Menuju konten utama
Misbar

Happiest Season: Ambyarnya Upaya Coming Out Saat Natal

Anda bosan nonton 'Home Alone'? Komedi ini bisa jadi pilihan.

Happiest Season: Ambyarnya Upaya Coming Out Saat Natal
Happiest Season (2020) . FOTO/Hulu original film

tirto.id - Abby Holland (Kristen Stewart) tidak suka perayaan natal karena hanya mengingatkannya pada sosok orangtua yang sudah tiada. Sebagai pelipur lara, sang kekasih Harper Caldwell (Mackenzie Davis) mengajaknya merayakan natal bersama keluarga Caldwell. Abby semangat karena ia memang sudah berencana melamar kekasihnya itu. Sebaliknya Harper tiba-tiba teringat: ia belum coming out ke keluarganya. Orangtuanya belum tahu bahwa ia lesbian.

Di tengah jalan terjadi perubahan rencana. Abby pura-pura jadi teman serumah Harper yang yatim piatu dan tak punya tempat untuk pulang.

Premis sederhana ini diolah menjadi drama berdurasi 104 menit oleh sutradara Clea DuVall dalam Happiest Season (2020). DuVall ingin mengangkat pengalaman pribadi menghabiskan natal di rumah pasangan, namun harus pura-pura menjadi teman. Sutradara yang sempat dikenal dalam drama queer klasik But I’m A Cheerleader (1999) itu juga mengatakan dalam sebuah wawancara bahwa ia punya pengalaman coming out yang dramatis saat kenatal pada ibunya. "Jadi ini semacam mozaik pengalaman-pengalamanku sebagai gay ketika natal".

Dibantu aktris cum pelawak Mary Holland sebagai penulis skenario, DuVall merangkai pengalaman pribadinya menjadi komedi romantis (romcom) ala Groundhog Day, When Harry Met Sally, Sleepless in Seattle, Pretty Woman, dan Love Potion Number 9, demikian jelas DuVall kepada IndieWire.

Elemen-elemen khas romcom itu sangat terasa. Para aktor dan aktrisnya adalah sudah sering bermain dalam genre ini. Ada Mackenzie Davis dengan penampilan yang sulit terlupakan di That Awkward Moment, atau ketika berperan sebagai Yorkie di episode Black Mirror, San Junipero. Lalu Allison Brie di Sleeping With Other People, Aubrey Plaza di Dirty Grandpa, Dan Levy yang sebenarnya tak begitu dikenal lewat feature film, namun karakternya betul-betul mirip Chuck Bass di Gossip Girl atau Elijah Krantz di seri Girls. Mary Steenburgen lagi-lagi berperan sebagai ibu, namun kali ini ia jadi ibu yang perfeksionis dan menyebalkan, berlawanan dengan karakternya sebagai ibu yang pengertian di The Proposal.

Yang menarik justru karakter Kristen Stewart yang tidak berperan seperti tipikal peran-peran Stewart sebelumnya (oh, hai, Twilight Saga).

Lawakan-lawakan ala Saturday Night Live (SNL) yang kaku dan garing juga dieksekusi dengan baik oleh Kristen Stewart dan Dan Levy. Misalnya ketika Stewart gugup menjawab pertanyaan mantan Harper yang lainnya, Riley, tentang siapa dirinya atau ketika Levy memperkenalkan diri sebagai "pacar Abby yang sangat tertarik kepadanya secara seksual".

Di tangan DuVall, romcom ini dikata-katai oleh kritikus dari New York Times dan situs Roger Ebert karena dianggap melanggengkan budaya heteronormatif. Menurut mereka, DuVall hanya mengarahkan karakter-karakternya untuk menuruti budaya yang menganggap bahwa ketertarikan terhadap lawan jenis merupakan orientasi sosial yang "normal" dan sepatutnya diikuti semua orang. Para kritikus juga menganggap DuVall terlalu banyak mencomot stereotip straight.

Menurut saya, pilihan-pilihan DuVall ini dapat dilihat sebagai sindiran terhadap budaya heteronormatif. Misal ketika Abby ingin melamar Harper dan meminta restu ayah sang kekasihnya itu. Sahabatnya, John, mencela: "Ya ampun kamu ini cuma memperpanjang kultur patriarki!". Begitu pula ketika John kaget mengetahui Abby harus pura-pura jadi kawan yatim piatu dan juga straight. "Astaga, memangnya mereka belum pernah ketemu Lesbian?!"

