Menuju konten utama

Haiti, Negeri di Kepulauan Karibia yang Tak Putus Dirundung Malang

Sejak abad ke-15, Haiti dijajah oleh Spanyol, Prancis, dan Amerika Serikat.

Haiti, Negeri di Kepulauan Karibia yang Tak Putus Dirundung Malang
Perdana Menteri sementara Haiti Claude Joseph memberikan keterangan media menyusul pembunuhan Presiden Jovenel Moise, di Port-au-Prince, Haiti, Minggu (11/7/2021). ANTARA FOTO/REUTERS/Ricardo Arduengo/HP/djo

tirto.id - Sejak belia Christopher Columbus sangat tertarik dengan geografi dan astronomi. Ketertarikannya ini membuat ia menimba ilmu di Universita Degli Studi Di Pavia (Universitas Pavia). Selain itu, Columbus juga menghabiskan masa mudanya dengan membaca pelbagai buku tentang penjelajahan seperti Ymago Mundi (1410) karya Pierre d'Ailly, Historia Rerum Ubique Gestarum (1477) karya Aeneas Sylvius Piccolominitermasuk, dan The Travels of Marco Polo. Buku yang dikarang Marco Polo pada tahun 1300 itu adalah tentang perjalanan menjelajah dunia, khususnya tentang kisah-kisahnya singgah ke Cina, Jepang, Timur Jauh, dan Hindia.

Pengetahuan dari bangku kuliah dan pelbagai bacaan membuat Columbus tersadar bahwa ia dapat pergi ke Hindia--sumber kemakmuran bagi Eropa--dengan lebih singkat dan efisien, yakni dengan memanfaatkan rute Barat. Rute ini yang tak pernah digunakan para penjelajah untuk tiba di Timur Jauh, karena mereka percaya bumi berbentuk datar, bukan bulat.

Namun, menjadi penjelajah bukan hanya tentang pengetahuan kewilayahan, tetapi juga soal dana. Beruntung bagi Columbus, Spanyol, kerajaan yang terbentuk atas bersatunya Kerajaan Castilia dan Kerajaan Aragonia, tengah butuh sumber pemasukan. Kas kerajaan kembang kempis usai berperang dengan pasukan Muslim di Semenanjung Iberia dan menghadapi perlawanan kaum Yahudi yang menolak titah kerajaan untuk pindah agama

Ratu Isabella I, menemukan jawaban atas persoalan keuangan negara pada diri Columbus. Pada 30 April 1492, ia memberikan uang, pasukan, peralatan kepada Columbus sembari mengatakan bahwa "melayani Spanyol sama dengan melayani Tuhan". Columbus diperintahkan Isabella dan sang raja, Ferdinand, untuk mewujudkan keyakinannya mencapai Hindia melalui rute Barat dan memberikan kejayaan bagi Spanyol.

Tujuh bulan kemudian, Columbus akhirnya berangkat dari Pelabuhan Palos, Spanyol, menuju Hindia menggunakan tiga kapal layar, yakni La Santa Maria, La Pinta, dan La Lina, serta 120 pasukan.

Semua orang tahu Columbus tak pernah sampai ke Hindia. Dalam penjelajahan itu, setelah terombang-ambing di lautan selama lebih dari empat bulan dan mampir di Los Indios yang diyakininya sebagai "Hindia Timur," Columbus singgah di teluk St. Nicholas dan mendarat di Quiesqueia. Pulau ini dikuasai oleh "Caciques"--perkumpulan kepala suku dari suku-suku yang mendiami pulau tersebut, yakni suku Magua, suku Guacanagary, suku Xaragua, dan suku Hyguey.

Awalnya, melihat gelagat Columbus dan anak buahnya yang ramah, Caciques menyambut baik para tamu asing, bahkan menyelenggarakan upacara penyambutan khusus. Columbus pun merasa tersanjung. Setelah melakukan penjelajahan ke seantero pulau, ia kesengsem dengan pulau tersebut.

Sikap ramah yang ditunjukkan Columbus dan anak buahnya tak bertahan lama. Ketika pulang ke Spanyol dan mengajak beberapa orang Quiesqueia, Columbus membawa sebongkah emas yang diberikan Caciques sebagai hadiah. Silau melihat emas yang dibawa Columbus, timbul kebusukan hati pada Ratu Isabell dan Raja Ferdinand. Maka, usai memberikan gelar Laksamana Laut pada Columbus atas keberhasilannya "menemukan" Quiesqueia alias Hispaniola--nama yang diberikan Columbus yang berarti "Spanyol Kecil"--pasukan yang lebih banyak berlayar kembali untuk mengokupasi wilayah yang dikuasai Caciques.

