Menuju konten utama
4 Agustus 1875

Hans Christian Andersen Bukan Sekadar Tukang Dongeng

"Dongeng-dongeng saya juga untuk orang dewasa, bukan hanya untuk anak-anak yang hanya akan memahami permukaan cerita."

Hans Christian Andersen Bukan Sekadar Tukang Dongeng
Ilustrasi Mozaik Hans Christian Andersen. tirto.id/Sabit

tirto.id - Pada Desember 1874, pemerintah Kopenhagen membentuk sebuah komite untuk memperingati ulang tahun penulis masyhur kebanggaan Denmark, Hans Christian Andersen. Pada 2 April 1875, Andersen genap berusia 70 tahun. Komite ini membuat sayembara bagi para pematung untuk mengirimkan desain patung HC Andersen. Karya terpilih akan dibangun di taman kota.

Proposal desain August V. Saabye memenangkan sayembara itu. Ia mengajukan desain dengan HC Andersen dikelilingi anak-anak, di pangkuan dan di balik punggungnya. Desain yang sangat lekat dengan citra Andersen itu rupanya malah kena damprat si empunya nama.

“Saya sangat tidak puas dengan patung yang dia buat. Baik dia maupun para pematung lainnya tidak mengenal saya… saya tidak mau ada orang di belakang saya, atau ada anak-anak bergelayutan di punggung, di pangkuan, atau di tongkat saya. Dongeng-dongeng saya juga untuk orang dewasa, bukan hanya untuk anak-anak, yang hanya akan memahami permukaan cerita. Hanya orang dewasa yang matang yang dapat melihat dan memahami semuanya…” demikian keluhan Andersen dalam buku hariannya. (Mylius, de Johan, "Our time is the time of the fairy tale: Hans Christian Andersen between Traditional Craft and Literary Modernism” dalam Marvels & Tales, Vol. 20, No. 2, 2006, hlm. 168).

Andersen memang tidak pernah benar-benar berniat menempuh karier sebagai penulis dongeng anak-anak. Sejak 1829, ia sudah merintis nama dalam skena kesusastraan Denmark sebagai penulis puisi, naskah drama, libretto, maupun kisah perjalanan. Pada 1835, Andersen sedang menyiapkan sebuah novel autobiografi yang terinspirasi dari perjalanannya ke Italia, berjudul Improvisatoren. Original Roman I to Dele.

Di saat yang sama, ia juga tengah menyusun Fairy Tales, Told for Children, karena ia sangat membutuhkan uang. Menulis dongeng anak-anak merupakan jalan yang sepertinya mudah untuk memperoleh uang, sementara menulis novel merupakan jalan menuju karier sastra yang gemilang. Setidaknya demikian rencana Andersen. (Mylius, ibid).

Dalam sebuah surat kepada Bernhard Severin Ingemann, novelis dan penyair Denmark, Andersen mengabarkan, “Aku sedang menyiapkan ‘Fairy Tales, Told for Children’, dan sepertinya aku akan berhasil. Aku menulis ulang beberapa dongeng yang kalau aku masih bocah, aku akan senang mendengarnya… Aku menulis dongeng-dongeng itu persis seperti bila aku akan mendongengkannya untuk seorang anak.”

Dengan cara ini, Andersen memperkenalkan dua hal dalam dongeng anak, yakni perspektif anak-anak dan gaya bahasa penceritaan baru.

Sebelum abad ke-18, dongeng adalah konsumsi orang dewasa. Dalam gaya penulisan baru miliknya, Andersen memastikan bahwa dongengnya dapat dimengerti anak-anak. Andersen juga selalu memunculkan elemen khas anak-anak, yakni kelugasan berbicara dan berani mengatakan apa yang tidak dapat diungkapkan orang dewasa.

Kalimat “Tapi Raja tidak pakai apa-apa” dalam kisah Baju Baru Sang Raja adalah salah satu contoh yang paling diingat. (Lundskær-Nielsen, Tom. “The Language of Hans Christian Andersen’s Fairy Tales – Compared with Earlier Tales”, dalam Erika Sausverde dan Ieva Steponaviciute, Fun and Puzzles in Modern Scandinavian Studies. Collection of articles. (Scandinavistica Vilnensis 9), 2014, hlm. 100-101).

Dalam dongeng-dongeng seperti The Tinderbox (Kotak Korek Api), Little Claus and Big Claus, dan Baju Baru Sang Raja, karakter-karakter kaya dan berkuasa ditampilkan sebagai tokoh yang congkak dan bodoh. Kendati berakar dari kemarahan pribadi, dongeng-dongeng Andersen lantang mewakili mereka yang tidak punya suara dan terpinggirkan.

Infografik Mozaik Hans Christian Andersen

Infografik Mozaik Hans Christian Andersen. tirto.id/Sabit

Kontribusi Andersen adalah kemampuannya mengubah gaya bercerita untuk memproyeksikan kegeramannya atas penindasan dan penghinaan yang dilakukan kelompok kelas atas kepada orang miskin seperti dirinya. Lewat dongengnya, ia mencurigai sekaligus mempertanyakan kelompok mapan. (Zipes, Jack. “Critical Reflections about Hans Christian Andersen, The Failed Revolutionary.” Marvels & Tales, vol. 20, no. 2, 2006, hlm. 224–226).

Berangkat dari tradisi dongeng Eropa, pada abad ke-19 Andersen justru berhasil meletakkan pondasi kesusastraan anak di Eropa dan Amerika Utara. Kendati menulis dalam bahasa Danish, bahasa minor di Eropa, Andersen berhasil meraih popularitas lintas geografis, budaya, dan waktu. Lebih dari 150 dongengnya telah diterjemahkan ke dalam sekitar 130 bahasa.

Andersen memikat pembaca hingga hari ini dalam cara yang tidak ia duga karena mula-mula ia hanya berniat mencari uang. Penafsiran karyanya secara terus-menerus dalam berbagai bentuk karya seni menegaskan bahwa dirinya adalah Si Itik Buruk Rupa yang telah melalui berbagai pengalaman pahit dalam kemiskinan serta diskriminasi sosial, dan berhasil bertransfromasi menjadi angsa.

Sebulan sebelum kematiannya pada 4 Agustus 1875, tepat hari ini 146 tahun silam, Andersen masih marah-marah soal desain patungnya yang dikelilingi anak-anak. Ia mungkin merasa bahwa hidupnya tak akan lama lagi sehingga ingin memastikan bahwa dirinya tidak diingat sebagai sekadar tukang dongeng anak-anak. Ia sadar betul bahwa karya-karya dongengnya yang mendunia, sama sekali mengubah citra dirinya sebagai sastrawan dan penyair.

Rupanya pendirian keras Hans Christian Andersen berhasil mengubah desain awal August Saabye. Patung perunggu Andersen yang kini berdiri kokoh di Rosenborg Castle Gardens, Kopenhagen, Denmark, menampilkan dirinya duduk seorang diri sembari menyapa para pembaca.

Namun bagaimanapun, anak-anak akan tetap berterima kasih kepada Hans Christian Andersen. Ia telah meninggalkan warisan ratusan dongeng yang tidak akan ada habisnya menjadi teman tumbuh anak-anak dan memberi inspirasi berbagai produksi karya seni dan budaya pop, termasuk film-film Disney.

Baca juga artikel terkait DONGENG atau tulisan lainnya dari Uswatul Chabibah

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Uswatul Chabibah
Editor: Irfan Teguh