Menuju konten utama

"Harapan Keluarga cuma Satu: Bebas"

Tiga warga di perbatasan Serang-Pandeglang ditangkap. Tuduhannya merusak properti perusahaan menyusul puncak aksi protes menyetop aktivitas pabrik Mayora Group.

Warga yang ditahan karena dituding merusak alat berat PT Tirta Fresindo Jaya (Mayora Group). FOTO/Fahri Salam

tirto.id - Puadi tidak menyangka saat menuju lokasi pangkas rambut tempatnya bekerja, di tepi jalan Serang-Pandeglang, ia bakal ditangkap sorenya oleh kepolisian Banten. Sehabis ia menjalankan pekerjaannya, orang yang barusan dia cukur—seakan lagak konsumen—bertanya soal biaya pangkas. Puadi menjawab ongkosnya Rp8 ribu dan berkata "bukan" saat orang itu bertanya untuk memastikan namanya. Segera setelah orang itu keluar, dua sampai tiga orang masuk ke ruko dan menangkap Puadi.

Dengan mobil Avanza, orang-orang itu membawa Puadi, menunda-nunda waktu, sambil bertanya soal teman-teman Puadi. Malamnya, di kantor Polres Pandeglang, Puadi tidur di kamar mandi, dan harus membersihkan orang yang berak dan pipis. Ia tidur di sana sampai pagi. Sejak ditangkap sore hingga esok pagi, Puadi baru disodorkan makan.

Puadi akan diajak keliling sekali lagi pada saat di tempat lain istri dan anaknya dan orangtuanya dan saudaranya mencari-cari dia. Mereka semua khawatir Puadi diculik.

Malam setelah Puadi ditangkap, Sair Firdaus, saat menghadiri selamatan mertuanya, diambil oleh orang-orang tak dikenal. Mereka minta Sair segera masuk ke mobil.

Pagi hari sebelum Puadi dan Sair ditangkap, tiga anak muda mendatangi rumah Muhibah, ibu Bima Fahru Aziz. Mereka bertanya apakah ada Bima atau tidak. Sang ibu, yang menyangka ketiganya kawan Bima, dengan polos berkata: Ya, Bimbim ada; Ya, Bimbim sedang tidur; dan Ya, Bimbim sedang tidur di kamarnya.

Rumah Muhibah bisa langsung kamu masuki lewat pagar yang terbuka, menuju halaman samping sesudah melintasi garasi, dan kamu bisa bertemu dengan Ibu Muhibah yang bergegas menghampirimu dengan rasa penasaran karena melihat gerak-gerikmu yang mencurigakan.

Itulah yang ada dalam benak Muhibah: Semula ia menyangka tiga anak muda itu pencuri, tetapi saat mereka bertanya soal Bima, ia menduga ketiga orang itu adalah teman putranya.

"Dikira Ibu mah teman Bimbim datang buat ngecet motor," katanya, menyebut nama Bimbim sebagai nama kecil Bima.

Kebiasaan putranya berusia 24 tahun itu memang suka memodifikasi motor. Bimbim juga suka main-main menggeber motor di jalan—sekadar hobi, kata keluarganya.

Bimbim baru pulang ke rumah pada Selasa pagi, 7 Februari 2017. Ia semalaman mengobrol dengan Ustaz Sanusi, warga Desa Suka Indah. Ia langsung jatuh tertidur di kamar depan.

Belum jenak tidur, saat ibunya ke dalam buat membangunkannya, rupa-rupanya sudah ada dua orang masuk ke rumah lewat pintu depan, tanpa melepas sepatu, mendobrak pintu kamar hingga engsel terlepas, dan mengepit leher Bimbim dengan lengan mereka yang kekar. Ibu Muhibah tercekat, ia bilang ia kepoekan alias kosong alias melongo, dan membiarkan putranya berlalu tanpa ia ketahui.

