Menuju konten utama
11 Mei 1981

Hari Bob Marley Menemui Jah

Nyanyi merdeka.
Penuntun jalan rasta,
pembebas jiwa.

Hari Bob Marley Menemui Jah
Ilustrasi Bob Marley (1945-1981). tirto.id/Sabit

tirto.id - Pada 1976 pukul 20.30, dua mobil Datsun putih masuk ke Tuff Gong, bangunan milik label rekaman Bob Marley and The Wailers. Dua mobil ini berisi 7 atau 8 orang yang menenteng senapan mesin dan pistol. Mereka masuk ke ruangan, dan menembak serampangan.

Di ruangan lain, Marley dan The Wailers sedang berlatih "I Shoot the Sheriff". Setelah penembakan terjadi, Marley dan beberapa orang lain bersembunyi di kamar mandi. Dalam kasus itu, Marley selamat dengan mengalami luka di dada dan tangan.

Setelah selamat dari kasus pembunuhan, banyak orang berpikir bahwa Marley akan berumur panjang. Ada banyak bukti sejarah yang membuktikan bahwa jika ada orang yang selamat dari percobaan pembunuhan, ia akan hidup lama. Fidel Castro, contohnya.

Tapi setahun dari percobaan pembunuhan, ada kabar yang membuat banyak orang terhenyak: Marley terkena melanoma, sejenis kanker kulit, yang tumbuh di bawah kuku jempol kakinya. Marley merahasiakan hal itu dari para penggemar. Ia mengaku perban yang membalut kakinya adalah untuk menutupi luka karena main sepak bola.

Dokter menyarankan Marley untuk amputasi. Tapi ia menolak. Penolakan itu bisa dibaca di salah satu buku biografi klasik Marley karya Timothy White, Catch a Fire: The Life of Bob Marley (2006)

"Rasta no abide amputation," ujarnya. Rastafari, kepercayaan yang dianut Marley, melarang amputasi. "Jah, de living God [...] will heal me wit' de meditations of me ganja chalice [...] or he will tek me as a son inta His Kingdom." Bagi Marley, tak ada pilihan untuk amputasi. Pilihannya hanya dua: Jah, tuhan para pemeluk Rastafari, akan menyembuhkannya; atau Jah akan mengambil Marley.

Tapi Marley bukan musisi yang mudah takluk oleh kanker. Ia adalah petarung, pria yang tumbuh di kawasan ghetto yang keras, yang pantang bilang tidak pada setiap aral, yang mendapat julukan talawa, Tuff Gong: ia yang kuat dan tak kenal takut.

Setelah mendapat kabar buruk dan enggan mengamputasi jari kaki, Marley terus bermain musik. Ia menulis lagu. Ia konser. Ia mengadakan tur. Marley tak kenal kata berhenti. Ia juga mendukung usaha-usaha pembebasan negara Afrika.

Marley Bukanlah Musisi Politik

Chris Salewicz, penulis Bob Marley: The Untold Story (2009), mengatakan bahwa Bob sebenarnya bukan musisi yang politis. Tapi ia tak segan masuk ke ranah itu untuk alasan yang tepat: kebebasan dan kemanusiaan.

"Jadi kalau ditanya apakah Bob itu politikal, jawabannya: tidak. Tapi ketika Rhodesia menjadi Zimbabwe, pada malam kemerdekaan, Bob Marley & The Wailers menjadi bintang tamu di konser besar. Itu karena lagu-lagu Bob menginspirasi para gerilyawan berperang di semak-semak," kata Salewicz.

Apa yang dikisahkan oleh Salewicz adalah konser kemerdekaan Zimbabwe, negara yang sebelumnya dijajah Inggris dan bernama Rhodesia. Pada awal April 1980, dua orang pebisnis Zimbabwe, Job Kadengu dan Gordon Muchanyuka berpikir siapa musisi yang pantas mengisi konser pada hari kemerdekaan, 18 April 1980. Mereka berdua akhirnya setuju satu nama: Bob Marley.

Marley dipilih bukan tanpa alasan. Pada masa merebut kemerdekaan, pejuang gerilya dari Patriotic Front menjalani hari dengan lagu-lagu Marley. Para tentara dari Zimbabwe African National Liberation Army (ZANLA), juga, di sela-sela gerilya, memutar kaset Marley untuk menguatkan hati dan menghibur diri.