Selanjutnya, Quiesqueia atau Hispaniola, atau Haiti (dan Republik Dominika) pada zaman modern sebagaimana dikisahkan Elie Jean-Louis dalam Outrage for Outrage: A History of Colonialism in Haiti and Its Legacy (2021), akhirnya dijajah Spanyol.

Dari Produsen Gula Terbesar Dunia hingga Utang yang Tak Berkesudahan

"Saya bukan seorang diktator," tegas Jovenel Moise dalam wawancaranya dengan The New York Times pada Maret 2021 lalu.

Jovenel Moise menjadi Presiden Haiti pada 2016 setelah memenangkan pemilu dengan memperoleh 600.000 suara. Mantan ketua kamar dagang Port-de-Paix tersebut menggantikan Jocelerme Privert, pejabat pelaksana presiden. Sementara sebelumnya, Jocelerme Privert ditunjuk untuk menangani kekosongan kekuasaan Haiti setelah Michel Martelly--musisi yang terpilih sebagai presiden pada 2010 melalui bantuan Bill Clinton--harus rela melepas jabatannya karena terbukti melakukan kecurangan pemilu.

Dalam wawancaranya dengan The Times, Moise sesumbar ingin melakukan perubahan dengan terus-menerus menjadi presiden, kalau perlu melanggar konstitusi. Hal itu ia ucapkan di tengah kesengsaraan rakyat yang tak berkesudahan karena gempa bumi pada 2010 dan wabah Covid-19. Bencana-bencana ini mengakibatkan Haiti tak pernah lepas menggenggam status sebagai salah satu negara termiskin di dunia. Selain itu, Moise juga banyak dikecam karena dianggap tidak becus mengurus negara.

Menurut Moise, sebagai anak seorang pengusaha gula, "sejak kecil, saya selalu bertanya-tanya mengapa orang-orang Haiti hidup dalam kondisi seperti ini (miskin)?" Padahal, pikir Moise, "tanah di Haiti sangat luas, cocok untuk perkebunan."

Keheranan yang dilontarkannya dalam wawancara dengan The Times sesungguhnya dapat ia jawab diri. Kegagalan Haiti mengekplorasi diri di tengah-tengah kepemilikan lahan yang luas terjadi karena Moise dan penguasa-penguasa sebelumnya gagal mengurus negara karena terlalu bernafsu mempertahankan kekuasaan. Ini diperparah oleh luka sejarah--kolonialisme Spanyol, Perancis, dan Amerika Serikat--yang tak pernah sembuh.

Elie Jean-Louis dalam Outrage for Outrage: A History of Colonialism in Haiti and Its Legacy (2021) menyebutkan, setelah Raja Ferdinand menaklukkan Hispaniola atau Haiti dan memerintahkan anak buahnya menyetor 500.000 keping emas saban tahun, kelangkaan emas mulai terjadi di Haiti. Tak mau sumber pemasukannya hilang dan tahu bahwa Haiti memiliki tanah yang subur, sejak 1535 perkebunan tebu diperkenalkan di Haiti. Kala itu, Spanyol memberlakukan kerja paksa. Mereka memaksa rakyat Haiti bekerja mengurus tebu, menghasilkan gula, sembari terus bekerja mencari emas.

Kerja paksa yang menyengsarakan itu membuat populasi rakyat Haiti menurun. Tak lama setelah perkebunan tebu diperkenalkan, dua per tiga rakyat Haiti menghilang. Dan sejak 1652, seluruh rakyat Haiti benar-benar menghilang. Untuk menanggulangi masalah ini, Spanyol mendatangkan para pekerja paksa dari tanah jajajan lain seperti dari Guinea. Kerja paksa tersebut berlangsung hingga awal abad ke-17. Setelah itu, Spanyol meninggalkan Haiti karena segala sumber dayanya telah berhasil mereka keruk.

Namun, kepergian Spanyol dari Haiti tidak berpengaruh bagi rakyat Haiti--yang kala itu telah dipenuhi para pekerja paksa dari negeri seberang. Di bawah kekuasaan Henry XIV, Perancis mengokupasi Haiti. Bukan untuk mendulang emas yang memang sudah habis, tetapi untuk menjadikan tanah jajahan barunya ini sebagai ladang tebu raksasa.

