Menuju konten utama

Hanung Bramantyo Resmikan Museum Bumi Manusia di Sleman, Yogya

Hanung Bramantyo meresmikan Museum Bumi Manusia di Sleman, DI Yogyakarta pada hari ini. 

Hanung Bramantyo Resmikan Museum Bumi Manusia di Sleman, Yogya
Sutradara Hanung Bramantyo saat ditemui usai peluncuran trailer dan konferensi pers film "Bumi Manusia" dan "Perburuan" di Epicentrum, Jakarta Selatan, Kamis (4/7/2019). ANTARA/Dea N. Zhafira

tirto.id - Sutradara film Bumi Manusia, Hanung Bramantyo meresmikan Museum Bumi Manusia yang terletak di Desa Gamplong, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) pada Selasa (13/8/2019).

Hanung mengatakan museum ini dibangun untuk mengenang dan mengabadikan karya-karya Pramoedya Ananta Toer.

"Museum Bumi Manusia akan dibuka untuk umum, fungsinya untuk mengenang ada sastra klasik yang dibuat dengan berdarah-darah, dengan penuh perjuangan, tulisan yang dibuat untuk penyelamatan, bagian dari survival, perjuangan seseorang yang dipenjara tanpa proses peradilan," ujar Hanung saat konferesnsi pers di Desa Gamplong, Sleman pada Selasa (13/8/2019).

Pernyataan Hanung tersebut merujuk pada Pramoedya yang menulis novel Bumi Manusia saat diasingkan oleh rezim Orde Baru di Pulau Buru.

Museum itu menempati "rumah" Nyai Ontosoroh, tokoh di dalam novel Bumi Manusia. Rumah itu juga yang digunakan Hanung dan krunya untuk melakukan syuting film Bumi Manusia selama 30 hari.

Museum ini akan dibuka untuk umum tanpa dipungut bayaran tertentu. Kata Hanung, pengunjung hanya diminta memberikan sumbangan sukarela saja untuk biaya perawatan.

Pengunjung yang masuk ke dalam museum pun dibatasi hanya 10 orang. Sebab, rumah itu bukan bangunan permanen dan semula dibangun untuk keperluan syuting film Bumi Manusia saja.

"Tempat ini [museum] tidak untuk komersil, saya sudah minta izin Bu Astuti [anak perempuan Pram] untuk memakai nama Bumi Manusia. Sekalian saya hidupkan set Bumi Manusia jadi museum, sebagai sebuah monumen. Ini juga tanah desa, jadi tidak ada kepentingan pribadi apa pun," kata Hanung.

Lewat museum dan film Bumi Manusia, Hanung mengaku ingin "menghidupkan" kembali sosok Pramoedya di tengah generasi muda. Dia menyayangkan banyak generasi muda tidak mengenal siapa itu Pramoedya Ananta Toer.

Hal ini juga ditegaskan Astuti, anak perempuan Pramoedya yang turut hadir di konferensi pers tersebut. Astuti mengatakan, ia dan cucu Pramoedya, Angga, sering berkeliling ke sekolah-sekolah dan kampus-kampus untuk memperkenalkan sastrawan itu.

"Orang-orang dalam Bumi Manusia adalah simbol, bagaimana sikap Nyai Ontosoroh, siapa itu Minke. Untuk memperkenalkan Pram kembali, kami sekeluarga pada saat itu pergi ke daerah-daerah, universitas, sekolah. Namun ternyata kurang efektif, hanya menarik ratusan orang saja. Setelah dirilis film ini, kami berharap akan ada jutaan orang mengenal Pram," kata Astuti.

Film Bumi Manusia karya Hanung dijadwalkan rilis di bioskop-bioskop Indonesia pada 15 Agustus 2019. Film ini merupakan hasil adaptasi novel Bumi Manusia yang merupakan bagian pertama dari tetralogi Buru. Tiga buku lainnya yaitu Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca.

Cerita berkisah tentang percintaan antara Minke (Iqbaal Ramadhan) dan Annalies Mellema (Mawar de Jongh) yang juga menjadi pengikat cerita. Dalam perjalanannya, penonton akan melihat Minke, seorang Jawa totok yang dekat dengan kehidupan bangsa kolonial, dalam hal ini keluarga Annalies seorang blasteran Indonesia-Belanda.

Mellema, ayah Annalies dari Belanda, sementara ibunya, Nyai Ontosoroh (Sha Ine Febriyanti) merupakan gundik asli Jawa. Minke bukanlah nama aslinya. Itu sebuah hinaan yang diucapkan bangsa kolonial. Ada yang beranggapan Minke merupakan plesetan dari kata monkey atau monyet. Nama asli Minke adalah Tirto Adhi Soerjo.

Sebenarnya ayah Minke cukup terpandang. Dia baru saja menjadi bupati. Namun tetap saja, ayah Minke tidak suka kedekatannya dengan Ontosoroh. Kala itu, derajat gundik sama dengan hewan peliharaan. Namun Minke berpandangan lain. Kedekatannya dengan Nyai Ontosoroh membuka pandangannya tentang dunia Eropa.

Nyai Ontosoroh juga cerminan budaya Eropa yang sedang marak saat itu. Berbeda dengan pemikiran Eropa, Nyai Ontosoroh memercikkan api perlawanan terhadap penindasan. Tidak peduli walaupun mereka merupakan Jawa tulen. Perjuangannya dimulai saat pengadilan akan menggugat status Annalies di bawah pengasuhan Nyai Ontosoroh.

Pemeran Ontosoroh, Sha Ine Febriyanti mengatakan sosok Nyai ini merupakan karakter yang sulit untuk "digumuli" karena memiliki banyak layer yang rumit. Namun, ia mengatakan lebih mudah mendalami karakter Ontosoroh dengan bantuan Hanung.

"Nyai Ontosoroh bukan karakter yang mudah untuk digumuli, karena punya layer yang sangat rumit, ada kebijaksanaan yang kuat, tapi juga ada dendam yang kuat, sekaligus ada kerumpangan, ada kesedihan," ujar Inne.

"Saya sebagai Nyai Ontosoroh, dan para pemeran yang lain punya perasaan yang sama dalam menggumuli karakter itu, untungnya saya dibantu Mas Hanung, dia tahu apa yang dia mau dan apa yang dia enggak mau," tambah Inne.

Baca juga artikel terkait FILM INDONESIA atau tulisan lainnya dari Dipna Videlia Putsanra

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Dipna Videlia Putsanra
Penulis: Dipna Videlia Putsanra
Editor: Addi M Idhom