Menuju konten utama

Hadapi Tekanan Bertubi-tubi, Bagaimana Nasib Maskapai Penerbangan?

Bencana kebakaran hutan dan lahan (karhutla) serta harga minyak dunia yang merangkak naik mengancam bisnis penerbangan nasional

Hadapi Tekanan Bertubi-tubi, Bagaimana Nasib Maskapai Penerbangan?
Penumpang menaiki pesawat udara di Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai, Bali, Selasa (9/7/2019). ANTARA FOTO/Fikri Yusuf/hp.

tirto.id - Industri penerbangan nasional kembali memasuki masa-masa sulit. Usai ditekan konsumen karena harga tiket pesawat mahal sejak awal tahun, maskapai kini menghadapi persoalan isu bencana karhutla hingga harga minyak dunia yang melonjak.

Awal pekan ini, sudah ratusan penerbangan gagal terbang. Jadwal penerbangan berantakan hingga delay berjam-jam tak terhindarkan. Kepulan asap yang pekat di langit Pulau Sumatera dan Kalimantan membuat penerbangan dari dan ke dua pulau itu tidak lagi aman.

Jumlah penerbangan Lion Air Grup paling banyak dibatalkan ketimbang maskapai lainnya. Tercatat, sudah 83 penerbangan terpaksa gagal terbang dan jumlah ini masih terus meningkat selama karhutla masih terjadi.

Garuda Indonesia juga bernasib sama. Selama 15-16 September 2019, Garuda membatalkan sebanyak 16 penerbangan. Disusul Citilink yang membatalkan enam penerbangan, dan tiga penerbangan lainnya delay sampai dengan 1-3 jam.

Kondisi ini jelas merugikan maskapai. Nilai kerugian mereka pun ditaksir tidak kecil. Dirjen Perhubungan Udara Kemenhub Polana B. Pramesti mengaku belum bisa menghitung nilai kerugian yang ditanggung maskapai.

Namun yang pasti, lanjutnya, penerbangan dari dan ke Sampit, Kalimantan Tengah, lalu Pontianak, Kalimantan Barat sampai dengan Samarinda, Kalimantan Timur terdampak cukup parah.

“Di Pontianak, hampir 80 persen [penerbangan terganggu]. Cancel dan delay selalu ada. Bahkan, akhir pekan lalu di Pontianak sama sekali tak ada penerbangan,” tutur Polana saat ditemui di Komisi V DPR.

Beruntung, bencana karhutla dikategorikan force majour oleh pemerintah, sehingga maskapai tidak wajib mengganti kerugian penumpang. Menurut Polana, penumpang harus mengerti, bahwa kerugian yang mereka alami karena faktor alam, dan bukan salah maskapai.

Meski begitu, bencana karhutla tetaplah memukul bisnis maskapai. Bagaimanapun, maskapai memiliki biaya yang harus ditanggung, meskipun pesawat tidak terbang, di antaranya seperti biaya sewa pesawat dan gaji pegawai, di mana porsinya cukup besar terhadap pengeluaran maskapai.

Arista Atmadjati, Direktur Arista Indonesia Aviation Center, memperkirakan gangguan pada penerbangan karena karhutla masih akan terjadi sampai dengan Oktober. Selama satu bulan ini, bisnis penerbangan diprediksi terpukul cukup parah.

“Apalagi ini sampai akhir Oktober ini low season. Sudah sepi, eh kena asap. Jeblok keuangan maskapai. Pemerintah perlu kasih insentif. Kalau enggak, ya, enggak fair,” ucap Arista saat dihubungi reporter Tirto, Selasa (17/9/2019).

Waspada Harga Avtur Melonjak

Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Piter Abdullah menilai pukulan pada industri penerbangan belum berhenti pada karhutla. Industri penerbangan saat ini juga tengah dihantui oleh potensi kenaikan harga avtur.

Penyebabnya berkaitan dengan serangan drone pada fasilitas minyak Arab Saudi, sehingga mengakibatkan pasokan 5,7 juta barel per hari atau setara dengan 5 persen pasokan global berhenti sementara. Akibat situasi itu, harga minyak dunia tercatat merangkak naik hingga 15 persen dari harga yang berlaku sebelum serangan.

“Semua produk turunan minyak akan terpengaruh. Kan, bahan bakunya minyak mentah. Jadi sudah dipastikan kalau masalah terjadi cukup lama, harga BBM nonsubsidi dan avtur akan naik. Jadi bisa kena dua sekaligus [karhutla dan avtur],” ucap Piter.

Bila keduanya berlarut-larut, Piter khawatir muncul persoalan baru. Misalnya, kenaikan harga tiket. Bagaimanapun, maskapai tentu akan tetap mencari cara untuk menjaga kelangsungan usahanya.

Meski begitu, untuk isu serangan drone ke fasilitas minyak Saudi mungkin belum pasti akan mengerek harga avtur dalam negeri. Soalnya, hingga saat ini, avtur yang menyumbang 24 persen biaya operasional agaknya belum terpengaruh.

“Jadi yang paling penting saat ini adalah untuk memastikan karhutla ditanggulangi secepat mungkin. Terlepas ada isu pasokan minyak dari Saudi, dampak yang ada di dalam negeri perlu diminimalisir dulu,” tuturnya.

Harapan agar karhutla segera ditanggulangi juga disampaikan Sekjen Asosiasi Maskapai Penerbangan Nasional Indonesia (INACA) Tengku Burhanudin. Menurutnya, maskapai cukup was-was dengan bencana karhutla yang terjadi saat ini.

Apalagi, maskapai juga sedang mewaspadai potensi kenaikan harga avtur setelah terjadinya serangan drone terhadap fasilitas minyak milik Arab Saudi, sehingga membuat harga minyak dunia merangkak naik.

“Kalau harga avtur benar naik, biaya yang ditanggung maskapai semakin besar. Keadaan ini bisa lebih buruk dari sebelumnya karena kenaikan avtur akan dibebani juga dengan kurs yang tinggi, di angka Rp14.000 per dolar AS,” tutur Tengku.

Tengku tak menampik jika peluang harga tiket mengalami kenaikan terbuka lebar. Bahkan, ia mengusulkan pemerintah untuk menyesuaikan tarif batas atas guna memberi ruang maskapai untuk menyesuaikan harga seiring dengan kondisi yang ada saat ini.

“Kalau [harga tiket naik] itu mungkin saja. Tapi sementara ini mungkin masih sesuai batas atas dari Kemenhub. Kalau nanti [avtur naik] terjadi, ya, tentu kami minta batas atas dinaikan. Kalau enggak bisnis penerbangan bermasalah semua,” ucap Tengku.

Baca juga artikel terkait MASKAPAI PENERBANGAN atau tulisan lainnya dari Vincent Fabian Thomas

tirto.id - Bisnis
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Ringkang Gumiwang