Seorang tetangga yang melihat kejadian serba cepat itu segera mendatanginya. "Kenapa Bimbim dibawa?"

Si Ibu cuma menjawab pendek: Enggak tahu.

Kenapa?

Enggak tahu.

Belakangan, kakak Bimbim, Apip Ripai—dengan pembawaan yang blakblakan dan ligat; tipe kelas pekerja—merasa getun setelah diberitahu temannya di warung tepi jalan bahwa Bimbim dibawa Buser.

Kapan?

Baru saja.

Apip baru kelar membawa mobil ke bengkel. Ada selisih waktu yang pendek. Ketika datang ke rumah, ia melihat ibunya pucat dan lemas.

Saksi yang melihat kejadian itu, termasuk istri Apip, mengenali ada 4 mobil yang "datang dari arah atas" (jalan depan rumah Muhibah adalah tanjakan dan menurun ke Jalan Raya Serang-Pandeglang). Apip menenangkan ibunya. Jangan khawatir, pikirnya, Bimbim akan baik-baik saja. Malamnya, sesudah magrib, ia mengecek ke kantor Polres Pandeglang. Ia bertemu dengan petugas polisi di sana dan melihat adiknya berada di tahanan.

Dua hari Apip masih tenang.

Tiga hari Apip masih tenang tapi mulai gundah.

Empat hari Apip mulai kesal.

Lima hari sampai sebulan berikutnya Apip akan rutin melihat Bimbim di ruang tahanan Polda Banten.

Bimbim, bersama Puadi dan Sair Firdaus, ditetapkan tersangka dengan tuduhan merusak properti perusahaan.

INFOGRAFIK HL Kasus Air Pandeglang kriminalisasi pejuang air

Awal kejadiannya bisa diulur ke belakang sampai pertengahan 2013. Penjelasan sederhananya adalah peristiwa sehari sebelum mereka ditangkap: PT Mayora Indah Tbk, kelompok bisnis konsumen di Indonesia, memiliki anak perusahaan yang bergerak dalam bisnis air minum kemasan bernama PT Tirta Fresindo Jaya. Produknya adalah Le Minerale. Ia mendapatkan izin pembangunan pabrik di kawasan mata air yang selama ini menopang kehidupan warga. Warga protes selama tiga tahun terakhir kepada Pemda Pandeglang dan menuntut perusahaan hengkang. Perasaan warga dibolak-balik bahkan sampai melintasi pergantian kepala daerah, dari Erwan Kurtubi ke Irna Narulita—yang satu bupati yang mengizinkan, yang satu lagi bupati yang mendiamkan. Kesabaran warga habis. Di hari yang ditentukan, ratusan warga bergerak ke kantor bupati biar bisa bertemu dan menuntut kepala daerah segera mencabut izin lokasi pabrik.

Di hari itu, 6 Februari 2017, mayoritas anak-anak muda dan remaja tanggung, mengenakan peci dan sarung dan sandal, menaiki minibus, pikap, sepeda motor—apapun—mendatangi kantor Bupati Irna Narulita. Bupati ada di kantornya tetapi enggan menemui massa. Warga marah. Kemarahan itu ditumpahkan lewat amuk: mereka kembali turun melintasi Jalan Serang-Pandeglang dan berhenti di depan lokasi perusahaan, di KM 5. Gerbang didobrak. Massa memecahkan kaca bangunan dengan tongkat. Tembok dihancurkan. Batu-batu di dekat mereka di tanah lapang dilempar ke arah bangunan. Sebuah backhoe, tanda kesombongan perusahaan, oleh massa dibakar. Juga alat berat lain.

Puluhan polisi hanya bisa melihat, ada juga yang merekam; seorang petugas dengan meniup peluit menggusah anak-anak remaja yang melempari batu. Sambil menghalau dengan tangan dari tepi tanggul di kejauhan, ia berteriak, "Geus rusak ... geus rusak ... geus rusak!" Ia ingin anak-anak remaja ini menghentikan aksi lempar batu karena bangunan sudah rusak. Di luar areal perusahaan, di tepi jalan yang dipadati massa maupun sedikit polisi, warga hendak bikin celaka seorang karyawan tetapi keburu diselamatkan para polisi.

