Menuju konten utama

Hadapi Kivlan, Wiranto Mestinya Pakai Hukum, Bukan Sumpah Pocong

Wiranto adalah Menkopolhukam. Dia semestinya pakai instrumen hukum untuk membuktikan tuduhan Kivlan Zen soal siapa di balik kerusuhan 98, bukan malah menawarkan sumpah pocong.

Hadapi Kivlan, Wiranto Mestinya Pakai Hukum, Bukan Sumpah Pocong
Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Wiranto. tirto.id/Andrey Gromico

tirto.id - Sumpah pocong biasanya dilakukan oleh orang biasa. Tujuannya untuk membuktikan kalau yang bersangkutan tak bersalah atas tuduhan tertentu--biasanya tuduhan berat. Beberapa contoh kasus adalah mereka yang dituduh sebagai dukun santet di Banyuwangi selama periode 1998. Juga dua orang di Probolinggo untuk tuduhan yang sama, tahun lalu.

Dan Wiranto adalah pengecualian. Dia bukan orang biasa. Dia ada di dalam lingkaran kekuasaan. Dia adalah bekas Jenderal ABRI dan kini jadi orang nomor satu di Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan.

Tapi alih-alih mendorong penegakan hukum, Wiranto malah menantang Kivlan melakukan sumpah pocong untuk membuktikan ia tak terlibat dalam kerusuhan 1998 sebagaimana dituduhkan Kivlan.

Kivlan, bekas Kepala Staf Kostrad, pada Senin (25/2/2019) lalu mengatakan Wiranto adalah dalang kerusuhan 1998 ketika menjabat sebagai Panglima ABRI.

Wiranto kemudian menuding balik Kivlan. Kata Wiranto Kivlan adalah orang yang gemar memberi pernyataan ngawur. Untuk menegaskan kalau dia tak terlibat, Wiranto pun menawarkan melakukan sumpah pocong.

"Oleh karena itu saya berani untuk sumpah pocong saja. 98 itu yang jadi bagian dari kerusuhan saya atau Prabowo dan Kivlan Zen? Sumpah pocong saja. Biar terdengar ke masyarakat," kata Wiranto, dalam keterangan resmi yang diterima Tirto, Selasa (26/2/2019).

Choirul Anam, Komisioner Komnas HAM, adalah salah satu orang yang mengatakan kalau Wiranto sebaiknya menggunakan kekuasaan yang ia miliki, alih-alih sumpah pocong yang sama sekali tak ada landasan hukumnya.

Penggunaan instrumen hukum semakin mendesak karena kasus 1998--baik peristiwa Mei, Trisaksi, Semanggi I & II--telah dinyatakan sebagai pelanggaran HAM berat oleh Komnas HAM.

"Perdebatan Pak Wiranto dan Pak Kivlan Zen mengenai apa yang terjadi pada 1998 lebih baik diletakkan dalam narasi penegakan hukum," kata Choirul dalam rilis resmi yang diterima Tirto, Rabu (27/2/2019).

Bagaimana caranya? Pertama, keduanya bisa langsung menemui Jaksa Agung dan memberi keterangan kesaksian. Kalau tak bisa bertemu, Wiranto dan Kivlan juga bisa mengirim keterangan tertulis.

Cara kedua adalah memberi keterangan ke Komnas HAM. Komnas HAM-lah yang nanti akan meneruskannya ke Jaksa Agung--pihak yang jadi penyidik pelanggaran HAM berat.

Selain itu, Jaksa Agung juga dapat berperan aktif dengan tidak hanya menunggu, tapi memanggil kedua veteran tersebut. Atau jika enggan, Jaksa Agung bisa menerbitkan surat perintah penyidikan kepada Komnas HAM. Komnas HAM akan memanggil mereka untuk diperiksa.

"Jalan itu yang terbaik. Daripada debat tanpa ujung dan tawaran mekanismenya hanya bersifat jargon semata. Kecuali bila ini hanya bagian dari narasi politik sesaat dalam momentum Pilpres," pungkas Choirul.

Hal serupa diungkapkan Haeril Halim, Juru Bicara Amnesty International. Kepada reporter Tirto ia mengatakan hal serupa: bahwa sebaiknya keduanya memberikan keterangan ke Komnas HAM atau Jaksa Agung.

"Debat tanpa arah di media massa seperti itu hanya menyakiti perasaan korban [dan keluarganya] yang terus mencari keadilan," katanya.

Haeril pun menegaskan di ujung dari debat ini sebaiknya pemerintah segera membuat pengadilan HAM ad hoc--sesuatu yang sebetulnya diabaikan Wiranto, juga Joko Widodo, sejak lama.

Tahun lalu Wiranto sempat mengatakan kalau penyelesaian kasus HAM di masa lalu tidak mudah. Dia bilang harus ada rekomendasi DPR untuk itu. Rekomendasi yang ia maksud sebetulnya sudah diberikan ke pemerintah pada 2009 untuk ditindaklanjuti.

Pengadilan HAM ad hoc bisa dibuat lewat Keppres. Dan Wiranto bisa mendesak Jokowi segera membuat itu.

"Peran Menkopolhukam di sini harusnya mendesak Presiden mengeluarkan Keppres [tentang pengadilan HAM ad hoc]," kata Putri Karnesia dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), tahun lalu.

Dua Kubu Satu Suara

Jarang ada isu yang membuat Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma'ruf dan Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi satu suara. Tapi dalam kasus "sumpah pocong" Wiranto, kedua belah pihak sepakat ada yang keliru dari pernyataan lulusan Akademi ABRI tahun 1968 ini.

Oesman Sapta Odang, Ketua DPD RI yang juga Ketua Dewan Pengarah TKN, mengatakan "mana boleh sumpah pocong". Yang perlu dilakukan Wiranto adalah menegakkan hukum agar terlihat siapa yang benar.

"Di sinilah tantangan Wiranto. Betul enggak dia menegakkan aturan yang melanggar hukum. Kalau betul ya memang itu kewajibannya. Tapi jangan sampai nanti pilih kasih, semacam rekayasa," katanya di DPR.

Sementara Direktur Hukum dan Advokasi BPN, Sufmi Dasco Ahmad, mengatakan sebagai orang pemerintahan dan punya posisi strategis, Wiranto mestinya memang menggunakan instrumen hukum. Masalahnya, itulah yang tidak dilakukan sehingga membuat Sufmi berkesimpulan isu pelanggaran HAM masa lalu hanya sebatas komoditas politik.

"Penyelesaian [kasus pelanggaran HAM] menurut saya justru tugas yang bersangkutan. Kenapa enggak selesai juga [sampai sekarang]? Karena yang bersangkutan sebagai Menkopolhukam kurang usahanya menyelesaikan kasus ini," katanya kepada reporter Tirto.

Baca juga artikel terkait KASUS 1998 atau tulisan lainnya dari Rio Apinino

tirto.id - Hukum
Reporter: Bayu Septianto & Andrian Pratama Taher
Penulis: Rio Apinino