Menuju konten utama

Halo, Milenial! Penghasilan Jukir di Jakarta Bisa 3 Kali Lipat UMR

Target retribusi parkir tahunan dinilai masih terlalu kecil bila dihitung dari belasan juta kendaraan di Jakarta.

Halo, Milenial! Penghasilan Jukir di Jakarta Bisa 3 Kali Lipat UMR
Lahan parkir di satu kawasan Jakarta Pusat. tirto.id/Andrey Gromico

tirto.id - Pria 34 tahun bersepatu Nike Running orisinal itu berdiri di tepi ruas jalan Jakarta Pusat. Setiap pukul empat sore, ia memakai rompi biru dengan lambang Unit Pengelolaan Perparkiran Dishub DKI Jakarta.

Iwan, bukan nama sebenarnya, memilih meninggalkan pekerjaannya di sebuah hotel bintang tiga. Ia banting profesi sebagai juru parkir. Alasannya, kerja jukir adalah "kamu dapat uang tanpa tekanan."

"Enak jadi jukir," kata Iwan kepada reporter Tirto pada pertengahan November lalu.

Bekerja sebagai jukir, Iwan memulai jam kerjanya dari pukul empat sore hingga dua belas malam. Terkadang sampai pukul 3 dini hari—tergantung kemampuannya.

Bagi sebagian orang, pekerjaan ini kadang dicap "rendahan". Tetapi, jika Anda sedikit saja mau melebarkan telinga, penghasilannya sangat mungkin bikin kesengsem pekerja kantoran dari fresh graduate sebuah kampus mahal di Indonesia.

Sebagai jukir yang dikontrak UP Perparkiran selama setahun, Iwan dibayar sesuai upah minimum provinsi Jakarta sebesar Rp3,3 juta per bulan. Tetapi penghasilan ini bukan satu-satunya. Sumber pendapatan lain dari pemilik mobil yang membayar tunai tanpa struk parkir. Sehari ia bisa mengantongi Rp300 ribu atau Rp6 juta per bulan.

"Sebulan bisa Rp9 juta," katanya. "Orang sepele sih sama jukir."

Atasan Iwan adalah seseorang yang disebut pengawas, dan koordinator lapangan jukir. Pengawas bekerja untuk memantau kinerja jukir, sementara korlap bertugas mengumpulkan uang jukir untuk disetorkan ke rekening pemda.

Menurut pengakuan Iwan, pengawas yang dipekerjakan oleh UP Perparkiran adalah "orang setempat yang diberdayakan." Relasi ini membentuk apa yang dia bilang "saling memahami" soal pendapatan tambahan yang dia terima, yang lebih besar dari gaji bulanan.

Bila mesin parkir otomatis saja bisa diakali jukir, apalagi parkir yang memakai karcis. Misalnya, parkir di Gedung Olahraga Remaja Senen, Jakarta Pusat. Jukir mematok harga parkir sepeda motor Rp5.000 per hari tanpa memberikan karcis. Bahkan satu jam parkir tetap dikenakan biaya yang sama.

Begitu pula di GOR Bulungan, Jakarta Selatan. Jukir mematok sekali parkir motor dengan harga Rp3.000 dan mobil Rp7.000. Lahan parkir supermarket tak luput dari pungutan “jukir” seperti Indomaret, Alfamart, dan kafe. Mereka mematok harga seenaknya, dari Rp2.000-Rp5.000 untuk sepeda motor. Bahkan saat pembayaran, jukir tak memberikan karcis parkir kepada konsumen.

Ada beragam alasan jukir sungkan memberikan karcis. Berdasarkan penelitian Forum Warga Kota Jakarta pada 2006 terhadap 56 juru parkir, 13 jukir mengatakan kepada pemilik kendaraan bahwa karcisnya habis, 19 jukir berkata karcisnya sulit atau merepotkan, 13 orang bilang tidak ada karcis, dan 4 jukir berkata si pemilik kendaraan tidak meminta karcis.

Pendapatan Retribusi Parkir Minim

Penggunaan sistem parkir otomatis diberlakukan saat Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok pada 2014. Tujuannya untuk meningkatkan pendapatan retribusi parkir kepada Pemda Jakarta. Namun, alih-alih menaikkan pendapatan, sistem parkir meteran juga bocor meski jukir diberi gaji bulanan sesuai upah minimum DKI Jakarta.

Data Badan Pusat Statistik DKI Jakarta tahun 2016 mencatat ada sekitar 16.835.000 unit kendaraan di Jakarta, meliputi 13.310.000 sepeda motor dan 3.525.000 mobil.

Bila 10 persen dari total kendaraan ini memakai jasa parkir setiap hari, artinya ada sekitar 1.331.000 sepeda motor dan 352.500 mobil yang membayar retribusi kepada Pemda Jakarta.

