Menuju konten utama
Pandemi COVID-19

Harapan di Balik Penunjukan Bankir Budi Gunadi sebagai Menkes

Direktur Kebijakan CISDI Olivia Herlinda menilai Budi Gunadi Sadikin harus memperkuat fasilitas kesehatan primer seperti Puskesmas dalam menghadapi pandemi.

Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengikuti upacara pelantikan di Istana Negara, Jakarta, Rabu (23/12/2020). ANTARA FOTO/BPMI Setpres/Muchlis Jr/hma/HP.

tirto.id - Keputusan Presiden Joko Widodo menunjuk Budi Gunadi Sadikin sebagai Menteri Kesehatan menggantikan Terawan Agus Putranto menuai pertanyaan. Sebab baru pertama kali Menteri Kesehatan Indonesia dijabat oleh seseorang tanpa latar belakang ilmu kesehatan.

Terawan misalnya merupakan dokter spesialis radiologi dan sebelumnya menjabat sebagai Direktur RSPAD Gatot Subroto. Sementara Nila Moeloek, Menkes Kabinet Kerja, merupakan ahli oftamologi sekaligus Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Menkes Kabinet Indonesia Bersatu jilid 2 Nafsiah Mboi juga memperoleh gelar Master of Public Health dari Institute of Tropical Medicine, Anterwepen, Belgia.

Sedangkan Budi Gunadi adalah jebolan Fisika Nuklir Institut Teknologi Bandung (ITB) dan mengawali kariernya sebagai Staf Teknologi Informasi di IBM Asia Pasifik, Tokyo, Jepang. Kemudian, ia melanjutkan karier di IBM Indonesia dengan jabatan terakhir sebagai Systems Integration & Professional Services Manager hingga 1994.

Pada 2006, Budi bergabung ke Bank Mandiri hingga menjabat sebagai Direktur Mikro dan Retail Banking. Pada 2013, ia ditunjuk menjadi Direktur Utama Bank Mandiri dan Staf Khusus Menteri BUMN Rini Sumarno pada 2016.

Sejak September 2017, ia ditunjuk menjadi Direktur Indonesia Asahan Aluminium (Inalum). Di tangan Budi, Inalum berhasil merebut 51 persen saham PT Freeport Indonesia. Keberhasilan itu atas kerja keras pemerintah dan tentunya Inalum dalam mencari pendanaan untuk membeli saham Freeport.

"Saya di kesehatan sih nol besar," kata Budi dalam diskusi virtual pada Jumat (18/12/2020) atau sebelum ia ditunjuk jadi menkes.

Ketua Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Ede Surya Darmawan mengaku tidak masalah dengan kehadiran Budi Gunadi. Menurutnya, tugas menteri adalah menjadi dirigen yang mengkoordinasi pejabat-pejabat di bawahnya serta berkoordinasi dengan lembaga lain untuk pengembangan layanan kesehatan. Mengingat pendidikan dan karier Budi Gunadi yang lintas disiplin, ia berharap menkes baru mudah beradaptasi.

"Pak Menteri harus belajar cepat dan membangun tim yang solid karena ada persoalan di menteri yang lama. Belajar harus cepat, jangan egois, bangun tim yang solid dan dengarkan pendapat stakeholder," kata Ede saat dihubungi reporter Tirto pada Rabu (23/12/2020).

Meskipun baru pertama kali terjadi di Indonesia, tapi di negara lain menkes dijabat orang non-kesehatan jamak saja. Gam Kim Young misal menjabat sebagai Menteri Kesehatan Singapura sejak 2011. Latar belakang pendidikan dia adalah Teknik Elektro di University of Cambridge, Inggris. Sebelum menjabat menkes, ia merupakan menteri ketenagakerjaan.

Demikian pun Menteri Kesehatan Thailand Anutin Charnvirakul yang merupakan sarjana teknik di Hofstra University dan memiliki sejumlah perusahaan konstruksi.

