Menuju konten utama

Harga Cabai Melonjak tapi Petani Tak Ikut Menikmati, Pak Zulhas

Direktur Eksekutif INDEF, Tauhid Ahmad sebut, perlu pembenahan tata kelola pertanian dan distribusi cabai rawit agar permasalahan ini tidak berulang.

Pedagang memilah cabai rawit merah di Pasar Induk Kramat Jati, Jakarta, Rabu (22/12/2021). ANTARA FOTO/Galih Pradipta/rwa.

tirto.id - Lonjakan harga cabai rawit sudah terjadi sejak tiga bulan terakhir. Saat ini cabai rawit di tingkat konsumen sudah mencapai Rp100.000 per kilogram. Bahkan di beberapa daerah seperti Kalimantan harga cabai rawit mencapai Rp130.000/kg. Padahal di periode normal, harga cabai rawit hanya kisaran Rp30.000/kg.

Keluhan warga terkait harga cabai rawit yang melambung tinggi ini sudah didengar oleh Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan. Namun pria yang akrab disapa Zulhas itu mengklaim, ketersediaan stok cabai di dalam negeri masih cukup. Karena itu, kata dia, Kemendag masih membiarkan harga cabai melambung agar bisa dinikmati petani cabai.

“Kadang-kadang utang nggak bisa dibayar, wajar dong petani sekali-sekali dapat bonus [dari kenaikan harga]. Stok [cabai saat ini] ada, [masih] cukup,” kata Zulhas di Press Room Kemendag, Jumat (24/6/2022).

Zulhas memastikan, meskipun harga cabai rawit saat ini tengah melambung tinggi, Kementerian Perdagangan tidak akan mengizinkan permohonan impor cabai. Sebab, kata dia, cabai merupakan komoditas yang dapat diproduksi di dalam negeri.

Namun, pernyataan Zulhas tersebut dikoreksi Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (Ikappi). Mereka beranggapan Zulhas sudah salah berlogika. Sebab, lonjakan harga cabai tidak selalu berhubungan langsung dengan keuntungan yang akan diterima petani. Seharusnya Zulhas mencari sumber masalah dari lonjakan harga suatu komoditas.

“Kami sangat menyayangkan pernyataan Menteri Perdagangan Bapak Zulkifli Hasan. Entah itu diniatkan guyonan atau tidak, namun hal tersebut tidak sepantasnya dilakukan oleh seorang menteri, jangan hibur pedagang atau petani dengan logical fallacy atau kesalahan berlogika,” kata Wasekjen Ikappi Bidang Pembinaan Pasar dan Pendidikan Pedagang Pasar, Ahmad Choirul Furqon.

Berdasarkan informasi yang didapatkan Ikappi, petani di sejumlah daerah yang mengalami penurunan panen imbas tingginya curah hujan tidak ikut mendapat keuntungan di tengah tingginya harga cabai rawit saat ini.

“Mereka mengatakan harga dari petani normal, bahkan tidak ada kenaikan yang signifikan,” ujar dia.

Furqon menjelaskan, saat ini harga cabai di sejumlah daerah masih tinggi. Berdasarkan penelusurannya, lonjakan harga cabai rawit terjadi karena panjangnya rantai distribusi.

“Jadi kalau terjadi kenaikan harga yang tidak rasional, berarti ada masalah besar di jalur tengah yaitu rantai distribusi pangan,” kata dia.

Kondisi tersebut dikonfirmasi Ketua Asosiasi Agribisnis Cabai Indonesia (AACI), Abdul Hamid. Ia sebut, selama pandemi jumlah petani cabai berkurang. Misal dari total ada 1.000 petani cabai, kemudian selama pandemi berkurang sekitar 70 persen. Para petani cabai selama pandemi tidak mendapatkan keuntungan imbas banyak sektor usaha yang tidak beroperasi dan memilih untuk menanam tanaman lain.

“Mereka tetap petani, cuma mereka tanamnya timun. Kemudian ada penambahan yang baru ada 20 persen lagi jadi 50 persen, artinya yang pengalaman menanam cabai berkurang toh. Kemudian sekarang musim kemaraunya gak datang-datang nih, hujan terus, tentu panen berkurang karena tanaman busuk karena lembab ya jamur,” kata Hamid saat dihubungi reporter Tirto, Kamis (30/6/2022).

Hamid menjelaskan, selain cuaca dan jumlah petani cabai yang berkurang, ia mengungkap kualitas tanah juga saat ini menjadi masalah.

“Tanah kita ini miskin pH bahan organiknya, kurang pH-nya rendah, jadi begitu. Maka ke depan harus menggunakan bahan organik. Harus diisi bahan organik, kalau enggak diisi bahan organik itu enggak bisa ya pupuk, jadi itu kuncinya,” kata dia.

