Menuju konten utama
24 Juli 1981

HAMKA dalam Gelombang Sastra dan Politik

Situasi politik Indonesia tahun 1960-an membuat polarisasi tajam di masyarakat. Di lapangan Sastra, terjadi kegaduhan karena Hamka didakwa plagiat.

HAMKA dalam Gelombang Sastra dan Politik
Ilustrasi Mozaik Haji Abdul Malik Karim Amrullah. tirto.id/Nauval

tirto.id - Malang nian nasib Zainuddin dan Hayati. Cinta mereka dirintangi adat. Bertahun-tahun kemudian, saat ada kesempatan untuk bersatu dalam ikatan rumahtangga, nasib buru-buru menenggelamkan Hayati lewat tragedi kapal Van der Wijck yang karam di perairan Lamongan. Kisah ini berhasil membuat ribuan bahkan jutaan pembaca menumpahkan air mata.

Roman Tenggelamnya Kapal Van der Wijck karya Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka) yang wafat pada 24 Juli 1981, tepat hari ini 39 tahun lalu, pertama kali terbit tahun 1938. Kisah ini awalnya adalah cerita bersambung di majalah Pedoman Masjarakat pimpinan Hamka, yang kemudian diterbitkan sebagai buku oleh penerbit M. Sjarkawi, Medan.

Buku ini laris manis di pasaran. Pada cetakan keempat, seperti dikutip Asep Sambodja dalam Historiografi Sastra Indonesia 1960-an (2010), Hamka mengakui hal tersebut. “Belum berapa lama tersiar, dia pun habis," tulisnya (hlm. 159).

Tahun 1962, roman ini menyulut keriuhan di lapangan sastra Indonesia. Tak tanggung-tanggung, Tenggelamnya Kapal Van der Wijck didakwa plagiat, menjiplak Sous les Tilleuls karya pengarang Perancis Jean-Baptiste Alphonse Karr. Hamka diduga mengambilnya dari saduran penyair Mustafa Luthfi Al-Manfaluthi, Majdulin atau Magdalena (Di Bawah Naungan Pohon Tilia).

Harian Bintang Timur lewat lembaran “Lentera” yang dinakhodai Pramoedya Ananta Toer, menabuh genderang perang terbuka dengan mengobarkan kasus ini.

Muhidin M. Dahlan membongkar tumpukan koran Bintang Timur yang merekam kasus Tenggelamnya Kapal Van der Wijck tersebut, dan menerbitkannya dengan tajuk Aku Mendakwa Hamka Plagiat: Skandal Sastra Indonesia 1962-1964 (2011).

Pada 7 September 1962, Abdullah Said Patmadji (Abdullah SP) menulis di lembar “Lentera” Bintang Timur: “Sekali Lagi Membaca Buah Tangan Hamka: Benarkah Dia Manfaluthi Indonesia?”

Dalam tulisannya, seperti dikutip Muhidin, Abdullah SP mula-mula menceritakan pengalamannya membaca Tenggelamnya Kapal Van der Wijck yang berhasil menumpahkan air matanya. Ia amat terkesan.

“Karya Hamka itu (cetakan pertama, th 1938), entah, sudah tujuh kali kubaca, kutelentang-telengkupkan, kutelentang-bukakan lagi, kubaca lagi, tak jemu-jemunya laksana surat Al-Fatihah. Begitu asik aku dipukau Hamka. Ia telah mengetuk gerbang hatiku, hati insani. Pernah aku membaca semalam suntuk, pernah pula pada suatu hari—sesudah membacanya, menangis sendirian di sudut sunyi…,” tulisnya.

Sukacita Abdullah SP buyar manakala mengetahui bahwa karya Hamka tersebut mirip dengan film Dumu el Hub (Airmata Cinta) yang diadaptasi dari karya Al-Manfaluthi, Majdulin atau Magdalena (Di Bawah Naungan Pohon Tilia). Abdullah SP yakin bahwa Hamka menjiplak mentah-mentah karya Al-Manfaluthi.

“… Temanya, isinya, napasnya, cuma tempat kejadian dan tokoh-tokohnya yang disulap, dengan menggunakan warna setempat …,” tambahnya.

Seminggu kemudian, Abdullah menulis lagi di media yang sama: “Aktor Tunggal dalam Bohong di Dunia”. Ia mencoba membandingkan beberapa paragraf antara Tenggelamnya Kapal Van der Wijck dengan Magdalena untuk membuktikan keyakinannya bahwa Hamka plagiat.

Bohong di Dunia adalah salah satu buku Hamka yang terbit pertama kali pada tahun 1949. Judul buku tersebut sengaja ia gunakan dalam tajuk tulisan Abdullah. Tujuannya tentu untuk menyindir Hamka.

