Menuju konten utama

Hari Kebebasan Pers dan Siklus Kekerasan yang Tak Kunjung Berhenti

Pada Hari Kebebasan Pers Sedunia 3 Mei lalu AJI menyigi data suram: kekerasan terhadap para wartawan meningkat, dengan pelaku terbanyak polisi.

Hari Kebebasan Pers dan Siklus Kekerasan yang Tak Kunjung Berhenti
Sejumlah wartawan melakukan unjuk rasa, di depan Mapolda Gorontalo, Kabupaten Gorontalo, Gorontalo, Kamis (15/10/2020). ANTARA FOTO/Adiwinata Solihin/hp.

tirto.id - Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia menilai kebebasan pers pada 2020-2021 memburuk. Hal tersebut ditandai dengan naiknya angka kekerasan terhadap mereka. Kasus yang tercatat sebanyak 90, sementara sebelumnya hanya 57, bahkan terbanyak dalam 10 tahun terakhir. Paparan ini dikemukakan saat Hari Kebebasan Pers Sedunia (World Press Freedom Day) pada 3 Mei lalu.

Sebanyak 28 kasus terkait intimidasi, lalu 22 kasus terkait perusakan alat dan atau hasil liputan, kekerasan fisik 19 kasus, teror 9 kasus, pelarangan pemberitaan 2 kasus, pelarangan liputan 3 kasus, dan kriminalisasi 6 kasus.

Polisi menjadi pelaku terbanyak dengan 58 kasus, TNI 5 kasus, warga 7 kasus, tidak dikenal 10 kasus, dan pemerintah 4 kasus.

Ketua Bidang Advokasi AJI Erick Tanjung menyebutkan dua contoh kasus. Pertama vonis terhadap Diananta Putera Sumedi dan kedua kasus jurnalis Tempo Nurhadi. Diananta, sebelumnya Pemimpin Redaksi Banjarhits.id, divonis penjara tiga bulan 15 hari karena artikel yang dia tulis terkait sengketa tanah antara warga dan perusahaan malah dianggap melanggar UU ITE.

Sementara Nurhadi dianiaya saat mengejar keterangan narasumber. Kepalanya ditutup bahkan diancam dibuang ke laut. Ia telah melaporkan ke pihak berwajib dan perkara sudah naik ke tahap penyidikan, namun “belum ada progres dari penanganan kasus,” ujar Erick dalam konferensi pers, Senin (3/5/2021).

Kekerasan terhadap jurnalis juga terjadi dalam ruang daring. Data AJI Indonesia periode Mei 2020-Mei 2021 mencatat 14 kasus serangan digital. Korbannya 10 jurnalis dan empat media. Serangan digital berbentuk doxing, peretasan akun media sosial, peretasan situs media—Tirto mengalaminya bersama dengan Tempo pada 21 Agustus 2020.

“Dari 14 kasus serangan digital, tiga telah dilaporkan ke kepolisian. Tapi hingga sekarang belum ada tersangka yang ditetapkan,” imbuh Erick.

Para jurnalis juga rentan menjadi korban kekerasan seksual. Dari 34 jurnalis yang menjadi responden AJI, 25 di antaranya pernah mengalami kekerasan seksual. Mayoritas korban ialah perempuan. Pelakunya beragam, mulai dari pejabat publik yang menjadi narasumber, narasumber non pejabat publik, bahkan rekan kerja (atasan, non atasan, dan sesama jurnalis dari media berbeda).

AJI juga mencatat sejumlah aturan yang menghambat kebebasan pers, semisal UU ITE, KUHP, Peraturan MA tentang Protokol Persidangan dan Keamanan dalam Lingkungan Pengadilan, UU Cipta Kerja klaster penyiaran, SE KPI soal pelarangan menampilkan LGBT dalam siaran selama Ramadan, dan telegram Kapolri tentang pedoman peliputan yang bermuatan kekerasan—yang telah dicabut sehari setelah diterbitkan usai mendapatkan banyak kritik.

Selain AJI, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) juga mencatat kepolisian sebagai pihak yang banyak diadukan. Kepolisian berkelindan dengan pejabat publik dan TNI.

Komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara mengatakan tak semua polisi paham tugas dan fungsi jurnalis, kebebasan pers, dan peran-perannya terhadap penegakan demokrasi dan HAM. “Setiap orang berhak atas kebebasan menyatakan berpendapat dan mencari-menerima informasi. Kebebasan pers bagian dari kebebasan berpendapat, berekspresi dan itu hak konstitusional yang dimiliki setiap individu,” ujar Beka dalam kesempatan yang sama.

Beka berkaca pada insiden kerusuhan Mei 2019. Ketika itu polisi mengklaim tidak bisa melihat secara saksama posisi jurnalis karena tanda pengenal mereka terlalu kecil. Alibi tersebut menurutnya mengada-ada.

Beka menyebut fenomena ini sebagai “siklus kekerasan yang tak henti.”

Direktur Eksekutif LBH Pers Ade Wahyudin juga mengamini bahwa polisi masih tidak paham UU Pers dan fungsi jurnalistik. Dalam satu kasus, LBH Pers pernah menemui pihak SPKT kepolisian yang kebingungan menentukan perkara ke ranah kriminal khusus atau kriminal umum. “Perdebatannya siapa yang akan menangani perkara, ini harus polisi seriusi,” ujar Ade dalam kesempatan yang sama.

Ia juga menyayangkan tingginya kasus kekerasan terhadap jurnalis oleh aparat kepolisian dan pada saat yang sama minim kasus yang tuntas. “Kasus yang pernah kami laporkan dari 2019, sampai sekarang entah bagaimana kelanjutannya. Lalu kami laporkan kasus yang menimpa Tirto dan Tempo, minta polisi cari pelaku, tapi kasusnya hingga kini belum jelas,” ujar Ade.

Maraknya kekerasan terhadap jurnalis juga tidak didukung oleh mekanisme perlindungan dari Dewan Pers. Dewan Pers kerap diremehkan. Pernyataan-pernyataan mereka jarang digubris. “Ketika Dewan Pers bilang ini masuk ranah mereka, lembaga-lembaga lain tidak menghiraukan. Padahal DP adalah mandat dari UU Pers dan levelnya sejajar,” ujarnya.

Kepala Bagian Penerangan Umum (Kabagpenum) Divisi Humas Polri Kombes Ahmad Ramadhan menilai tingginya angka kekerasan polisi terhadap jurnalis sebagaimana paparan AJI tidak menunjukkan sikap kepolisian secara kesatuan.

Ia memberikan ilustrasi: “Kira-kira kalau ada 1 polisi yang melakukan kekerasan dari 2.000 polisi, 1.999 masih menjadi sahabat jurnalis.” “Ini adalah oknum. Media adalah rekan dan mitra kami,” ujar Ahmad.

Baca juga artikel terkait KEKERASAN JURNALIS atau tulisan lainnya dari Alfian Putra Abdi

tirto.id - Hukum
Reporter: Alfian Putra Abdi
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Rio Apinino