Menuju konten utama

GUSDURian Bela Ismail Ahmad: Polisi Gagal Paham Watak Humoris Warga

GUSDURian mengecam perlakuan polisi yang menangkap Ismail Ahmad terkait guyonan Gus Dur mengenai "tiga polisi jujur."

Koordinator Jaringan Gusdurian Alissa Wahid memberikan pemaparan saat acara Dialog Kebangsaan Seri V bertajuk Mengokohkan Bangsa: "Merawat Patriotisme, Progresivitas dan Kemajuan Bangsa" di Stasiun Tugu Yogyakarta, Selasa (19/2/2019). ANTARA FOTO/Andreas Fitri Atmoko.

tirto.id - Koordinator Nasional Jaringan GUSDURian, Alissa Wahid, mengecam perlakuan polisi terhadap seorang warga bernama Ismail Ahmad di Kepulauan Sula, Provinsi Maluku Utara, yang sempat diciduk dan diminta klarifikasi terkait guyonan Gus Dur mengenai "tiga polisi jujur."

Sebagai salah satu putrinya, Alissa mengatakan Gus Dur merupakan Presiden RI keempat yang biasa menyampaikan kritik melalui lelucon.

"Humor ‘tiga polisi jujur’ adalah salah satu yang paling terkenal. Dalam humor tersebut, Gus Dur menyebut hanya ada tiga polisi jujur, yaitu patung polisi, polisi tidur, dan Hoegeng. Hoegeng merupakan Kepala Kepolisian RI yang menjabat pada tahun 1968-1971 dan dikenal sebagai polisi yang sederhana," kata Alissa lewat keterangan tertulisnya yang diterima Tirto, Kamis (18/6/2020) pagi.

Alissa mengutip salah satu buku karya AS Hikam, Gus Durku, Gus Dur Anda, Gus Dur Kita (2013), yang menjelaskan bahwa humor tersebut pertama kali didengar olehnya pada 2008 ketika penulis bertamu ke rumah Gus Dur. Pada saat itu terjadi beberapa skandal korupsi besar di antaranya BLBI (Rp600 triliun) dan Bank Century (Rp6,7 triliun) yang menyeret sejumlah institusi negara, termasuk Polri.

"Humor tersebut merupakan bentuk sindiran sekaligus kritik agar Polri bisa bekerja lebih baik. Terutama setelah lembaga tersebut dipisahkan dari ABRI saat Gus Dur menjabat sebagai presiden," kata Alissa.

Kata Alissa, mengutip Gus Dur, rasa humor yang muncul di keseharian masyarakat mencerminkan daya tahannya yang tinggi di hadapan semua kepahitan dan kesengsaraan. Kemampuan untuk menertawakan diri sendiri adalah petunjuk adanya keseimbangan antara tuntutan kebutuhan dan rasa hati di satu pihak dan kesadaran akan keterbatasan diri di pihak lain.

"Menjadikan humor sebagai ‘barang bukti’ kasus pencemaran nama baik institusi adalah bentuk kegagalan memahami watak masyarakat Indonesia yang humoris," katanya.

Kendati kasus tersebut tidak diproses karena Ismail bersedia meminta maaf, namun Alissa menilai pemanggilan terhadap Ismail oleh Polres Sula adalah bentuk intimidasi institusi negara terhadap warganya. Hal tersebut menambah catatan upaya menggunakan UU ITE sebagai instrumen untuk membungkam kebebasan berpikir dan berpendapat di Indonesia.

Alissa justru mengapresiasi Ismail Ahmad yang menggunakan hak konstitusionalnya sebagai warga negara dengan cara mengekspresikan dan menyatakan pendapatnya melalui platform media sosial.

Atas nama Jaringan GUSDURian, Alissa mendesak aparat penegak hukum untuk tidak mengintimidasi warga negara yang mengekspresikan dan menyatakan pendapat melalui media apapun.

"Kebebasan berekspresi dan menyatakan pendapat adalah hak konstitusional yang wajib dilindungi oleh aparat penegak hukum. Penggunaan Pasal 45 ayat (3) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tidaklah tepat karena pasal pencemaran baik hanya berlaku untuk subjek perseorangan, bukan terkait dengan lembaga apalagi pemerintah," kata Alissa.

Tak hanya itu, Alissa juga mendesak DPR RI untuk mengevaluasi, merevisi, dan/atau bahkan menghapus UU ITE yang sering disalahgunakan untuk membungkam kebebasan berpendapat dan berekspresi di Indonesia.

"Kami juga mengajak kepada seluruh GUSDURian dan masyarakat Indonesia untuk terus mendukung iklim demokrasi yang sehat, salah satunya dengan terus membuka ruang kritik yang membangun tanpa merasa terancam," katanya.

Ismail Ahmad (41) warga Kabupaten Kepulauan Sula, Provinsi Maluku Utara, tak menyangka dipanggil polisi gara-gara mengunggah lawakan dari Presiden Ke-4 RI Abdurrahman Wahid alias Gus Dur yang populer di masyarakat.

"Buat jadi pelajaran saya. Buat saya dan semua kalau posting itu kutip saja, saya rasa belum aman," kata Ismail kepada Tirto, Rabu (17/6/2020).

Panggilan polisi itu berawal dari unggahannya di Facebook, pada Jumat (12/6/2020) pekan lalu. Saat itu Ismail sedang membaca artikel tentang Gus Dur di sebuah situs web internet. Selanjutnya, ia mendapati kutipan dari mantan ketua umum Nahdlatul Ulama, salah satu ormas Islam terbesar di Indonesia, lalu menulisnya di Facebook.

"Hanya ada tiga polisi jujur di Indonesia: patung polisi, polisi tidur, dan Jenderal Hoegeng," tulis Ismail di akun Facebook-nya.

Ismail mengaku menulis itu karena lawakan itu lucu dan menginspirasi. Ia tidak ada niat untuk mencemarkan nama baik institusi Polri.

Kapolres Kepulauan Sula AKBP Muhammad Irvan menyatakan pemanggilan Ismail Ahmad, pengunggah guyonan Gus Dur di media sosial, hanya untuk klarifikasi perkara.

“Yang bersangkutan kami panggil untuk klarifikasi tentang niat atau mens rea mengunggah hal tersebut," kata Irvan ketika dihubungi reporter Tirto, Rabu (17/6/2020).

Berdasar pemeriksaan, motif Ismail yakni hanya iseng saja dan suka mengutip pernyataan tokoh.

“Dan yang bersangkutan minta maaf jika hal tersebut menyinggung institusi Polri, sehingga kami adakan press release untuk [Ismail] minta maaf. Sebagai pembelajaran di masyarakat agar lebih bijak di media sosial, setelah itu yang bersangkutan pulang," jelas Irvan.

Baca juga artikel terkait KEBEBASAN BERPENDAPAT atau tulisan lainnya dari Haris Prabowo

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Haris Prabowo
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Maya Saputri
-->