Sindiran lainnya adalah kemunculan mantan pacar yang gantengnya tipikal prom king. Ya, tentu orang tua Harper ingin putrinya balikan dengan Connor, mas-mas yang justru jadi mimpi buruk buat Abby.

Sementara itu, karakter Harper yang masih menyanggah bahwa ia lesbian, padahal rahasianya sudah terbongkar, bukanlah bagian dari stereotip, dan semestinya tidak dipermasalahkan. Sikap denial Harper terhadap identitas seksualnya adalah fragmen yang membentuk Happiest Season.

Langkah DuVall mengolah cerita yang inklusif dan bukan tipikal film natal ini patut diapresiasi. Komedi ini bisa jadi pilihan bagi mereka yang bosan mengulang-ulang Home Alone.

Hanya saja, semoga Happiest Season tak mengundang perdebatan di Amerika Serikat yang telah dilanda kulturkampf alias culture wars alias keributan harian kaum liberal dan konservatif terkait isu seksualitas, aborsi, etnisitas, dan kesantunan politik selama 40 tahun lebih. Belakangan, natal masuk dalam menu kulturkampf tersebut. Sepele: orang meributkan mana yang paling benar antara mengucapkan "selamat natal" dan "selamat liburan". Kaum konservatif menyebut ucapan "selamat liburan" sebagai bagian dari "perang terhadap natal" (war on christmas).

Di tengah polarisasi berlarut-larut itulah langkah DuVall akan jadi problematis. Kelompok liberal akan bilang film DuVall dibuat dengan settingan pabrik ala heteroseksual, sementara kaum konservatif akan menganggap Happiest Season sebagai hinaan bagi perayaan natal dan hanya menambah amunisi untuk "war on Christmas".

Infografik Misbar Happiest Season

Infografik Misbar Happiest Season

Masalah utama Happiest Season justru ketika konflik antara Abby dan Harper diselesaikan dengan anti klimaks ketika emosi sudah memuncak. Jika DuVall benar-benar ingin mengikuti pakem romcom kebanyakan, seharusnya Abby dan Harper diberi waktu untuk mengendapkan emosi setelah bertengkar hebat.

Beberapa film queer yang menyelesaikan konflik dengan baik misalnya drama queer Lez Bomb (2018) atau Saving Face (2004). Lez Bomb misalnya, yang menceritakan usaha Lauren dan Hailey untuk coming out saat Thanksgiving, namun malah berujung petaka. Terlepas dari judul yang sangat literal, film ini tak buru-buru menyelesaikan konflik dan memberi waktu yang cukup lama bagi Lauren dan Hailey untuk rujuk pasca pertengkaran mereka.

Sementara Saving Face milik Alice Wu malah membiarkan Vivian menolak Wil yang mengajak rujuk pasca pertengkaran besar. Hal ini wajar belaka karena Vivian tak ingin bersama Wil yang belum siap coming out di hadapan publik. Lantas, gadis itu pun memilih minggat ke Paris dan meninggalkan Wil yang menyesal. Keduanya baru dipertemukan lagi setelah tiga bulan kemudian, ketika Vivian mengunjungi ibunya di distrik Flushing, New York.

Saya sempat mengira Abby akan dekat dengan Riley, mantan Harper yang diperankan Aubrey Plaza. Mereka punya chemistry yang kuat di layar; adegan saling curhat di bar, jalan cari kado berdua, dan kontak mata yang dalam di pesta natal. Pilihan bagi keduanya untuk menjalani hubungan juga sangat masuk akal, sebab Abby ingin bersama dengan seseorang yang bangga mengakuinya sebagai pasangan.

Sayangnya, Happiest Season memilih bermain aman sebagai film liburan dan menyelesaikan segala perkara dalam sekejap mata.

Baca juga artikel terkait MISBAR atau tulisan lainnya dari Irma Garnesia

tirto.id - Film
Penulis: Irma Garnesia
Editor: Windu Jusuf