Menuju konten utama

Harapan dalam Kesenduan Benny Panjaitan

"Saya mengajak orang semangat," kata pencipta lagu "Gereja Tua" ini.

Harapan dalam Kesenduan Benny Panjaitan
Personel Panbers. FOTO/Isran Panjaitan/isranpanjaitan.com

tirto.id - Bagi orang yang tak kenal Saut Situmorang—penyair, bukan pejabat KPK—dengan mudah salah paham akan melintas di kepala. Saut tinggi, mungkin 170 centimeter, gempal pula. Rambutnya gondrong, gimbal. Kalau ngomong, apalagi berdebat, suaranya bisa menyamai bising musik yang dimainkan di Ascos—kafe favoritnya di bilangan Tirtodipuran, Yogyakarta. Di media sosial, ia lebih garang lagi.

Tapi, kasih dia gitar bolong. Lagu pertama yang akan ia mainkan, biasanya, adalah "Gereja Tua" dari Panbers. Saut akan memulai dengan senyum lebar. Tapi ketika lirik mulai dinyanyikan, wajah Saut perlahan berubah. Campuran antara rasa sendu, dan keinginan untuk bernyanyi sekerasnya. Melepas semua sesak rindu pada kampung halaman. Mungkin juga gadis pujaan masa remaja, atau kawan-kawan yang bersama mereka tuak ditenggak.

Baca juga: Ada Budaya Batak dalam Lapo

Seperti itulah kesaktian "Gereja Tua". Ia bisa membuatmu merasa jadi kanak-kanak lagi, menjadi bukan siapa-siapa. Hanyalah seorang anak di desa, sonder reputasi cemerlang atau apapun perkara duniawi yang membelit orang-orang dewasa.

Richard Gere dalam film Mr. Jones suatu ketika pernah berkata, "Menjadi dewasa itu menyebalkan." Kita semua tentu setuju dengan itu. Apa boleh buat, usia terus merambat dan aneka ria kewajiban serta tanggung jawab terus membuntuti. Sesekali tentu kita perlu melarikan diri, menjadi bocah yang tak dibebani apa-apa. Dan "Gereja Tua" adalah mesin waktu yang siap membawamu ke masa itu.

Benny Panjaitan adalah orang di balik lagu dahsyat itu. "Gereja Tua" dibuat berdasarkan pengalaman pribadinya saat masih tinggal di Palembang. Mendengarnya, kita bisa paham kenapa imaji kampung halaman amat penting bagi Benny. Sebab ia adalah seorang pengembara.

Pria yang bernama asli Porbenget Mimbar Mual Hamonangan Panjaitan ini lahir di Tarutung, Tapanuli Utara, Sumatera Utara pada 14 September 1948. Ia punya kakak bernama Hans, dan tiga orang adik: Doan, Asido, dan Natasya. Keluarga Panjaitan suka bermain musik. Sang ayah, J.M.M Panjaitan, adalah pemain biola. Alat musik ini yang kemudian jadi salah satu alat pertama yang belajar dimainkan oleh Benny remaja. Dari sana, baru Benny belajar gitar.

Karena pekerjaan sang ayah sebagai direktur bank, keluarga Panjaitan sering berpindah-pindah. Setelah tinggal di Palembang, mereka pindah ke Surabaya. Di sana, anak-anak Panjaitan mulai main band. Mereka memainkan repertoar lagu-lagu populer Batak, menyebut diri sebagai Panbers, singkatan dari Panjaitan Bersaudara. Huruf "s" di belakang diimbuhkan supaya terdengar seperti Rolling Stones atau The Beatles.

Tahun 1971, mereka pindah ke Jakarta. Saat itu Benny sudah lulus SMA dan melanjutkan kuliah di Sekolah Tinggi Teknik Nasional. Tapi sang ayah menganggap kuliah adalah bekal penting: sebuah keharusan. Sikap itu membuat Benny menganggap musik sebagai hobi belaka. Mereka tetap main di aneka pesta, konser skala kecil. Di sela-sela kuliah itu, Benny mulai coba bikin lagu.

"Terciptalah lagu 'Awal dan Cinta'," kata Benny saat diwawancarai Toba Dreams, 2008 silam.

Karena sering manggung di berbagai pesta, nama Panbers mulai terendus label rekaman. Label bernama Dimita meminta mereka rekaman. Benny bingung, label minta 10 lagu, sedang ia baru bikin empat saja. Disuruh mengebut bikin lagu. Tapi kebingungan Benny bukan soal itu saja, tapi juga soal prioritas. Mana yang harus dipilih? Kuliah, atau karier musik?

Tapi Benny memutuskan terus kuliah sembari mengurus rekaman, dan adik-adiknya tetap menyelesaikan sekolah. Ia kerepotan, tentu saja. Toh, hasilnya memuaskan. Mereka tak lupa akar Batak, memasukkan lagu "Masihol Ahu" ke dalam rekaman. Ini dianggap sebagai langkah yang berani, sebab saat itu belum ada rekaman lagu Batak.