Di Selandia Baru, Perdana Menteri Jacinda Ardern menunjuk Andrew James Little menggantikan David Clark yang mundur. Andrew merupakan lulusan hukum, filsafat, dan kebijakan publik dari Victoria University. Sebelum menjabat Menkes, Andrew pernah menjadi Menteri Kehakiman dan Menteri Biro Keamanan Komunikasi Pemerintah serta Badan Intelijen Selandia Baru.

Pada 2018 lalu, Presiden Donald Trump juga menunjuk Alex Azar sebagai Menteri Kesehatan dan Pelayanan Kemanusiaan Amerika Serikat. Azar adalah peraih sarjana di bidang ekonomi dan pemerintahan, kemudian meraih gelar sarjana hukum dari University of Yale.

Segudang Pekerjaan Rumah

Namun demikian, segudang pekerjaan rumah sudah menanti Budi Gunadi begitu mulai bekerja, khususnya pada penanganan pandemi COVID-19. Sebab, memasuki bulan kesepuluh, pandemi di Indonesia, keadaannya justru semakin mengkhawatirkan.

Per 24 Desember misal, kasus aktif COVID-19 mencapai 108.269 orang, bahkan pasien meninggal telah tembus 20.589 kasus. Kondisi ini sontak membuat rumah sakit kelimpungan. Sejumlah daerah seperti Provinsi Banten, Kota Surabaya, dan Kota Bandung mengeluhkan bed occupancy ratio yang sudah menyentuh 90 persen. Kota Bogor bahkan sudah menyiapkan GOR Padjajaran untuk menjadi rumah sakit darurat COVID-19.

Kondisi tak kalah penting terjadi pada aspek testing. Seminggu terakhir, jumlah orang yang dites di Indonesia baru mencapai 244.839, memang jumlah itu hampir memenuhi standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) untuk Indonesia yakni 267 ribu orang dites per minggu. Namun jika diperhatikan positivity rate pada Selasa (22/12/2020) mencapai 20 persen artinya 100 orang dites, 20 di antaranya positif COVID-19.

Angka kematian juga terus membengkak, pada Minggu (20/12/2020) tercatat 221 orang meninggal dalam sehari akibat COVID-19. Itu merupakan rekor tertinggi sejauh ini. Hingga kemarin, total 20.589 orang sudah meregang nyawa akibat COVID-19. Butuh 8 bulan bagi COVID-19 membunuh 10 ribu orang, tetapi kini hanya butuh 3 bulan untuk membunuh 10 ribu orang lainnya.

KawalCovid19 pun menduga kejadian riil di lapangan jauh lebih buruk, pasalnya ada ketimpangan data antara pusat dan daerah. Pada 22 Desember, pusat mencatat secara kumulatif ada 678.125 kasus COVID-19 di Indonesia, tetapi jika melihat data yang disampaikan masing-masing daerah, jumlahnya mencapai 717.107 kasus kumulatif pada 21 Desember saja. Artinya, ada selisih 38.982 (5,44 persen).

Demikian pun pada angka kematian. Pusat mencatat terdapat total 20.257 kematian pada 22 Desember 2020, tetapi data di daerah berjumlah 24.562 kematian. Ada selisih 4.305 (17,53 persen).

"Harapan kami sih ada satu sistem untuk data COVID-19 ini, supaya data dari wilayah terkecil sampai nasional teragregasi di satu sistem, dan divisualisasikan dengan cara yang sama pula supaya masyarakat yang harus melakukan perjalanan mudah menilai risikonya," kata co-Founder KawalCovid19 Elina Ciptadi kepada reporter Tirto pada Rabu (23/12/2020).

Direktur Kebijakan Center for Indonesia's Strategic Development Initiatives (CISDI) Olivia Herlinda mengatakan, Budi Gunadi harus memperkuat fasilitas kesehatan primer seperti Puskesmas dalam menghadapi pandemi. Puskesmas memainkan peran penting dalam penegakan 3T (Test, Trace, Treatment), Puskesmas juga dinilai krusial dalam upaya promotif dan pencegahan COVID-19 di level komunitas atau individu.