Usai peristiwa amuk ini, polisi segera membersihkan areal insiden. Kapolres Pandelang AKBP Ary Satriyan, di tengah kerumunan wartawan, mengatakan bahwa polisi "masih mengidentifikasi, akan melakukan pemeriksaan saksi-saksi, mencari bukti-bukti, baru (kemudian) kita akan melakukan penyidikan."

Imbas dari peristiwa itu, selain penangkapan ketiga warga, polisi memanggil seorang kiai terkemuka untuk dimintai keterangan. Langkah ini direspons ratusan santri dari Kecamatan Baros yang menggelar zikir masal di halaman Masjid Baiturrahman, Markas Polda Banten. Mereka menolak pimpinannya diperiksa dan minta polisi segera membebaskan.

Saya menemui Ibu dan Kakak Bimbim di rumah mereka. Juga ke rumah Puadi, bertemu dengan istri dan putrinya berusia tiga tahun serta Ibu dan Bapak Puadi. Orang-orang ini menceritakan bagaimana penangkapan yang dialami Bimbim dan Puadi.

Keluarga dan kerabat Puadi, dibingungkan sasus bahwa Puadi ditangkap karena kasus narkoba, segera mendatangi Polsek Cadasari pada Selasa malam, 7 Februari. Puadi tak ada di sana. Keluarga lantas mendatangi Polda Banten pada pukul 2 dini hari

Muis Bayu Saputra, kakak Puadi, adu mulut dengan seorang petugas polisi di sana. Ia ingin memastikan: Apakah Puadi ditangkap atau diculik? Polisi bilang Puadi ada di Polres Pandeglang, 23 kilometer dari situ. Kecapaian, Muis dan kerabat lain memilih pulang ke Kampung Muntur. Ia melihat ibunya masih menangis, meringkuk di kamar.

Jam 5 pagi, warga di kampung itu dikagetkan kedatangan 40-an polisi dari unit Buru Sergap. Polisi, mengenakan pakaian sipil, menggeledah rumah dan menyisiri orang-orang yang jadi daftar buruan mereka. Karena pulang dengan tangan hampa, pukul 8 pagi, polisi kembali ke kampung yang jadi salah satu pusat paling vokal menolak pembangunan pabrik PT Fresindo itu. Kali kedua itulah Puadi dibawa, tetapi tidak diajak polisi ke rumah, melainkan hanya di dalam mobil. Keluarga menyaksikan dari jauh. Rumah-rumah warga kembali digeledah.

"Rumah yang digeledah berantakan, lemari digeledah, semuanya. Bahkan ada orang yang enggak tahu apa-apa, ditampar, diborgol, lalu dilepaskan lagi." ujar Solihin, warga Kampung Muntur. "Tindakan polisi sangat keterlaluan. Ini baru pertama kali ada kejadian seperti ini."

Muis bilang, "Aksi polisi kayak teroris, kayak nangkep buronan penjara aja."

Pada Kamis, 9 Februari, keluarga Puadi akhirnya mengetahui bahwa Puadi dalam tahanan Polres Pandeglang. Muis ke sana untuk membesuk. Esoknya Muis kembali datang dan melihat kepala adiknya digundul.

Kuasa Hukum ketiga tersangka, LBH Rakyat Banten, mengajukan gugatan praperadilan ke PN Pandeglang pada 20 Februari. Mereka mempertanyakan aksi penangkapan polisi yang berlebihan dan mengabaikan prosedur.

Menurut Apip Ripai, kakak Bimbim, keluarganya baru menerima surat perintah penangkapan seminggu setelah Bimbim diambil dari rumah. Mereka juga menerima surat perpanjangan penahanan. Kedua surat ini dikirim via pos.

