Menuju konten utama

H. Kommer & Kisah Nyi Paina yang Menghabisi si "Celeng" Tuan Briot

Lewat cerita Nyi Paina, penulis Belanda H. Kommer menunjukkan sikapnya yang anti-kolonialisme

H. Kommer & Kisah Nyi Paina yang Menghabisi si
Ilustrasi karya sastra Nyi Paina. tirto.id/Fuad

tirto.id - Sastra Indonesia sebelum Balai Pustaka yang dianggap sebagai bacaan liar oleh pemerintah kolonial Belanda, tak hanya ditulis oleh kalangan Bumiputra dan peranakan Tionghoa, tapi juga oleh orang Belanda.

Salah satu tema yang sering ditulis adalah tentang nyai, perempuan yang mayoritas menjadi gundik orang Belanda. Dalam praktiknya, nyai kerap tak punya kuasa atas dirinya sendiri, misalnya dijual oleh orangtuanya demi meraih jabatan tertentu, atau karena orangtuanya tak punya kuasa untuk menolak permintaan majikannya.

Salah seorang penulis Belanda yang bernama H. Kommer sempat menulis fenomena ini dalam kisahnya yang bertajuk “Tjerita Nji Paina: Satoe Anak Gadis jang Amat Setia. Satoe Tjerita Amat Indahnja, jang Belon Sebrapa Lama Soedah Terdjadi di Djawa Wetan”. Novel ini pertama kali diterbitkan oleh A. Veit & Co. di Batavia pada tahun 1900.

Alkisah, di Desa Purwo, Jawa Timur, Niti Asmodjo tinggal. Juru tulis pabrik gula ini hidup bersama istri dan anak-anaknya di sebuah rumah yang letaknya di bawah bukit, dekat sungai yang airnya tak dalam.

Ia mempunyai beberapa orang anak laki-laki dan perempuan. Salah seorang anak perempuannya bernama Paina yang memiliki paras cantik dan sejak usia dini telah dinikahkan dengan lelaki dari keluarga terpandang di desanya.

Suatu hari, pabrik gula tempat Niti Asmodjo bekerja kedatangan seorang Administratur baru yang bernama Tuan Briot. Tuan baru ini menghendaki Niti Asmodjo untuk memegang kas kecil selain sebagai juru tulis, karena ia gajinya dianggap terlalu besar sementara pekerjaannya tak seberapa.

Mau tak mau tambahan pekerjaan itu diemban juga. Niti Asmodjo yang sebelumnya tidak pernah memegang uang, amat hati-hati mencatat semua pengeluaran dan bekerja lebih keras.

Tuan Briot yang mengubah banyak peraturan di pabrik gula tempatnya bekerja, adalah orang yang gemar minum sopi dan doyan perempuan elok. Berahinya cepat menjompak jika melihat perempuan berparas cantik. Suatu sore, ia melihat Paina, saat anak Niti Asmodjo itu bersama beberapa perempuan lain berjalan di depan rumah Briot.

“Kerna Nji Paina amat tjantiknja, koelitnja langsep dan ramboetnja patah majang, teroerei-oerei di tioep angin, maka toean Briot lantas jatoh birahi, dan tiada dapet menahan hatinja lagi, sahingga ia mengeloearkan soeara seperti satoe babi roesa iang baroe mendapet makanan di oetan,” tulis H. Kommer menggambarkan Briot saat melihat Paina.

Suara Briot yang menyerupai babi saat melihat Paina rupanya didengar oleh Ma Baira, yang waktu itu mendampingi Paina. Kejadian itu lantas ia ceritakan kepada orang-orang kampung sehingga tersebar luas. Anak-anak lantas sering sering berteriak, “celeng, celeng!” sambil tertawa.

Saat bekerja, Niti Asmodjo sering dipanggil Briot ke ruangannya. Saat itulah ia lalai dengan membiarkan tempat menyimpan uang terbuka, sehingga mandor kuli sering mencuri sebagian uang tersebut.

Kejadian ini akhirnya diketahui oleh Briot dan dijadikan celah untuk menekan Niti Asmodjo agar memberikan Paina kepada dirinya. Karena diancam untuk mengganti uang yang hilang dan akan dikeluarkan dari pabrik gula, Niti Asmodjo akhirnya menuruti keinginan Briot.

Paina yang kemudian mengetahui rencana tersebut langsung gundah. Ia membenci Briot. Sebelum hari untuk menjadi nyai tiba, ia terus berpikir dan akhirnya merencanakan akan menghabisi Briot dengan cara menularkan penyakit yang waktu itu tengah berjangkit di desanya.

“Adapoen Nji Paina soedah ambil kepoetoesan. Sering kali ia dapet dengar dari ayahnja dan dari orang-orang lain kaloe satoe orang iang waras dateng bertjampoer orang pada iang sakit tjatjar, penjakit itoe nanti mendjangkit dan menoelar padanja. Maka Nji Paina soedah tetapken atinja aken bikin mati toean Briot dengan djalan iang sedemikian,” tulis H. Kommer.

Maka, ia pun pergi menemui anak-anak kampung yang terserang cacar, memegang dan menciumi mereka. Setelah itu, Paina pergi ke rumah Briot yang langsung disambut Administratur itu dengan penuh berahi.

Beberapa hari setelah itu, Briot terserang cacar samai akhirnya meninggal dunia. Sementara Paina, meski menderita cacar, ia cepat sembuh. Wajahnya yang menjadi bopeng tak menghalangi seorang karyawan baru pabrik gula untuk menikahinya. Dan mereka akhirnya hidup bahagia.

