Menuju konten utama

Gunting Uang ala Menkeu Syafruddin demi Atasi Krisis Ekonomi

Menteri Keuangan (Menkeu) Syafruddin Prawiranegara menerapkan dua terobosan berani untuk menghadapi krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada 1950.

Gunting Uang ala Menkeu Syafruddin demi Atasi Krisis Ekonomi
Ilustrasi Mozaik Kebijakan Gunting Uang. tirto.id/Nauval

tirto.id - Belum lama merdeka sepenuhnya setelah pengakuan kedaulatan oleh Belanda pada 1949, Indonesia nyaris bangkrut akibat krisis keuangan.

Perekonomian nasional masih labil. Rangkaian perang sekaligus perundingan sejak 1945 hingga 1949 menelan biaya yang tidak sedikit, terlebih untuk negara yang belum sepenuhnya tegak berdiri. Sejumlah pemberontakan dan kerusuhan kian membuat stabilitas politik, sosial, ekonomi, serta pertahanan dan keamanan terguncang.

Negara mengalami defisit yang tinggi karena tumpukan utang yang semakin besar. Akibatnya, harga-harga barang kebutuhan pokok melambung, daya beli masyarakat anjlok dan terus menurun, mata uang nasional semakin melemah.

Simalakama Negara Berdaulat

Hasil Konferensi Meja Bundar (KMB) ibarat pedang bermata dua bagi Indonesia. Di satu sisi, Belanda bersedia memberikan pengakuan kedaulatan secara penuh. Tapi di sisi lain, Indonesia harus menanggung utang yang teramat besar.

Dalam Ekonomi Indonesia (2017), Boediono memaparkan bahwa hasil KMB antara Indonesia dan Belanda di bidang ekonomi dituangkan dalam Kesepakatan Ekonomi Keuangan (Financial-Economic-Agreement) yang ternyata memberatkan pihak republik.

Sesuai kesepakatan itu, Indonesia harus menanggung utang pemerintah Hindia Belanda sebesar 1,13 miliar dolar AS, membiayai 17 ribu karyawan eks Belanda selama 2 tahun, serta menampung 26 ribu tentara mantan KNIL. Selain itu, pemerintah Indonesia perlu meminta persetujuan Belanda sebelum menerapkan kebijakan ekonomi tertentu, misalnya nasionalisasi.

Sebagai negara yang baru saja berdiri secara resmi, perekonomian Indonesia sudah harus dihadapkan pada kenyataan bahwa kondisi sarana dan prasarana produksi mengalami kerusakan berat akibat perang. Birokrasi pemerintahan Indonesia juga jauh dari mapan dan belum berjalan dengan baik.

Pemerintah Indonesia semakin terbebani oleh tuntutan masyarakat yang mengharapkan perbaikan kehidupan. Masih menurut Boediono, kalangan elite sudah tidak sabar lagi untuk menjadi pemegang kendali utama ekonomi nasional (hlm. 87).

Situasi ini membuat perekonomian nasional langsung goyah hanya beberapa pekan setelah pengakuan kedaulatan. Redi Rachmat dalam Tantangan dan Rongrongan Terhadap Keutuhan dan Kesatuan Bangsa (1992, hlm. 19) mencatat, Indonesia saat itu mengalami defisit hingga 5,1 miliar rupiah.

Selaku Menteri Keuangan Republik Indonesia Serikat (RIS, nama Indonesia kala itu) di Kabinet Hatta II, Syafruddin Prawiranegara menyadari bahwa tanpa terobosan untuk menghadapi krisis, kondisi akan semakin memburuk, bahkan bisa berakhir fatal.

Maka, Syafruddin—tokoh asal Sumatera Barat yang pernah memimpin Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Bukittinggi setelah ibu kota RI di Yogyakarta diduduki Belanda—merancang kebijakan ekonomi yang cukup mengejutkan dan terbilang nekat.

