Menuju konten utama

Hak Anak di Era Corona: Diabaikan hingga Jadi Korban Pemerkosaan

Pada Hari Anak Internasional, banyak dari mereka yang haknya masih diabaikan.

Hak Anak di Era Corona: Diabaikan hingga Jadi Korban Pemerkosaan
Ilustrasi pelecehan seksual. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Masa pandemi Corona atau COVID-19 juga menjadi sulit dilalui bagi anak-anak. Hak-hak mereka banyak terabaikan. Tak sedikit yang menerima kekerasan fisik hingga pelecehan seksual.

Berdasarkan survei yang dilakukan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) di 34 provinisi, terhadap 14.169 orang tua dan 25.154 anak. Hasilnya menunjukkan, hak-hak dasar mereka sebagian terabaikan.

Dari mulai pemenuhan gizi misalnya. Selama masa pandemi, 15 persen responden orang tua menyatakan pemenuhan gizi anaknya menjadi lebih buruk. Sementara dalam belajar selama masa belajar di rumah, mereka tak selalu mendapatkan pendampingan dari orang tua.

Berdasarkan hasil survei 21 persen responden, tidak pernah didampingi oleh ayahnya saat belajar dan 11,2 persen, tidak pernah didampingi ibunya. Sedangkan dalam pembelajaran daring, belum semua dari mereka memiliki akses belajar menggunakan gadget.

Sebanyak 11,6 persen menyatakan gadget merupakan kepemilikan bersama dengan orang tua atau saudara. Kemudian 17,1 persen mereka harus pinjam dari orang tua, sedangkan 71,3 persen telah memiliki gadget sendiri.

Akibat keterbatasan belajar jarak jauh di masa pandemi itu, Komisioner KPAI Bidang Pendidikan Retno Listyarti mengatakan kepada reporter Tirto, Jumat (24/7/2020), banyak anak yang tertekan secara psikologis dan bahkan yang tidak naik kelas akibat itu.

“Ada yang karena tidak memiliki akses internet selama tiga bulan tidak mengumpulkan tugas lalu dia tidak naik kelas,” kata Retno.

Pembelajaran jarak jauh ini, kata Retno, menemui berbagai persoalan krusial dan dinilai tidak efektif. Diskriminasi terhadap anak yang tidak dapat mengakses internet terjadi. Ia menyebut, terjadi bias kelas karena anak keluarga kaya, cenderung terlayani karena memiliki akses internet dan gadget yang memadai, sedangkan yang dari keluarga miskin tidak.

“Ini kegagapan negara, pemerintah pusat dan daerah yang tidak siap dan keterusan,” katanya. “Kami minta internet digratiskan agar masyarakat miskin terlayani sampai sekarang juga belum,” ujar Retno.

Selain masalah dalam pembelajaran, anak-anak juga cenderung mengalami kekerasan di masa pandemi. Berdasarkan survei ada 2 persen responden yang mengalami kekerasan dengan cara diinjak; ditampar 3 persen; dikurung 4 persen; ditendang 4 persen; ditarik 5 persen; dorong 6 persen; jambak 6 persen; jewer 9 persen; pukul 10 persen, dan cubit 23 persen.

Sementara yang paling banyak melakukan kekerasan terhadap anak adalah ibu, sebanyak 60,4 persen. Berikutnya kakak atau adik sebanyak 36,5 persen; ayah 27,4 persen; saudara 9,1 persen, kakek/nenek 3,1 persen, dan asisten rumah tangga 0,5 persen.

Selain itu mereka juga mengalami kekerasan psikis dengan yang paling banyak: mereka dimarahi, dibandingkan dengan anak lain, dibentak, dibully, hingga diusir. Hal itu juga diakui oleh orang tua mereka sebanyak 72 persen orang tua mengaku memarahi anak mereka dan 1,3 persen dari mereka juga ada yang sampai mengusir anaknya.

Kekerasan seksual juga dialami oleh anak-anak. Seperti kasus pemerkosaan yang terungkap pada awal Juli lalu misalnya seorang warga negara Prancis melakukan pencabulan terhadap 305 anak di bawah umur.

Sedangkan di Lampung, seorang anak perempuan berinisial NV, 13 tahun, diperkosa oleh DA, kepala Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Kabupaten Lampung. Lembaga yang ironisnya didirikan untuk: Melindungi perempuan dan anak dari berbagai jenis diskriminasi dan tindak kekerasan.

NV adalah korban pemerkosaan sebelum dititipkan ke P2TP2A Lampung. Ayahnya, Sugiyanto, 50 tahun, menitipkan korban ke 'rumah aman' ini dengan harapan agar anaknya mendapat pendampingan dan terutama perlindungan. Biadabnya, bukannya melindungi, DA malah memerkosa dan bahkan 'menjual' NV ke orang lain.

Deputi Bidang Perlindungan Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) Nahar menjelaskan, sepanjang tahun 2016-2020, terdapat banyak kasus kekerasan terhadap anak.

Kasus kekerasan seksual pada tahun 2016 sebanyak 6.400, naik pada tahun 2017 menjadi 10.750, kemudian meningkat lagi pada tahun 2018 yaitu 11.093 kasus, selanjutnya pada tahun 2019 menurun menjadi 19.575, dan hingga Juni 2020 jumlah kekerasan masih 3.800 kasus.

Kasus tersebut diklasifikasikan sebagai bentuk kekerasan: fisik, psikis, seksual, eksploitasi, perdagangan anak, dan penelantaran. "Kategori itu masuk dalam kategori kekerasan," kata dia kepada reporter Tirto, Jumat (25/7/2020)

Jangan Berulang

Agar tidak terjadi kasus kekerasan terhadap anak, Kemen PPPA melakukan kebijakan pencegahan dan penanganan. Bentuknya, sosialisasi secara sistematik, membantu, dan membangun agar kabupaten atau kota layak anak. Misalnya, bagaimana caranya agar pemerintah daerah bisa membuat kebijakan yang berpihak terhadap pemenuhan hidup anak. Seperti hak sipilnya, pengasuhan, sampai pendidikan, agar angka kekerasan terhadap anak menurun atau bahkan tidak ada sama sekali.

"Kalau masuk kategori, kami berikan penghargaan itu untuk memastikan bahwa daerah-daerah yang melakukan itu sudah sesuai dengan standar pemenuhan hak anak," kata Nahar.

Kemudian untuk langkah penanganan, Kemen PPPA mendorong agar setiap pemerintah daerah mengoperasikan Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) atau rumah aman untuk melindungi anak selaku korban. Anak yang menjadi korban nantinya akan diberikan pendamping dan trauma healing.

Selain itu, Kemen PPPA telah berkoordinasi dengan sejumlah Dinas terkait dalam melakukan pendampingan terhadap anak. Seperti Dinas Pendidikan (Dinkes) untuk mengakses pendidikan, Dinas Sosial, dan sebagainya.

"Tujuan akhirnya mereka bisa dapat kembali ke dalam situasi yg diharapkan menyiapkan masa depannya lebih baik lagi," jelas dia.

Baca juga artikel terkait HARI ANAK INTERNASIONAL atau tulisan lainnya dari Riyan Setiawan

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Riyan Setiawan & Irwan Syambudi
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Dieqy Hasbi Widhana