"Ternyata sambutan orang Medan luar biasa. Kami main di Stadion Teladan, di mana-mana. Saya masih ingat, Stadion Teladan sampai jebol. Kami berpikir, bangga sekali kami sebagai orang Batak."

Album perdana Panbers berjudul Kami Tjinta Perdamaian dirilis pada 1971. Benny mencipta banyak lagu, bahkan hampir semua ada campur tangannya. Beberapa lagu terbesar Panbers ada di album ini, misal "Djakarta City Sounds" yang diciptakan Benny bersama Doan dan Asido. Dengan unsur psikedelik, suara Benny menapak tinggi dengan diiringi bunyi-bunyi klakson yang sukses menghadirkan bayangan tentang Jakarta.

"Busy people everyday!"

Hiruk pikuk psikedelik serupa juga muncul di "Bye Bye", dan tentu saja "Haai". Sampai sekarang, belum ada penjelasan memuaskan kenapa ada dua huruf "a" di judul lagu itu. Yang sudah pasti, "Haai" adalah perwujudan dari euforia "kebebasan Orde Baru." Frasa itu mungkin seperti mengandung kontradiksi, tapi bagi musikus seperti Benny, setidaknya Orde Baru tak melarang musik rock n roll seperti rezim sebelumnya. Lagu ini pula yang dipilih masuk untuk album kompilasi Those Shocking Shaking Days: Indonesian Hard, Psychedelic, Progressive Rock and Funk 1970-1978. Secara musikal, ini adalah lagu yang kuat. Penggabungan musik funk dengan seruling dan sitar tak pernah seindah itu.

Perjalanan karier Panbers kemudian merentang panjang. Benny menyebut, Panbers bisa merilis tiga hingga empat album dalam setahun. Dimita merilis delapan album sebelum bangkrut. Panbers kemudian pindah ke Remaco. Benny sedikit kesusahan melacak berapa album yang dibuat oleh Panbers, karena beberapa album berisi lagu yang diaransemen ulang. Selain itu, Benny juga menulis lagu dalam 15 bahasa daerah.

"Lagu 'Gereja Tua' itu sampai ada 10 (bahasa) daerah versinya," ujar Benny.

Bagi banyak orang, Panbers identik dengan lagu sendu—kalau tak mau dibilang cengeng. Benny mengakui itu, walau ia mengatakan bahwa lagu ciptaannya tidak mengajak meratap terus-terusan.

"Saya mengajak orang semangat. Meskipun dalam kesenduan, ada satu harapan."

Baca juga: Jejak Melankolis Legenda Rock Indonesia

Infografik Benny

Harapan itu memang ada. Panbers yang menjadi peletak batu pijak pertama. Mereka dianggap sebagai band yang membuka jalan bagi banyak musisi Batak untuk berkarya di pentas nasional. Musik yang dimainkan Panbers menebas segala sekat bernama suku dan ras. Maka kita mengenal The Mercys, Charles Hutagalung, Diana Nasution, Eddy Silitonga, hingga generasi baru seperti Vicky Sianipar ataupun Judika Sihotang.

Musik yang dimaikan Panbers juga menerabas sekat umur dan omong kosong bernama generation gap. Pada 2015, band rock n roll ugal-ugalan bernama Kelompok Penerbang Roket merilis album HAAI, sebuah persembahan untuk legenda bernama Panbers. Dirilis oleh label Sinjitos Records, ada delapan lagu di album ini.

Kita bisa mendengar bagaimana anak muda yang memulai karier empat dekade setelah Panbers merilis album pertama, menafsirkan lagu-lagu Panbers. "Djakarta City Sound" terdengar lebih bertenaga dan menendang sekuat tenaga. "Bye Bye" jadi lebih kental aura rock karena minus synth. "Let Us Dance Together", lebih cocok diputar sebagai soundtrack ketika mata setengah terpejam, alih-alih mengajak kita joget.

Benny harus berjuang melawan stroke sejak 2012 silam. Meski begitu, ia beberapa kali tampil di televisi. Perjuangan berat itu berakhir kemarin. Benny Panjaitan meninggal dalam tidurnya pada 24 Oktober 2015, pukul 09.50 WIB. Usianya 70 tahun.

Baca juga: Benny Panjaitan Vokalis Panbers Tutup Usia

Mengenang Benny, berarti mengenang seorang musikus yang serba bisa. Mau sendu, ayo. Mau psikedelik, sikat. Mau ngebut, gas pol saja. Panbers bisa menemanimu di segala suasana. Entah nostalgia ke gereja tua dan masa remaja melalui gitar akustik, atau menembus kebisingan Jakarta yang penuh orang-orang sibuk. Satu yang pasti, dengan memainkan musik, Benny akan terbebaskan, seperti yang ia tulis di "Haai".

Playing and singing with music

Happy I am

Forget all my sorrow

Selamat jalan, Benny!

Baca juga artikel terkait OBITUARI atau tulisan lainnya dari Nuran Wibisono

tirto.id - Musik
Reporter: Nuran Wibisono
Penulis: Nuran Wibisono
Editor: Maulida Sri Handayani