Dalam sidang praperadilan, 27 Februari hingga 7 Maret, kuasa hukum Polda Banten menyatakan penangkapan terhadap tiga tersangka "sah sesuai prosedur." Polisi yang dipanggil untuk dimintai kesaksian bahkan berkata polisi datang ke rumah Bimbim "dengan baik-baik" dan bilang "permisi."

Apip Ripai, yang mendengarkan kesaksian itu dari ruang pengadilan, menahan geram. Polisi, kata Apip, bahkan sama sekali tidak menunjukkan identitas. Saat Bimbim dibawa pun, dalam kondisi yang masih mengantuk, sampai lupa memakai sandal.

"Aduh, saya enek mendengarnya. Bohong. Siap-siap aja (polisi itu) di akhirat. Mereka bohong. Jahanam, pokoknya," kata Apip. "Saya pengin sumpah pocong sama polisi yang bilang kalau Bimbim ditangkap dengan baik-baik."

Pada 7 Maret, hakim Wigati Pujiningrum membacakan putusan praperadilan. Ia menolak seluruh gugatan LBH Rakyat Banten.

Dua hari setelah sidang itu, Apip masih kesal dengan kesaksian polisi. Ibu Bimbim, Muhibah, pernah sekali menjenguk putranya. Tetapi ia malah tak bisa menghentikan tangis. Bimbim ikut sedih dan minta ibunya tidak perlu datang.

Saat saya datang ke ruangan tahanan Polda Banten, 10 Maret, saya bertemu dengan keluarga Puadi. Sehari sebelumnya, putri Puadi mondar-mandir di tengah ruangan selagi saya mengobrol dengan keluarga Puadi. Putri Puadi kegirangan karena bakal melihat ayahnya, sebagaimana jadwal rutin sehabis salat Jumat, dan berkata "tengok bapak di rumah sakit."

Apip, yang datang di hari rutin besuk, pulang lebih dulu. Sampai pukul 5 sore, Muis, Solihin, Ibu dan istri Puadi dan putrinya, berada di ruang tahanan yang sesak oleh kunjungan keluarga lain. Ada juga seorang pengacara dari LBH Rakyat Banten yang berusaha menenangkan—sembari meyakinkan—supaya Puadi sabar.

Itu segera ditimpali Bimbim: "Saya mah cukup sabar di dalam."

Nada agak tinggi—barangkali campuran kecewa, kesal, mungkin juga bosan—terlontar dari Bimbim karena di hari itu juga ia mendengar Sair Firdaus bebas dengan jaminan dan mencabut surat kuasa dari LBH Rakyat Banten.

Puadi bersikap lebih tenang. Ia mendekatkan bibirnya ke istrinya, lalu ia berpindah duduk ke kursi di depan istrinya, mendongakkan kepala seraya tangannya menyentuh lengan istrinya. Putri mereka berdiri di bangku panjang di dekat mereka, seakan ini sebuah liburan.

Puadi, Bimbim, dan Sair Firdaus termasuk tahanan unik di Polda Banten. Mayoritas penghuni tahanan adalah orang-orang yang kena kasus narkoba, sebagian kecil lain adalah pencuri. Mereka bertiga jelas bukan keduanya. Mereka menentang rencana pabrik air minum. Mereka dituduh merusak perusahaan dari imbas Pemda Pandeglang memprivatisasi air buat PT Tirta Fresindo Jaya.

"Kita ini rakyat kecil pengin meminta keadilan. Mayora, kan, yang merusak, bukan kita. Itu merusak lingkungan," ujar Muis sehari sebelumnya kepada saya.

"Harapan keluarga cuma satu: bebas."

Baca juga artikel terkait KONFLIK AGRARIA atau tulisan lainnya dari Fahri Salam

tirto.id - Hukum
Reporter: Fahri Salam
Penulis: Fahri Salam
Editor: Fahri Salam