Anomali H. Kommer

Cerita Nyi Paina yang dikarang H. Kommer menunjukkan sikapnya sebagai orang Belanda yang mengkritik penjajahan. Pemilihan pabrik gula sebagai salah satu latar kejadian merupakan simbol eksploitasi kolonialisme waktu itu.

Briot sang Administratur yang menekah Niti Asmodjo demi mendapatkan Paina, tak hanya menunjukkan kekuasaan dirinya, tapi juga menunjukkan kekuasaan Belanda dalam struktur sosial masyarakat terjajah.

Rakyat tak bisa melawan. Niti Asmodjo dan Paina sama-sama tak berdaya dihadapkan pada keinginan Briot sebagai pemegang kuasa. Hanya alam akhirnya yang berhasil membantu mereka dalam menentukan hidup selanjutnya, yakni wabah cacar.

“Kekuasaan di tangan orang-orang berhati busuk dan hanya memikirkan keuntungan dagang ini akhirnya bisa dirobohkan dengan penyakit cacar. Penyakit ganas ini tak menghitung si penguasa atau si tertindas, dan Paina berhasil meminjam kekuasaan penyakit ini buat membinasakan si penguasa yang lalim,” tulis Jakob Sumardjo dalam Kesusastraan Melayu Rendah Masa Awal (2004)

Keberpihakan H. Kommer sebagai pengarang, menurut Pramoedya Ananta Toer dalam Tempo Doeloe: Antologi Sastra Pra Indonesia (2003), adalah sebuah sikap yang maju di zamannya, sebab masa itu kekuasaan Belanda amat kuat, dan setiap gerakan perlawanan pribumi ditumpas dan dianggap sebagai pemberontakan.

“Mengherankan untuk masanya adalah H. Kommer dengan tulisannya ‘Nji Paina’ yang dapat dikatakan telah bersikap anti-kolonial. Sikapnya dapat dinilai sangat maju untuk masanya dan karenanya patut mendapatkan perhatian yang cukup luas dalam penelaahan sosial dan politik,” tulis Pram.

Di luar hal tersebut, H. Kommer juga berusaha menyebarkan cerita karangannya agar tersebar luas. Ini bisa dilihat dari judul lengkap kisah Nyi Paina yang menggunakan kalimat “jang Belon Sebrapa Lama Soedah Terdjadi di Djawa Wetan”.

Dalam catatan Jakob Sumardjo, penulisan cerita yang didasarkan pada kejadian nyata memang banyak dilakukan penulis masa itu. Tujuannya adalah agar calon pembaca tertarik dan membeli bukunya.

Sebagai contoh, karya H. Kommer lain yang berjudul Cerita Nyonya Kong Hong Nio (1900) ditambahi degan keterangan “Satoe Tjerita jang amat loetjoe, Indah dan ramai dan Betoel Soedah Kedjadian”. Atau ada juga kisah dari Bandung tentang percintaan terlarang kalangan Tionghoa yang bertajuk Rasia Bandoeng (1918), yang juga dikasih keterangan “Satoe Tjerita jang Benar Terdjadi di Kota Bandoeng dan Berakhir pada Tahon 1917”.

Infografik Nyi Paina

Meski Kommer mengklaim cerita Nyi Paina sebagai kejadian nyata, Jakob Sumardjo meragukannya. Menurutnya, plot cerita seperti kisah Nyi Paina mirip dengan cerita-cerita di Eropa, dan kemungkinan H. Kommer hanya “men-Indonesia-kan”. Selain itu, kisah dengan plot seperti ini terdapat juga di India dan Perancis, hanya saja alat untuk menghabisinya bukan cacar tapi sipilis atau raja singa.

“Nampaknya cerita ini memang hanya fiktif. Ia tidak diambil dari laporan pengadilan seperti biasanya cerita semacam ini yang ditulis pada zaman itu. Embel-embel bahwa cerita ini belum lama terjadinya di Jawa Timur, kiranya hanya memenuhi tuntutan dagang belaka, bahwa cerita yang laku pada waktu itu adalah cerita yang berdasarkan kejadian yang sesungguhnya,” tulisnya.

Di luar hal tersebut, kisah Nyi Paina menjadi salah satu gambaran tentang nyai yang tak selamanya tak berdaya, seperti ditulis Tineke Hellwig dalam Citra Kaum Perempuan di Hindia Belanda (2007) yang menulis bahwa seorang nyai “tak punya hak apa pun, tidak punya hak atas anaknya, pun tidak atas posisinya sendiri."

Paina, seperti juga Nyai Ontosoroh dalam Tetralogi Buru karya Pramoedya Ananta Toer, mampu keluar dari cengkeraman tuannya dan menentukan jalan hidupnya sendiri. Ia juga seperti Nyai Dasima, yang meskipun akhirnya tewas dibunuh dan mayatnya dibuang ke sungai, tapi setidaknya ia sempat memegang kendali hidup saat tinggal bersama dan saat memutuskan untuk meninggalkannya tuannya.

“Nyai menempatkan diri seakan-akan macan betina yang garang: keras, tegas, pintar, dan memiliki harga diri yang tidak luluh oleh penindasan. Pendek kata, Nyai adalah manusia dengan pribadi yang mengagumkan,” tulis Koh Young Hun dalam Pramoedya Menggugat: Melacak Jejak Indonesia (2011).

Baca juga artikel terkait PENJAJAHAN BELANDA atau tulisan lainnya dari Irfan Teguh

tirto.id - Humaniora
Penulis: Irfan Teguh
Editor: Maulida Sri Handayani