"Jelas, musik Marley punya potensi dan komitmen yang jauh melampaui sekadar hiburan," tutur Fred Zindi, seorang profesor di Universitas Zimbabwe.

Dua minggu sebelum konser dimulai, Kadengu dan Muchanyuka mengundang Marley untuk tampil di Zimbabwe. Sang manajer menentang ide ini. Tapi Marley yang sudah lama mengikuti sepak terjang perjuangan kemerdekaan Zimbabwe --termasuk mendukungnya lewat konser di Amandla Festival of Unity-- bersikeras tampil di sana. Tak ada yang bisa melarang Marley.

Untuk acara konser itu, Marley menyewa sendiri perlengkapan konsernya. Ia paham, sebuah negara yang baru berdiri tak akan punya kemewahan seperti sound system yang bisa menggetarkan satu stadion. Maka Marley menyewa peralatan dari Inggris, dan menerbangkannya ke Zimbabwe dengan biaya sendiri. Peralatan yang disewa tak main-main. Total beratnya mencapai 21 ton, dengan daya 35.000 watt. Untuk menerbangkan ke Zimbabwe, Marley menyewa Boeing 707, lengkap dengan 12 kru untuk mengurusi tetek bengek sound.

Infografik MOZAIK BOB MARLEY

Selagi menunggu perlengkapan konser di Rufaro Stadium siap, Marley, dengan gayanya yang membumi dan tak pernah menganggap diri sebagai superstar, nongkrong dengan mantan pejuang gerilya, mengunjungi petani ganja, dan tentu saja mencoba hasil panen terbaik mereka.

Pada 17 April malam, jelang hari berganti, Bob Marley and the Wailers naik panggung. Orang-orang menyerbu masuk. Tentara yang tak pernah melihat gelombang manusia sebanyak itu, panik. Mereka melempar gas air mata.

"Aku tahu aku berada di tengah-tengah pusat revolusi," kata Marley.

Saat pembawa acara memanggil nama Marley, stadion bergemuruh. Mereka memainkan "Positive Vibration", "Them Belly Full (But We Hungry)", juga "I Shot the Sheriff". Di lagu keenam itu, kerusuhan terjadi. Gas air mata ditembakkan lagi. Marley dan personel band diungsikan. Konser dihentikan. Untung Marley masih mau main lagi keesokan harinya. Di konser kedua ini, lagu yang dimainkan lebih banyak: sembilan. Ada "Roots, Rock, Reggae", "Zimbabwe", "Get Up, Stand Up", hingga "Exodus".

Enos Nyarenda, aktivis dan pejuang gerilya berusia 21 tahun yang kembali dari pengasingan, datang ke konser tanggal 19 April itu. Baginya, itu momen yang amat emosional. Pertama, ia berhasil bertemu kembali dengan ayahnya yang dipenjara selama lima tahun oleh pemerintah Inggris. Kedua, ini adalah konser besar pertama dalam sejarah Zimbabwe dan tepat diadakan di hari kemerdekaan.

"Gila, kami baru pertama ini menyaksikan artis internasional di Zimbabawe, orang-orang dengan gimbal panjang. Beberapa hal dari mereka sedikit asing waktu itu. Lama menghabiskan waktu bergerilya, aku sebenarnya bukan fans sejati reggae. Tapi semua orang kegirangan dan berteriak-teriak. Konser itu gratis. Kami membayarnya dengan kecintaan terhadap musik Marley. Semua orang tak percaya kami telah bebas, merdeka. Kami masih membicarakan konser itu hingga hari ini."

Mempersiapkan Diri Bertemu Jah

Sebulan setelah konser di Zimbabwe, Marley and the Wailers merilis Uprising. Ada dua lagu hits di album ini, "Could You Be Loved", dan lagu yang kerap didapuk sebagai salah satu lagu terbaik sepanjang masa, "Redemption Song".

Sama seperti model promo kala itu, Marley dan bandnya pun melakukan tur. Diberi nama Uprising Tour, perjalanan dimulai dari Swiss pada 30 Mei 1980. Tur ini disambut dengan meriah. Beberapa mencatatkan rekor penonton.

