Menuju konten utama

Hakim Tolak Gugatan Terhadap Larangan Tionghoa Punya Tanah di Yogya

Majelis Hakim PN Yogyakarta menolak gugatan terhadap aturan yang melarang warga non-pribumi memiliki tanah di DIY dengan alasan ketentuan itu merupakan kebijakan dan bukan termasuk peraturan perundang-undangan.

Hakim Tolak Gugatan Terhadap Larangan Tionghoa Punya Tanah di Yogya
(Ilustrasi) Pemandangan di Kota Yogyakarta. tirto/danna cynthia.

tirto.id - Majelis Hakim Pengadilan Negeri Yogyakarta menolak gugatan terhadap Instruksi Wakil Kepala Daerah DIY No. K.898/I/A/1975 tanggal 5 Maret 1975 tentang Penyeragaman Policy Pemberian Hak Atas Tanah kepada Seorang WNI Non Pribumi.

"Mengadili, dalam eksepsi menolak eksepsi tergugat 1 dan tergugat 2. Dalam pokok perkara menolak gugatan penggugat, menghukum penggugat untuk membayar biaya perkara yang sampai saat ini ditaksir sebesar Rp407 ribu," kata Hakim Ketua Condro Hendromukti di PN Yogyakarta, Selasa (20/2/2018).

Instruksi tersebut melarang warga nonpribumi memiliki hak milik atas tanah di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan kerap berlaku ke warga keturunan Tionghoa. Pihak penggugat adalah Handoko, advokat yang juga warga keturunan Tionghoa.

Handoko menggugat Gubernur DIY Sri Sultan Hamengkubuwana X dan Kepala Kanwil BPN DIY karena dianggap melanggar Inpres Nomor 26 Tahun 1998 tentang Menghentikan Penggunaan Istilah Pribumi dan Non Pribumi, Pasal 28 I [2] UUD 1945 Amandemen Keempat, dan Pasal 21 ayat 1 UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA).

Adapun pertimbangan majelis hakim menolak gugatan itu adalah karena menganggap Instruksi Wagub DIY Tahun 1975 tersebut bukan merupakan peraturan perundang-undangan, namun sebuah kebijakan.

Putusan majelis hakim beralasan, sebelum berlakunya UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, instruksi tersebut merupakan perundang-undangan. Namun, setelah UU tersebut berlaku, maka instruksi bukan lagi sebuah aturan perundang-undangan.

"Dalam pasal 11 [UU No 12 Tahun 2011] tersebut dengan jelas disebutkan bahwa instruksi bukan aturan perundang-undangan, akan tetapi berdasarkan teori ketatanegaraan, instruksi merupakan aturan kebijakan, yaitu suatu peraturan umum tentang pelaksaan wewenang pemerintah terhadap warga negara yang ditetapkan berdasarkan kekuasaan sendiri oleh instansi pemerintah yang berwenang," kata hakim anggota Sri Harsiwi.

Oleh karena ketentuan itu bukan merupakan peraturan perundang-undangan, maka tidak dapat dilakukan pembatasan dan pengujian dengan menggunakan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Putusan itu menyatakan tidak ada peraturan yang dipakai sebagai dasar pembuatan kebijakan.

"Tetapi pengujian terhadap peraturan kebijakan adalah dengan menggunakan asas-asas pemerintahan yang baik (AAUPB) karena dari segi pembentukannya, peraturan kebijakan bersumber dari fungsi eksekutif," kata Hakim Sri Harsiwi.

Oleh karena itu, menurut Majelis Hakim, untuk mengetahui perbuatan tergugat yang memberlakukan instruksi tersebut melawan hukum atau bukan, maka tidak dapat diuji dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, sebagaimana yang dipaparkan Handoko dalam gugatannya.

Putusan hakim juga mempertimbangkan dalil Sultan, yang diwakili oleh Pemda DIY, bahwa penerbitan dan pemberlakuan instruksi tersebut dengan alasan untuk melindungi warga masyarakat yang ekonominya relatif lemah dan tujuan pengembangan pembangunan DIY di masa yang akan datang.