Selama musim hujan agar cabai tidak busuk, kata dia, para petani harus mengeluarkan anggaran lebih untuk melakukan penyemprotan obat khusus. Hamid menjelaskan, pada periode normal penyemprotan dilakukan satu minggu sekali, tapi karena ada serangan jamur yang membuat cabai cepat busuk penyemprotan dilakukan setiap hari. Hal tersebut yang membuat harga cabai di tingkat petani melonjak dari Rp38.000/kg menjadi Rp72.000/kg.

“Kalau harga petani jual di masa normal itu cabai di sekitar Rp30 ribu, tapi kalau sekarang dia bisa Rp78 ribu. Karena kan di masa normal kita nyemprot anti jamur itu seminggu sekali, sekarang jadi setiap hari nyemprot anti jamur, supaya bisa panen. Semprot itu biar gak penyakitan, bayangkan dari biasanya seminggu sekali, nah sekarang harus setiap hari nyemprot ya. Kalau sekali nyemprot itu Rp1 juta, kurang lebih Rp7 juta seminggu,” jelas dia.

Hanya saja, kata Hamid, jika biasanya harga cabai dari petani Rp30-38 ribu/kg sampai ke tangan konsumen di angka Rp40-50 ribu. Harga cabai yang sampai Rp100.000 saat ini, kata Hamid, sudah tidak normal.

“Kalau normal hitungan saya Rp38 ribu sampai ke konsumen Rp40 ribu-52 ribu. Kalau lagi kondisi sekarang, kan, gak normal ya, dari petani saja sudah mahal ya, cuma kalau sampai ke konsumennya sampai Rp120 ribu ya kebangetan,” jelas dia.

Suyono, salah seorang petani cabai mengtatakan, berkurangnya petani cabai sudah terjadi sejak Februari 2022 di mana panen cabai rawit kala itu hanya dihargai Rp13.000/kg. Suyono mengatakan, saat itu konsumsi masyarakat belum setinggi saat ini, sampai akhirnya berbagai permasalahan terjadi pada Maret sampai Mei 2022.

“Pada akhir Februari antraknosa [jenis penyakit tumbuhan] ini sudah menyerang, tapi kenapa petani gak semprot? Karena pestisida itu mahal, sementara panen itu masih murah, dihargai Rp13.000/kg akhirnya gak diberantas, banyak yang membirakan gak dirawat,” kata Suyono saat dihubungi reporter Tirto.

Suyono menambahkan, “Akhir Mei, minggu ketiga saat konsumsi dan otomatis harga naik sampai sekarang Juni, itu akhirnya antranosanya udah menyebar luas.”

Menurut Suyono, meskipun saat ini petani menjual cabai di kisaran Rp70 ribu, namun petani tidak merasakan ada kenaikan. Mereka tidak menikmati keuntungan karena harga tersebut habis oleh biaya operasional.

“Jadi meskipun jual Rp70 ribu, tetap saja kami seperti jual Rp30 ritu, enggak banyak untungnya,” kata Suyono.

Permasalahan tersebut seharusnya bisa diatasi bila ada sistem pengiriman pada daerah yang surplus ke defisit. Direktur Eksekutif INDEF, Tauhid Ahmad menjelaskan, perlu pembenahan tata kelola pertanian dan distribusi cabai rawit, agar permasalahan ini tidak berulang.

“Kenapa di petani rendah? Ya banyak waktu, awal tahun itu problem awalnya kan karena oversupply sementara, demand belum tinggi ya, itu harga sudah cenderung lebih rendah. Karena cabai keriting, cabai merah dan sebagainya ini tidak disimpan ya, karena kebutuhan masyarakat kita cenderung menggunakan cabai yang segar. Kalaupun ada, ya simpan yang kering. Itu, kan, enggak cocok untuk konsumsi sehari-hari ya, untuk masak,” kata Tauhid kepada reporter Tirto, Kamis (30/6/2022).

Selain itu, kata Tauhid, perlu pembenahan dari sisi distribusi yang harus diperbaiki. Dari kondisi ini seharusnya petani bisa menikmati kenaikan harga tinggi. Namun karena struktur distribusi, terutama untuk produk hortikultur itu sudah sistemik dan memiliki rantai terlalu panjang, maka meskipun ada kenaikan harga di hilir cenderung tidak terasa di hulu.

“Marjin pengangkatan dan pengangkutan cabai ya ada di BPS itu 25 persen ya, itulah menggambarkan situasi rantai yang cukup panjang untuk beberapa komoditas,” kata Tauhid.

Baca juga artikel terkait CABAI RAWIT atau tulisan lainnya dari Selfie Miftahul Jannah

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Selfie Miftahul Jannah
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Abdul Aziz