Masalahnya, dari survey CISDI terhadap 765 responden dari 647 Puskesmas di seluruh Indonesia terungkap, memang 96 persen puskesmas melakukan penelusuran kontak, tapi 47 persen dari mereka hanya menemukan kurang dari lima orang dari satu kasus positif. Hanya 5 persen yang mendapat lebih dari 20 kontak erat per kasus positif, dan hanya 7 persen yang berhasil mendapat 16-20 kontak erat. Semua ini karena minimnya jumlah tim yang terjun ke lapangan.

Selain itu, hanya 39 persen puskesmas yang menggunakan tes PCR dalam tracing, sementara 61 persen sisanya menggunakan rapid test antibodi--yang akurasinya lebih rendah.

Hal itu disebabkan kapasitas laboratorium yang terbatas. Sebanyak 28 persen puskesmas hanya mendapat 0-10 kuota untuk tes PCR/TCM, sementara 40 persen lainnya tidak mendapatkan kuota. Kapasitas laboratorium juga mengakibatkan hasil lambat keluar. 60 persen responden baru mendapat hasil tes dalam 3-7 hari dan 20 persen lainnya bahkan lebih dari 7 hari.

Selain itu, Puskesmas juga memiliki peran penting dalam vaksinasi. Mulai dari kesiapan logistik dan penerimaan masyarakat terhadap vaksin. Berdasarkan survei Saiful Mujani Research Center (SMRC) 40 persen responden mengaku pikir-pikir untuk vaksinasi dan 17 persen lainnya tegas menolak vaksinasi sementara yang menerima vaksinasi hanya 37 persen.

"Upaya ini membutuhkan intervensi sistemik yang perlu disiapkan dengan cepat. Kami di CISDI berharap Pak Menkes dapat melihat perspektif kesiapan sistem sebagai sebuah upaya integral dalam menyelesaikan permasalahan pandemi. Artinya, transformasi puskesmas dan perspektif kesehatan masyarakat perlu segera diperkuat," kata Olivia lewat keterangan tertulis yang diterima Rabu (23/12/2020).

Dalam konteks kesehatan masyarakat yang lebih umum, Ketua IAKMI Ede Surya Darmawan mengatakan sistem kesehatan Indonesia saat ini cenderung fokus pada upaya kuratif alias pengobatan dan abai pada pencegahan. Salah satu indikasinya adalah penetapan Puskesmas sebagai Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP).

Penetapan itu membuat Puskesmas harus stand by menunggu dan mengobati orang sakit, padahal sejatinya Puskesmas bertugas terjun ke masyarakat untuk mengawasi kesehatan.

"Artinya begini, Puskesmas itu mestinya tetap fokus pada preventif level 1, promosi kesehatan dan pencegahan spesifik, kalau Puskesmas fokus ke situ artinya Puskesmas lebih banyak bekerja di masyarakat, melihat kampung, rumah kompleks, supaya tidak ada nyamuk lagi, sampah teratur," kata dia.

Ia mengusulkan, fungsi klinik atau pengobatan dikeluarkan dari lembaga Puskesmas dan didirikan secara independen. Nantinya, anggaran BPJS Kesehatan yang selama ini banyak turun ke Puskesmas digelontorkan ke klinik tersebut, sementara Puskesmas mendapat gelontoran dana langsung dari pemerintah. Di sisi lain, pemerintah juga bisa menggenjot kualitas pelayanan klinik tersebut, misalnya membuat pelayanan 24 jam.

"Logika ini yang kita berharap beliau memiliki sentuhan dalam enterprising-nya sehingga kita punya pelayanan kesehatan untuk orang sakit yang makin keren, di sisi lain kesehatan masyarakatnya makin bagus sehingga pasien tidak mengalir," kata Ede.

Baca juga artikel terkait VIRUS CORONA atau tulisan lainnya dari Mohammad Bernie

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Mohammad Bernie
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Abdul Aziz
-->