Menuju konten utama

Hardiknas 2018: Guru Desak Adanya Pola Dasar Pendidikan Nasional

Cetak biru pendidikan nasional diperlukan agar pembangunan pendidikan nasional tak lagi dilakukan secara parsial dan sporadis.

Hardiknas 2018: Guru Desak Adanya Pola Dasar Pendidikan Nasional
Ilustrasi Hari Pendidikan Nasional. ANTARA FOTO/Wahyu Putro A

tirto.id - Federasi Serikat Guru Indonesia (FGSI) menilai sudah waktunya bagi pemerintah untuk membuat pola dasar atau cetak biru pendidikan secara nasional yang melibatkan seluruh komponen pendidikan.

Hal ini diperlukan agar pembangunan pendidikan nasional tak lagi dilakukan secara parsial dan sporadis tetapi lebih terencana, komprehensif dan melibatkan semua pihak.

"Cetak biru pendidikan nasional sangat mendesak. Tujuannya agar bisa menjadi pedoman, agar bisa menjadi pedoman, tolok ukur dan petunjuk arah dalam menjalankan kebijakan-kebijakan pendidikan secara nasional," ujar Sekretaris Jenderal FGSI Heru Purnomo dalam rilis pers yang diterima Tirto, Rabu (2/5/2018).

Dalam rangka peringatan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) yang jatuh setiap 2 Mei, Heru juga meminta pemerintah untuk menata lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK) maupun fakultas keguruan dan ilmu pendidikan (FKIP) yang tak bermutu, sehingga guru yang dihasilkan pun berkompeten.

"Kurikulum di LPTK mesti disesuaikan dengan perkembangan zaman dan teknologi. Begitu juga dengan kurikulum yang memuat pendidikan ramah anak dan kemampuan berpikir kritis," katanya menambahkan.

Heru juga mengimbau agar guru mesti dibekali dengan pendidikan ramah anak, memahami UU Perlindungan Anak. Selain itu, guru mesti dibekali kompetensi sosial dan kepribadian yang matang.

Menurut dia, sudah waktunya dibuat peraturan setingkat perpres mengenai perlindungan guru di sekolah. Kemudian peraturan setingkat tentang Penanganan kekerasan di sekolah.

"Untuk guru honorer adalah persoalan mendesak segera dipenuhi. Solusi yang bisa dilakukan pemerintah adalah meningkatkan kesejahteraan guru, memberikan insentif bulanan bahkan mengangkat mereka menjadi pegawai negeri sipil, sesuai dengan kualifikasi dan peraturan," imbuh dia.

FSGI menjelaskan masih banyak guru yang statusnya honorer, dengan honor sebesar Rp35.000 per bulan, seperti yang dialami Imron Husain seorang guru dari Sumenep, Madura. Begitu nasib seorang guru dari NTB yang mendapatkan honor sebesar Rp50.000 per bulan.

Oleh karena itu, sudah seharusnya pemerintah memperhatikan kesejahteraan guru honorer. Sebab, Heru menjelaskan, anggaran pendidikan nasional sebesar 20% APBN dan APBD sangat besar jumlahnya.

“Sungguh tragedi yang memalukan dan memilukan, di tengah perayaan Hari Pendidikan Nasional tahun 2018 ini. Para guru yang mengajar di Republik ini tak kunjung memperoleh kesejahteraannya,” papar Heru.

Baca juga artikel terkait HARI PENDIDIKAN NASIONAL atau tulisan lainnya dari Yuliana Ratnasari

tirto.id - Pendidikan
Penulis: Yuliana Ratnasari
Editor: Yuliana Ratnasari