Kebijakan Gunting Syafruddin

Ada tiga jenis mata uang yang beredar di Indonesia saat itu, yakni mata uang peninggalan pemerintah kolonial Hindia Belanda yang dikeluarkan oleh De Javasche Bank, mata uang yang digunakan ketika NICA (Belanda) berada di Indonesia pasca-kemerdekaan atau selama masa revolusi fisik, serta Oeang Republik Indonesia (ORI).

Ketiga jenis mata uang ini bisa dipakai untuk alat pembayaran dan beredar dalam jumlah besar. Tentu saja, peredaran uang yang tidak sebanding dengan ketersediaan barang mengakibatkan harga melambung, belum lagi beban utang dan tingkat inflasi yang semakin tinggi.

Untuk menyeimbangkan antara jumlah uang yang beredar dan ketersediaan barang, Menkeu RIS menerapkan kebijakan yang cukup ekstrem, yakni gunting uang, dalam arti yang sebenar-benarnya.

Dijelaskan dalam buku Rupiah di Tengah Rentang Sejarah: 45 Tahun Uang Republik Indonesia 1946-1991 (1991) terbitan Departemen Keuangan, kebijakan yang dikenal dengan istilah Gunting Syafruddin itu menjadi kebijakan moneter paling fenomenal selama periode ekonomi liberal di Indonesia (hlm. 13).

Melalui Surat Keputusan Menteri Keuangan RIS Nomor PU/I tanggal 19 Maret 1950, dikutip dari buku Uang Republik Indonesia (2003) yang diterbitkan Arsip Nasional Republik Indonesia, kebijakan Gunting Syafruddin bersiap untuk segera diberlakukan (hlm 114).

Kebijakan ini resmi diterapkan sejak tanggal 10 Maret 1950 mulai pukul 20.00 WIB atau tepat hari ini 70 tahun lalu. Penerapannya hanya untuk uang De Javasche Bank dan uang NICA atau yang saat itu dikenal dengan istilah “uang merah”. Sementara untuk ORI, aturan gunting uang tidak berlaku untuk meminimalisir kebingungan masyarakat menengah ke bawah.

Penerapannya, uang De Javasche Bank dan NICA pecahan 5 gulden ke atas, digunting—benar-benar dipotong dengan gunting—tepat di bagian tengahnya menjadi dua. Guntingan sebelah kiri tetap berlaku sebagai alat pembayaran yang sah dengan nilai setengah dari jumlah semula. Dalam jangka waktu yang ditentukan, guntingan sisi kiri ini harus ditukarkan ke bank-bank atau tempat-tempat tertentu dengan uang baru.

Sedangkan guntingan yang sebelah kanan, tulis Datta Wardhana dalam buku Membangun Ekonomi Nasional (2004), bisa digunakan sebagai alat pinjaman berupa obligasi, juga bernilai setengah dari nominal semula, dengan bunga 3 persen setahun (hlm. 199). Obligasi ini nantinya akan diganti atau dibeli oleh pemerintah. Dengan kata lain, guntingan uang bagian kanan dimaksudkan untuk investasi jangka panjang.

Infografik Mozaik Kebijakan Gunting Uang

Infografik Mozaik Kebijakan Gunting Uang. tirto.id/Nauval

Selain untuk membatasi peredaran uang, aturan ini tampaknya juga dimaksudkan untuk mengurangi atau bahkan meniadakan mata uang keluaran Belanda. Uang ORI yang nantinya menjadi rupiah dipersiapkan sebagai mata uang satu-satunya di negara Republik Indonesia.

Sebagaimana tertulis dalam buku Profil Pembangunan Indonesia 50 Tahun Merdeka (1995) terbitan Center for Information and Development Studies, kebijakan gunting uang ala Menteri Keuangan Syafruddin Prawiranegara ini dijadwalkan berlaku hingga 9 Agustus 1950 pukul 20.00 WIB (hlm. 30).