Infografik Haiti

Infografik Haiti. tirto.id/Quita

Di bawah kekuasaan Perancis, perkebunan tebu Haiti kembali menggeliat. Cairg Palsson dalam studinya berjudul "Small Farms, Large Transaction Costs: Haiti's Missing Sugar" (The Journal of Economic History Vol. 81 2021) menyebutkan, semenjak Perancis bercokol, Haiti menjadi pengekspor gula terbesar di dunia. Sebelum abad ke-19, setengah kebutuhan gula di seluruh dunia dipenuhi Haiti. Namun, kejayaan Perancis atas gula Haiti hanya berlangsung satu abad. Sadar penjajahan menghancurkan hidup mereka, rakyat Haiti melakukan perlawanan yang dipimpin oleh Jenderal Jean-Jacques Dessalines. Mereka berhasil mengusir Perancis dan mendeklarasikan kemerdekaan pada 1 Januari 1804.

Sial, setelah berhasil mengusir penjajah, Perancis memaksa Haiti membayar ganti rugi kehilangan sumber pemasukan berupa perkebunan tebu raksasa. Jika Haiti tidak membayar ganti rugi, Perancis mengancam akan kembali dengan membawa pasukan yang lebih besar.

Awalnya, terjadi perbedaan pendapat di antara rakyat Haiti. Sebagian yang diketuai oleh Alexandre Petion sepakat membayar ganti rugi. Sebagian lagi yang dipimpin Henry Christophe menolak membayar ganti rugi. Nahas, tak lama setelah Haiti merdeka, Henry Christophe yang menjunjung tinggi perlawanan kepada Perancis meninggal dunia. Akhirnya, Haiti membayar ganti rugi kepada Perancis karena ikut keputusan Alexandre Petion.

Mula-mula Haiti hendak membayar ganti rugi senilai 15 juta franc (setara dengan 342 juta dolar AS), nilai uang yang setara dengan harga yang dibayarkan Amerika Serikat saat membeli Louisiana dari Napoleon Bonaparte. Namun Raja Perancis Louis XVIII menolaknya. Dia meminta Haiti membayar 150 juta franc alias 10 kali lipat dari harga yang dibayarkan AS untuk Louisiana. Jumlah inilah yang akhirnya dibayar oleh Haiti dengan cara dicicil, dan menggelembung hampir dua kali lipat karena Haiti membayarnya dengan utang.

Gara-gara perkara ganti rugi, ketika merdeka, Haiti tak memiliki uang sepeserpun untuk mengurus negara. Kembali merujuk studi yang dilakukan Palsson, untuk mengongkosi pegawai negeri dan pasukan keamanannya, Haiti membayarnya dengan cara memberikan kepingan-kepingan tanah. Kebijakan ini menghapus keberadaan perkebunan tebu raksasa di Haiti ketika teknologi produksi tebu tanpa kerja paksa berhasil ditemukan pada abad ke-19.

Akibatnya, ekonomi Haiti mandeg. Hal ini membuat sebagian besar rakyatnya memilih merantau ke Kuba, Republik Dominika, dan Puerto Rico. Dan di tengah-tengah kelesuan ekonomi ini, pada 1915 AS menjajah Haiti demi kepentingan ekonomi dan keamanan Paman Sam karena menggangap posisi Haiti sangat cocok dijadikan markas militer sekaligus penghubung perdagangan. Di bawah kuasa AS, kerja paksa kembali muncul, kali ini memaksa rakyat Haiti membangun jalan dan rel kereta api.

Sebagaimana Perancis yang meminta ganti rugi, ketika AS akhirnya angkat kaki dari Haiti, Paman Sam juga menagih uang pada negeri di Karibia ini dengan alasan berhasil membangunkan jalan bagi mereka. Tagihan yang kian menggunung tak mampu dibayar Haiti. Setelah AS pergi, negeri malang ini berkali-kali dikuasai diktator yang korup dan sempat memberlakukan kerja paksa, mulai dari Jean-Claude Duvalier hingga Jovenel Moise--presiden yang baru saja dibunuh dan memiliki perusahaan pisang tetapi bergerak di bidang pembangunan jalan raya.

Baca juga artikel terkait HAITI atau tulisan lainnya dari Ahmad Zaenudin

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Irfan Teguh