka berubah menjadi Perseroan Terbatas, PT. Kereta Api Indonesia (Persero).

Saat ini, PT Kereta Api Indonesia (Persero) memiliki tujuh anak perusahaan/grup usaha yakni KAI Services (2003), KAI Bandara (2006), KAI Commuter (2008), KAI Wisata (2009), KAI Logistik (2009), KAI Properti (2009), PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (2015).

Baca juga artikel terkait HARI KERETA API NASIONAL atau tulisan lainnya dari Dipna Videlia Putsanra

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Dipna Videlia Putsanra