Krisis Ekonomi Dapat Diatasi

Ada satu lagi terobosan yang dilakukan Menkeu Syafruddin dalam upaya menghadapi krisis keuangan yang dialami Indonesia pada dekade 1950-an itu selain gunting uang, yakni Sertifikat Devisa.

Sertifikat Devisa, tulis Beng To Oey dalam Sejarah Kebijaksanaan Moneter Indonesia Volume 1 (1991), sebenarnya sudah diterapkan mulai 13 Maret 1950 atau sepekan sebelum pemberlakuan aturan gunting uang (hlm. 200). Kebijakan ini dimaksudkan untuk mendorong ekspor dan menekan impor.

Selain memperoleh uang senilai harga barang, eksportir juga akan memperoleh Sertifikat Devisa sebesar 50 persen dari harga ekspornya. Sebaliknya, importir wajib membeli Sertifikat Devisa dengan nilai sebesar harga barang yang akan diimpor ke Indonesia. Besaran nilai Sertifikat Devisa disesuaikan dengan kurs yang ditetapkan oleh pemerintah yang diselaraskan dengan perkembangan pasar atau tanpa mengubah kurs resmi.

Kebijakan Sertifikat Devisa tak pelak memantik pro-kontra, khususnya dari kalangan importir yang protes. Namun, Syafruddin tetap bersikukuh dengan kebijakannya itu lantaran tidak ingin masyarakat, terlebih dari kalangan pengusaha lokal, petani, peternak, nelayan, dan seterusnya, terpuruk gara-gara digampar barang-barang impor.

Kontroversi juga mengiringi kebijakan gunting uang. Beberapa pihak dan lawan politik Syafruddin, termasuk Partai Komunis Indonesia (PKI), mengolok-olok kebijakan yang dinilai tidak populis itu.

“Pengguntingan uang dalam permulaan 1950 selalu dijadikan bahan agitasi dan cemoohan dari pihak PKI,” sebut Syafruddin dalam “Membangun Kembali Ekonomi Indonesia” pada 1966, dikutip dari tulisan Sobih AW Adnan di portal Metrotvnews (2016).

Namun, Syafruddin memang sudah yakin sejak awal bahwa dua terobosannya itu akan menuai hasil positif di kemudian hari. Bahkan, menurutnya, kebijakan gunting uang dan Sertifikat Devisa jauh lebih baik ketimbang kebijakan-kebijakan moneter Indonesia di masa-masa setelahnya.

Diuraikan dalam buku Gaptek dan Gupsos: Menuju Generasi Indonesia Bisa! (2014) karya Kusmayanto Kadiman, Syafruddin menyatakan bahwa dua kebijakannya itu akan memberikan banyak faedah: mengurangi varian uang yang beredar dan masih berbau penjajah, membatasi dan sekaligus menekan laju inflasi, menurunkan harga komoditas pokok, serta menambah pemasukan pemerintah (hlm. 326).

Prediksi dan perhitungan Syafruddin memang terbukti tepat. Mata uang negara menguat dengan relatif cepat dan mampu menekan kenaikan harga barang-barang kebutuhan pokok. Hebatnya, itu terjadi dalam waktu kurang dari satu tahun.

Tak hanya itu, pemerintah juga memperoleh pemasukan yang signifikan, dari yang semula 1,871 miliar rupiah naik berlipat-lipat menjadi 6,990 miliar rupiah. Bahkan, pada 1951, pemerintah sudah mampu menasionalisasi De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia.

Berkat manuver berani Syafruddin Prawiranegara—yang kemudian justru dituding membelot lantaran dianggap mendukung Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI)—krisis ekonomi yang mengancam kehidupan negeri dapat diatasi.

Baca juga artikel terkait KRISIS EKONOMI atau tulisan lainnya dari Iswara N Raditya

tirto.id - Ekonomi
Penulis: Iswara N Raditya
Editor: Windu Jusuf