Dalam esai tersebut, ada dua hal yang menurut Abdullah memiliki kesamaan: Pertama, Hamka dan Alphonse Karr/Al-Manfaluthi menggunakan hubungan antarmanusia melalui surat persahabatan sebagai titik tolak. Kedua, jika Alphonse Karr/Al-Manfaluthi menggunakan surat-surat Magdalena kepada Suzanne, maka Hamka menggunakan surat-surat Hayati kepada Chadijah.

Setelah beberapa minggu tidak ada bahasan tentang kasus ini, Abdullah menulis lagi pada 5 Oktober 1962 dan tidak mengendurkan serangan sedikit pun. Tulisannya yang ketiga bahkan makin keras: “Aku Mendakwa Hamka Plagiat!” demikian judul tulisannya.

Dua hari kemudian, 7 Oktober 1962, Bintang Timur di lembaran “Lentera” menghadirkan lagi tulisan Abdullah yang kali ini esainya dilengkapi dengan “idea-script” dan “idea-strip”, membandingkan dua cerita itu dengan detail dalam beberapa bagian.

“Secara kronologis pemuatan, dilihat dari judul-judul resensi-esai Abdullah SP, tampak bahwa Pram merancang polemik ini dengan metode ‘masak air’. Mula-mula dipasang resensi-esai perkenalan masalah, lalu dinaikkan tensinya menjadi hangat untuk meminta perhatian publik dengan menampilkan perbandingan alakadarnya, yakni surat-surat. Setelah itu barulah kemudian titik didihnya dipolkan,” tulis Muhidin (hlm. 39).

Tanggapan Pembaca dan Sikap Hamka

Untuk menampung respons pembaca yang ternyata mayoritas kecewa dengan kasus ini, Bintang Timur menyediakan rubrik “Varia Hamka”. Rubrik tersebut menambah ruang untuk pembaca selain rubrik “Saran & Sasaran” yang sudah ada sejak “Lentera” hadir di Bintang Timur. Pembaca menyayangkan sikap Hamka yang bungkam, sejalan dengan seruan Abdullah SP dalam salah satu esainya: “Bicaralah Hamka! Hayaa alah falaah! Tuan Hamka!”

Endo Suwartono, pembaca yang kala itu beralamat di Cawang III, Jatinegara, berpendapat bahwa kasus ini adalah pukulan telak bagi Hamka yang telah populer dengan karya-karyanya. Ia mendesak Hamka untuk segera buka mulut menjelaskan hal ini.

“Untuk tuan Doktor tenar yang sampai sekarang masing bungkam-gagu tidak membuka suara untuk mempertahankan gelarnya. Kalau toh tuan Doktor Hamka memang di pihak yang benar artinya tidak menjiplak, apa yang tuan Doktor takutkan untuk membalas pukulan atau setidak-tidaknya menangkis tinju Abdullah yang kerdil itu?” tulisnya (hlm. 84).

Sementara Sugeng Sriadi yang beralamat di Sostrokusuman, Yogyakarta, menyambut positif langkah yang ditempuh Abdullah SP dalam usaha membongkar kasus Tenggelamnya Kapal Van der Wijck. Ia berpendapat bahwa Abdullah telah menggoyang angkatan muda untuk tidak percaya begitu saja kepada apa yang telah ada.

Bagi Sugeng, seperti dikutip Muhidin, ia akan lebih berhati-hati saat berhadapan lagi dengan karya sastra Hamka yang lain, sebab selama ini ia sudah terlanjur menikmati hasil-hasil karya Hamka yang ternyata bermasalah, "... yang hanya palsu, yang diperoleh tanpa mencucurkan keringat,” begitu ia menggambarkan kekecewaannya (hlm. 85).

Pembaca lain masih banyak yang menyatakan pendapatnya, seperti Bogas Pandi dari Rawasari Jakarta, Rasuan Effendi, seorang pelajar Indonesia di Moskow, dll.

Selain para pembaca tersebut, dalam catatan Muhidin, para sastrawan pun ikut berkomentar. Sebagian membela Hamka, misalnya H.B. Jassin yang mengatakan bahwa Hamka tidak plagiat, tapi “Hamka ada pengungkapan sendiri, pengalaman sendiri, permasalah sendiri." Kubu pro-Hamka lainnya adalah Goenawan Mohamad (yang tidak membahas inti persoalan Hamka, tapi membicarakan soal konsepsi), Usmar Ismail (yang hati-hati dalam menyikapi kasus ini), Anas Ma’ruf (yang menyebut tulisan Abdullah SP kurang meyakinkan).

Hamka yang bungkam, kutip Historiografi Sastra Indonesia 1960-an (Asep Sambodja, 2010) dari Kritik Sastra Indonesia Modern (2002) karya Rachmat Djoko Pradopo, sebenarnya mengakui terpengaruh karya Manfaluthi. Hal itu ia sampaikan kepada wartawan Berita Minggu (30 September 1962).