Dalam konser di San Siro, Milan, penonton mencapai 120.00 orang. Jumlah ini disebut sebagai konser stadion dengan penonton terbanyak di Italia, maupun Eropa.

Selepas menjelajah Swiss, Jerman, Prancis, Inggris, Norwegia, Swedia, Denmark, Belgia, Belanda, Italia, Spanyol, Irlandia, Skotlandia, dan Wales selama Mei-Juli, Bob Marley and the Wailers mengambil jeda sebelum melanjutkan tur di Amerika Serikat. Pada September, tur di Amerika mulai.

Konser terakhir Marley diadakan pada 23 September 1980 di Stanley Theater, Pittsburgh. Dua hari sebelumnya, Marley pingsan saat sedang jogging. Ia dibawa ke rumah sakit, dan di sana diketahui kalau kanker sudah merambat ke otaknya. Tur dihentikan, dan Marley dibawa ke Jerman untuk berobat alternatif ke Josef Issels.

Di saat itu, kesehatan Marley makin mengkhawatirkan. Kanker sudah menyebar dengan cepat. Kini, kanker sudah menyerang otak, hati, dan paru-paru Marley.

Orang-orang terdekatnya tahu, Marley mungkin akan segera diambil Jah. Cindy Breakspeare, kekasih Marley selama periode 1977-1978 yang melahirkan Damian Marley, sering menangis mengetahui fakta bahwa Marley tak akan lama tinggal di bumi. Tapi Marley menghiburnya.

"I'll be all right. I'm gwan ta prepare a place," ujarnya menenangkan Cindy.

Marley juga memastikan agar hak royalti lagu-lagu Bob Marley sampai pada keluarganya. Ia tak ingin keluarganya hidup susah sepeninggalnya. Tapi ia juga tak ingin keluarganya hidup dalam gelimang kemewahan dan melupakan esensi kehidupan. Di ujung usianya, Marley berkata pada Ziggy, anak tertuanya, bahwa, "uang tak bisa membeli kehidupan."

Pada April 1981, Bob Marley mendapat salah satu penghargaan tertinggi di Jamaika, yakni Jamaica Order of Merit. Ia dianggap sangat berkontribusi terhadap kultur Jamaika. Sayang, Marley yang masih di Jerman tak bisa menerimanya langsung.

Setelah pengobatan di Jerman tak membuahkan hasil berarti—selain rambut Marley yang rontok habis-habisan—Marley diterbangkan pulang ke Jamaika. Di penerbangan, kondisi Marley memburuk. Pesawat mendarat di Miami, Florida, dan Marley segera dilarikan ke Cedars of Lebanon Hospital. Di sana, pada 11 Mei 1981, tepat hari ini 37 tahun lalu, Bob Marley mangkat pada usia 36. Penyebabnya adalah kanker di paru-paru dan otak.

Jenazahnya dibawa pulang ke Jamaika. Ia dikebumikan pada 21 Mei di Nine Mile, desa kelahiran Marley. Sang Nabi Reggae ini diusung dalam peti mati warna keperakan. Di dalam, tangannya menggenggam Alkitab yang menunjukan surat Psalm ayat 23. Juga terbaring di dalam peti mati, adalah gitar merah Gibson Les Paul kesayangannya, dan setangkai ganja yang diletakkan oleh istrinya, Rita.

Sehari sebelum dimakamkan, peti mati berisi jenazah Marley ditempatkan di tengah bangunan besar agar publik bisa melihat pahlawan Jamaika untuk terakhir kalinya. Sekitar 100.000 orang memberikan penghormatan terakhir bagi Marley.

Tan Malaka pernah mengatakan: suaranya akan terdengar lebih keras dari dalam kubur. Itu tak terjadi padanya saja, melainkan juga terjadi pada Bob Marley. Meski Marley sudah meninggal nyaris empat dekade silam, suaranya tetap terdengar, bahkan lebih keras. Lagu-lagunya yang berkisah tentang cinta, kemanusiaan, juga protes sosial, justru bergaung lebih nyaring dan terasa makin relevan di masa-masa seperti sekarang.

Baca juga artikel terkait BOB MARLEY atau tulisan lainnya dari Nuran Wibisono

tirto.id - Musik
Penulis: Nuran Wibisono
Editor: Ivan Aulia Ahsan