Jika dikalkulasi lewat tarif termurah dalam satu jam di Jakarta, Rp2.000 untuk sepeda motor dan Rp5.000 untuk mobil, maka dalam sehari Pemda DKI bisa meraup pemasukan sekitar Rp4,4 miliar. Artinya, dalam 25 hari saja, pendapatan minimal yang diperoleh Pemda Jakarta sebesar Rp 110,6 miliar.

Tetapi hitung-hitungan kasar tersebut tak selamanya sesuai kenyataan di lapangan. Merujuk pendapatan retribusi parkir UP Perparkiran tahun 2016, pemda hanya menerima sekitar Rp52 miliar.

Pada 2017, UP Perparkiran menargetkan pendapatan retribusi parkir Rp111 miliar. Namun, realisasi hingga November 2017 baru Rp73 miliar.

Menurut Ivan Valentino, Humas UP Perparkiran, pendapatan rendah dari retribusi karena "lokasi satuan ruang parkir (SRP) berubah peruntukannya." Slot yang semula untuk parkir tak bisa lagi dipakai "karena ada rambu dilarang berhenti." Selain itu, kata Ivan, "pembangunan yang masif" mengurangi slot perparkiran di Jakarta.

Sebagai gambaran, menurut Ivan, UP Perparkiran memiliki 13.095 SRP pada 2010. Pada 2017 jumlahnya menurun menjadi 12.550 SRP. Ada pengurangan 545 SRP selama tujuh tahun terakhir. Minimnya ruang parkir ini berbanding terbalik dari pertumbuhan kendaraan bermotor.

Badan Pusat Statistik DKI Jakarta tahun 2016 mencatat ada sekitar 1,4 juta unit kendaraan baru setiap tahun.

Tingginya angka kendaraan baru berdampak pada tumbuhnya parkir-parkir liar yang dikelola oknum tertentu maupun organisasi masyarakat, baik di tepi jalan umum, parkir lingkungan, hingga taman, menurut Ivan.

Misalnya di depan Pasar Stasiun Senen, Jakarta Pusat. Deretan sepeda motor berjejer memanjang mencapai 200 meter. Padahal, di tepi jalan itu telah dipasang rambu dilarang parkir.

Acep Sutisna, asisten manajer operasional UP Perparkiran Jakarta Pusat, mengatakan lahan di depan pintu keluar Stasiun Senen dan di seberang jalan adalah tempat ilegal untuk parkir. Adapun parkir di seberang jalan karena imbas dari pembangunan pasar.

"Hasil rapat di kecamatan, janjinya Oktober atau November 2017 harus parkir di dalam. Tapi tidak dilaksanakan," kata Sutisna.

Infografik HL bisnis parkir

'Tak Menutup' Ada Kongkalikong antara Korlap Jukir & Manajemen UP Perparkiran

Prabowo Soenirman, anggota Komisi B bidang perekonomian DPRD Jakarta dari Fraksi Gerindra mengatakan penetapan setoran di muka menjadi problem utama penggelapan pendapatan retribusi parkir. UP Perparkiran menetapkan pendapatan minimal terhadap satu titik lokasi, padahal potensi pendapatan retribusi parkir "sangat besar."

Selain itu, ada potensi “main mata” antara korlap jukir dan asisten manajer (asmen) operasional UP Perparkiran. Celah itu terbuka karena "korlap parkir bisa membuat berita acara kepada asmen ketika pendapatan hariannya kecil."

"Korlap dan asmen itu tidak menutup kemungkinan terjadi penggelapan," tegas Soenirman.

Menurutnya, target pendapatan per bulan UP Perparkiran Rp9 miliar per bulan dinilai terlalu kecil. Harusnya, dengan pengelolaan off-street (parkir gedung), pemda mampu mendapatkan retribusi parkir antara Rp300 miliar sampai Rp400 miliar per tahun. Ini belum termasuk parkir tepi jalan umum (on-street).

"Anda bisa bayangkan: parkir di tepi jalan rumah sakit, GOR, terminal, dan PD Pasar Jaya," ujar Soenirman.

Ivan Valentino dari UP Perparkiran membenarkan bahwa "masih ada petugasnya yang nakal". Ia menilai bahwa mengubah tradisi dari uang tunai ke elektronik masih "perlu waktu."

Ia bilang "tak akan segan bertindak" terhadap petugas yang terlibat penggelapan uang parkir, dengan sanksi akan diberhentikan secara tak hormat.

"Kalau ketahuan enggak ada ampun. Enggak ada kompromi. Karena mempertaruhkan nama UP Perparkiran. Biar jera," kata Ivan.

Baca juga artikel terkait LAHAN PARKIR atau tulisan lainnya dari Reja Hidayat

tirto.id - Bisnis
Reporter: Reja Hidayat
Penulis: Reja Hidayat
Editor: Fahri Salam