Sementara, BPN Kanwil DIY beralasan menerapkan instruksi tersebut karena lembaganya mempunyai tugas di bidang pertanahan. BPN menyatakan pemberlakuan instruksi itu dalam rangka penerapan prinsip koordinasi, sehingga, menurut hakim "perbuatan tergugat 1 (Sri Sultan) dan tergugat 2 (BPN) bukan merupakan perbuatan melawan hukum".

Pertimbangan hakim lainnya yang membuat gugatan tersebut ditolak adalah UU Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY. UU tersebut memberikan hak keistimewaan bagi DIY dalam tata cara pengisian jabatan, kedudukan, tugas, dan wewenang Gubernur dan Wakil Gubernur; kelembagaan Pemerintah Daerah DIY; kebudayaan, pertanahan dan tata ruang.

"Menimbang bahwa berdasarkan hal-hal yang diuraikan di atas, maka menurut pendapat Majelis Hakim tidaklah tepat dalil penggugat yang pada pokoknya mendalilkan perbuatan tergugat 1 dan tergugat 2 yang memberlakukan instruksi tersebut merupakan perbuatan melawan hukum karena bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi," demikian putusan hakim.

Menurut Hakim Sri Harsiwi, putusan itu juga menimbang pendapat ahli dari penggugat, yakni Ni'matul Huda bahwa instruksi itu bukanlah produk perundang-undangan sehingga tidak dapat diuji dengan aturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

Jika diuji dengan AAUPB, maka menurut Majelis Hakim, pemberlakuan instruksi tersebut tidak bertentangan dengan AAUPB karena bertujuan melindungi kepentingan umum, yaitu masyarakat ekonomi lemah. Hal ini terkait juga dengan keistimewaan DIY yang memberikan kewenangan istimewa di bidang pertanahan serta menjaga kebudayaan, khususnya keberadaan Kasultanan DIY dan juga menjaga kesimbangan pembangunan di masa yang akan datang.

"Berdasarkan uraian pertimbangan, maka gugatan penggugat tidak terbutkti sehingga gugatan haruslah ditolak," kata Hakim Sri Harsiwi.

Penggugat Kecewa Terhadap Putusan Hakim

Atas putusan ini, Handoko sebagai penggugat mengaku akan mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi sebelum 14 hari setelah putusan hakim muncul. Dia mengaku kecewa dengan putusan tersebut.

"Putusan ini semakin mengukuhkan Yogya sebagai kota intoleransi. Kalau menurut Setara kan peringkatnya nomor 1 Jakarta, nomor 6 Yogya, kalau menurut saya ya harusnya naik kota Yogya, jadi nomor satu [peringkat kota paling intoleran]," kata Handoko.

Terkait UUK yang menjadi pertimbangan hakim, Handoko mengaku heran, mengapa UU tersebut yang menjadi alasan putusan perkara ini.

"Kemarin kan juga dikatakan ahli semua, tidak ada kaitannya dengan keistimewaan. Kalau di UUK itu tentang tanah kesultanan, tanah yang saya maksudkan kan tanah yang biasa (bukan milik kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman). Nah, ini nyambungnya di mana kok sedikit-sedikit keistimewaan, itu kan cuma alasan saja," kata Handoko.

Sementara itu, Kabag Bantuan Hukum dan Layanan Hukum Setda DIY, Adi Bayu Kristanto menyatakan siap untuk menghadapi banding yang akan diajukan penggugat.

"Dengan putusan ini kami lega, apa yang dituntut oleh penggugat tidak terbukti, kami bersyukur. Kami siap nanti kalau penggugat akan mengajukan banding," kata Adi.

Baca juga artikel terkait KASUS TANAH atau tulisan lainnya dari Dipna Videlia Putsanra

tirto.id - Hukum
Reporter: Dipna Videlia Putsanra
Penulis: Dipna Videlia Putsanra
Editor: Addi M Idhom