Menuju konten utama

Hari Kebangkitan Nasional Diperingati Setiap 20 Mei dan Sejarahnya

Sejarah Hari Kebangkitan Nasional yang diperingati setiap 20 Mei di Indonesia. Berikut selengkapnya.

Hari Kebangkitan Nasional Diperingati Setiap 20 Mei dan Sejarahnya
Pengunjung mengamati diorama di ruang memorial Boedi Oetomo, Museum Kebangkitan Nasional, Jakarta, Senin (20/5/2019). ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto.

tirto.id - Hari Kebangkitan Nasional diperingati setiap tanggal 20 Mei oleh bangsa Indonesia. Tanggal tersebut merupakan hari berdirinya Boedi Oetomo (B0) pada 20 Mei 1908.

BO adalah salah satu organisasi awal di Hindia Belanda (Indonesia) yang menyuarakan nasionalisme.

Boedi Oetomo (Budi Utomo) disebut-sebut sebagai organisasi pertama di Indonesia yang bersifat nasional dan modern dalam sejarah. Maka, tanggal berdirinya Boedi Oetomo diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional.

Tanggal 20 Mei 1908 merupakan hari berdirinya Boedi Oetomo (BO) di Batavia atau Jakarta. BO didirikan oleh beberapa siswa STOVIA (School tot Opleiding van Indische Artsen) atau sekolah dokter untuk bumiputera, cikal-bakal Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FK-UI).

Hari Kebangkitan Nasional Diperingati setiap 20 Mei

Setiap tahunnya, masyarakat bangsa Indonesia memperingati tanggal 20 Mei sebagai hari Kebangkitan Nasional. Tanggal tersebut merupakan tanggal lahirnya salah satu organisasi pertama yang menyuarakan nasionalisme di Hindia Belanda, Boedi Oetomo.

Menurut B.J.O. Schrieke seperti dikutip Akira Nagazumi dalam Bangkitnya Nasionalisme Indonesia, Budi Utomo 1908-1918 (1989), BO sebenarnya merupakan perkumpulan cendekiawan Jawa dan memiliki ikatan kuat dengan kebudayaan Jawa (hlm. 230-231).

Berdasarkan catatan yang dikumpulkan Nagazumi, BO pada dasarnya didirikan di bawah filosofi dan kebudayaan Jawa dengan mengikuti garis-garis modern dari Barat atau Eropa.

Masih di buku yang sama, ia memaparkan dominasi orang Jawa dalam daftar siswa STOVIA (sekolah dokter Jawa yang didirikan pemerintah kolonial) yang berpartisipasi dalam kegiatan pembentukan organisasi ini.

Boedi Oetomo merupakan nama yang diusulkan Soeradji, kawan sekelas Soetomo yang juga menghadiri pertemuan dengan Wahidin.

Imam Supardi dalam Dr. Soetomo: Riwayat Hidup dan Perjuangannya (1951: 28) memaparkan, nama itu terbersit di benak Soeradji ketika menyaksikan Wahidin berpamitan untuk meneruskan perjalanannya ke Banten.

Dalam suasana itu, Soetomo dengan mata berbinar memuji tekad seniornya itu sebagai sebuah “budi utomo”.

BO kemudian dipandang sebagai salah satu dampak keberhasilan politik etis di tanah Jawa. Tidak seperti organisasi pribumi lainnya yang memilih jalur radikal, BO yang moderat-progresif tidak mendapat suatu kesulitan apapun sejak didirikan.

Belum genap satu tahun berdiri, perkumpulan ini sudah mendapat pengakuan dari Gubernur Jenderal Joannes Benedictus van Heutsz dan berhak berdiri di hadapan pengadilan Hindia Belanda dalam kedudukan yang sama dengan seorang sipil Eropa.

BO yang lahir dari gedung asrama mahasiswa STOVIA lebih banyak mendiskusikan persoalan nasionalisme priayi Jawa dan persoalan adat kolot mereka.

Seperti dipaparkan Robert van Niel dalam Munculnya Elit Modern Indonesia (1984: 81), STOVIA memang didirikan pemerintah kolonial untuk memberikan pendidikan lanjutan cara Barat kepada anak-anak priayi rendah.

Priayi rendah, menurut van Niel, adalah kelompok yang paling sering tersisih dalam struktur pemerintahan tradisional Jawa.

Meski posisi mereka semakin tinggi dibandingkan sebelum abad ke-20, ada kalanya anak-anak dari keluarga ini tidak mampu bersaing dengan hak-hak istimewa yang dimiliki priayi tinggi seperti halnya keluarga bupati.

Salah satu orang Belanda pendukung etisme, demikian tulis Sartono Kartodirdjo dalam Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional (2014: 38), adalah Conrad Theodor (C.Th.) van Deventer.

Kalangan etis mendesak pemerintah kolonial Hindia Belanda untuk menerapkan kebijakan yang berpihak kepada bumiputera atau kaum pribumi alias rakyat Indonesia.

Menurut van Deventer dan kawan-kawan, sudah sepantasnya Belanda berterima kasih kepada rakyat Hindia (Indonesia) karena telah memperoleh keuntungan besar selama berpuluh-puluh tahun menduduki Nusantara.

Maka dari itu, van Deventer menawarkan solusi kebijakan yang dikenal dengan sebutan Politik Etis. Politik Etis merupakan kebijakan politik balas budi yang mencakup tiga bidang, yaitu irigasi, edukasi, dan emigrasi.

Pada kenyataannya, penerapan Politik Etis masih belum sesuai dengan yang diharapkan kendati rakyat Indonesia mulai bisa mengenyam pendidikan. Hal ini nantinya berdampak terhadap munculnya kaum terpelajar di Indonesia.

Kalangan intelektual bumiputera ini nantinya memulai abad ke-20 dengan perjuangan gaya baru. Tidak lagi melalui kekerasan yang bersifat kedaerahan, melainkan berjuang dengan mengedepankan pikiran dan organisasi.

Masa-masa inilah yang kemudian disebut dengan era pergerakan nasional dengan Boedi Oetomo sebagai salah satu perhimpunan kebangsaan yang mengawalinya.

Baca juga artikel terkait HARI KEBANGKITAN NASIONAL atau tulisan lainnya dari Dipna Videlia Putsanra

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Dipna Videlia Putsanra
Editor: Agung DH
Penyelaras: Yulaika Ramadhani