Asep menambahkan bahwa sebagai terdakwa di pusaran kasus Tenggelamnya Kapal Van der Wijck, Hamka mengharapkan agar kasus ini diteliti oleh ahli sastra untuk menentukan apakah romannya hasil curian, saduran, atau asli.

“Hamka mengatakan bahwa caci maki dan tuduhan plagiat itu tidak akan menjatuhkan dia dan persoalan belum selesai […] Hamka berharap dibentuk Panitia Kesusastraan yang bersifat ilmiah di bawah Fakultas Sastra Universitas Indonesia dan ia bersedia memberikan keterangan,” tulisnya (hlm. 158-159).

Infografik tenggelamnya kapal van der wijck karya plagiat

Infografik tenggelamnya kapal van der wijck karya plagiat

Bukan Sekadar Persoalan Sastra

Dalam Historiografi Sastra Indonesia 1960-an (2010), Asep Sambodja menjelaskan bahwa kasus Tenggelamnya Kapal Van der Wijck bukan hanya persoalan sastra, tapi juga persoalan politik. Kebetulan, Hamka punya latar belakang Masyumi.

Situasi politik di sekeliling kasus dugaan plagiarisme Hamka memang sedang panas. Kekuatan politik doyong ke kiri. Pemberontak Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Sumatra Barat telah lumat disapu operasi militer pemerintah. Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) dan Partai Sosialis Indonesia (PSI) yang terlibat PRRI, juga sudah dibubarkan Presiden Sukarno.

Partai Komunis Indonesia (PKI) dan ormas-ormas terafiliasi sedang di atas angin. Palagan kebudayaan mereka kuasai. Pihak yang berseberangan disebut kontrarevolusioner. Polarisasi amat tegas, antara kawan atau lawan.

Sementara Yudiono K.S. dalam Pengantar Sejarah Sastra Indonesia (2006) menyebut kasus ini sebagai salah satu gerakan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang agresif menyingkirkan pihak-pihak yang menurut mereka tidak sejalan dengan semangat revolusi.

Ia menambahkan, selain menghajar Hamka, Lekra juga menuduh Sutan Takdir Alisjahbana dan Idrus yang waktu itu sedang berada di Malaysia sebagai orang-orang yang kontrarevolusioner. Lekra pun menuntut pemerintah pemerintah melarang buku-buku yang berseberangan dengan pahamnya.

“Pada waktu itu tuduhan [plagiat] tersebut bukan sekadar kasus kritik sastra, melainkan kegiatan bertendensi politik terhadap Hamka sebagai seorang tokoh Islam,” tulisnya (hlm. 132).

Taufiq Ismail, salah satu penandatangan Manifes Kebudayaan yang disusun kelompok anti-Lekra, menggambarkan situasi ini lewat puisi “Catatan Tahun 1965”:

“… Kita semua diperanjingkan / Gaya rabies klongsongan / Hamka diludahi Pram / Masuk Penjara Sukabumi / Jassin dicaci diserapahi / Terbenam daftar hitam …”

Meski situasi politik memengaruhi lapangan sastra, tapi menurut Rachmat Djoko Pradopo dalam Kritik Sastra Indonesia Modern (2002), dalam perspektif sejarah kritik sastra, kasus Tenggelamnya Kapal Van der Wijck dapat dipandang objektif sebagai masalah hubungan intertekstual.

Keriuhan di lapangan sastra ini kemudian mereda dan padam saat angin politik berbaik arah. G30S meletus. PKI kalah. Lekra disembelih. Kekuatan kiri padam. Kasus ini terhenti karena para penyulutnya keburu digetok Gestok. Setelah itu, giliran mereka yang—meminjam kata Taufiq Ismail—diperanjingkan oleh pihak yang menang.

Dalam pembuka buku Aku Mendakwa Hamka Plagiat, Muhidin menegaskan bahwa inilah rupa sejarah sastra Indonesia yang masih sangat muda: penuh cadas, bergelombang-gelombang romantikanya, keras, gelap, manipulatif, bohong, dan culas.

“Mau ditangisi, ya. Mau diratapi, ya. Tapi itu adalah rantai. Suka atau tak suka. Semua-muanya kita terima dengan syarat-syarat dan pertimbangan karena ini sejarah kita, sejarah sastra Indonesia,” tulisnya.

==========

Artikel ini pertama kali ditayangkan pada 29 Maret 2018. Kami melakukan penyuntingan ulang dan menerbitkannya kembali untuk rubrik Mozaik.

Baca juga artikel terkait SASTRA atau tulisan lainnya dari Irfan Teguh

tirto.id - Humaniora
Penulis: Irfan Teguh
Editor: Ivan Aulia Ahsan & Windu Jusuf