Menuju konten utama

Hakim PN Jakpus Pemutus Penundaan Pemilu 2024 Dilaporkan ke KY

Menurut Pitra, permasalahan hukum yang dialami partai politik tidak ada kaitannya dengan kewenangan yang dimiliki pengadilan negeri.

Hakim PN Jakpus Pemutus Penundaan Pemilu 2024 Dilaporkan ke KY
Advokat Pitra Romadoni Nasution (tengah), mendampingi kliennya yang melaporkan majelis hakim PN Jakarta Pusat buntut putusan mengabulkan gugatan Partai Rakyat Adil Makmur (Prima) ke Komisi Yudisial, Senin (6/3/2023). (Tirto.id/Fransiskus Adryanto Pratama)

tirto.id - Kongres Pemuda Indonesia resmi melaporkan tiga Hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat ke Komisi Yudisial (KY), Senin (6/3/2023) yaitu T. Oyong, H. Bakri, dan Dominggus Silaban. Ketiganya merupakan majelis hakim yang menyidangkan gugatan Partai Rakyat Adil Makmur (Prima).

Laporan KPI teregister dengan nomor 0405/III/2023/P. Pelapor dalam laporan ini, yakni Sapto Wibowo Sutanto.

Kuasa hukum pelapor Pitra Romadoni Nasution mengatakan kliennya menilai putusan majelis hakim melampaui kewenangan absolutnya.

"Lebih berwenang PUTN Jakarta, dan Bawaslu RI, dan mengenai hasil pemilihan umum kalau pun ada sengketa hasil pemilu itu ke MK bukan PN Jakarta Pusat," kata Pitra di Gedung KY, Jalan Kramat Raya, Jakarta Pusat, Senin (6/3/2023).

Menurut Pitra, permasalahan partai politik tidak ada kaitannya dengan pengadilan negeri. Ia mengatakan yang mengadili persoalan parpol adalah kewenangannya administrasi negara, yaitu Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dan Bawaslu RI.

"Mengenai hasil pemilihan umum kalau pun ada sengketa hasil pemilu itu ke Mahkamah Konsitusi, bukan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat," ucap Pitra.

Dalam putusannya, majelis hakim meminta Komisi Pemilihan Umum (KPU) tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilu 2024.

Menurut Pitra, putusan tersebut telah melanggar konstitusi negara republik Indonesia yang diatur dalam Pasal 22 E Undang-Undang Dasar 1945.

"Sudah jelas diatur konsitusi kita pemilihan umum itu dilaksanakan dalam lima tahun sekali dan lebih aneh lagi diamar putusan di poin dua yang bersangkutan [hakim] menyatakan penggugat adalah parpol gitu, sedangkan penggugat orang perorangan," kata Pitra.

Pitra lantas mempertanyakan putusan majelis hakim yang menyatakan partai politik. Padahal, penggugat adalah nama pribadi.

"Ini aneh, enggak nyambung, lain cerita kalau dia menyatakan penggugat adalah pengurus parpol, ketua atau sekretaris. Itu masih logika, kalau dia perorangan dikatakan parpol, enggak nyambung logika hukumnya," kata Pitra.

Pitra juga mempersoalkan poin kelima dalam amar putusan majelis hakim. Pada poin itu, majelis hakim menyatakan menghukum tergugat, yakni KPU untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilu 2024 sejak putusan diucpakan dan melaksanakan pemilu dari awal selama lebih kurang 2 tahun 4 bulan 7 hari.

Pitra menegaskan bahwa putusan majelis hakim, inkonstitusional. Ia meminta KY segera memanggil dan memeriksa tiga majelis hakim tersebut.

"Dalami apa motif dan dasar pertimbangan-pertimnangan untuk memutus tersebut dan jelaskan kepada masyarakat. Masyarakat, kan, mengetahui pemilu dilaksanakan 5 tahun sekali," kata Pitra.

Pada kesempatan sama, pelapor bernama Sapto Wibowo Sutanto mengatakan putusan majelis hakim itu menimbulkan polemik.

"Mengapa saya bilang polemik yang bergejolak? Karena dari ahli hukum sendiri, dari masyarakat sendiri, banyak yang bertanya-tanya, dan ini janggal sekali menurut saya," kata Sapto.

Sapto mempersoalkan penggugat yang melayangkan gugatan ke pengadilan negeri dengan pokok permohonannya perbuatan melawan hukum.

"Nah, ini kenapa pengadilan negeri? Memangnya kita mau sidang sengketa lahan, sengketa tanah, sengketa rumah?," pungkas Sapto.

Baca juga artikel terkait PENUNDAAN PEMILU 2024 atau tulisan lainnya dari Fransiskus Adryanto Pratama

tirto.id - Hukum
Reporter: Fransiskus Adryanto Pratama
Penulis: Fransiskus Adryanto Pratama
Editor: Bayu Septianto