Menuju konten utama
Misbar

Guardians of the Galaxy Vol. 3 Menuju Langit Tak Terhingga

Aman untuk menyebut Guardians of the Galaxy Vol. 3 film paling membekas di antara deretan judul terkini MCU. Tersukses untuk urusan mengucurkan air mata.

Guardians of the Galaxy Vol. 3 Menuju Langit Tak Terhingga
Marvel Studios Guardians of the Galaxy. youtube/ Marvel Entertainment

tirto.id - Guardians of the Galaxy Vol. 3 mengambil waktu beberapa tahun setelah peristiwa di Endgame. Ia menjadi film kedua dalam Fase 5 Marvel Cinematic Universe (MCU), sekalian menjadi penutup trilogi saga yang dimulai pada 2014.

Proyek terakhir James Gunn untuk MCU sebelum berlaku sebagai kepala kreatif DC Studios ini juga mengambil waktu selepas The Guardians of the Galaxy Holiday Special yang dirilis akhir 2022 lalu—di mana Guardians menempati rumah baru, mendapati anggota baru, dan hubungan darah anggotanya disingkap.

Kini, para begajulan multispesies itu kembali. Dari regu dan karakter yang terbilang obskur menjadi bagian dari A-list Marvel, sukses besar dan dicintai khalayak, serta yang terpenting membuat kita peduli pada rakun dan pohon yang bisa berbicara.

Gembar-gembor besar menyertai setiap kemunculannya. Ragam antisipasi dan teori merebak liar pada tiap kelanjutannya, seperti yang terkini, diiringi rumor kematian Rocket Racoon dan/atau Star-Lord.

Masih GotG, Masih Gunn

Nyatanya, Gotg Vol. 3 memang “Rocketsentris”. Ia jadi sebentuk perpisahan Gunn terhadap saga dan sederet karakter yang dia tukangi satu dekade terakhir, lebih-lebih Rocket.

Sang sutradara mengerahkan segala triknya di sini. Dengan badass-nya gerak slo-mo para Guardians yang mengingatkan kita pada kerennya superhero, dengan sederet aksi dan komedi. Sebuah space opera dengan warna-warna menyala dan estetika desain yang liar, terutama desain Orgoscope serta pakaian para penghuninya. Pastinya, masih diiringi pilihan musik yang mencolok.

Tembang Creep oleh Radiohead bisa jadi salah satu lagu paling overplayed sepanjang masa. Kini, nomor itu sepenuhnya terdengar segar ketika dijadikan pembuka film. Terdapat lebih banyak pilihan lagu dari 3-4 dekade silam yang membuat setiap adegannya terasa “filmnya Gunn”; lagu-lagunya Spacehog, The Beastie Boys, Heart, hingga yang lebih dekat seperti Florence + The Machine yang diberdayakan sebagai ekstensi para karakter maupun plot.

Langkah-langkah yang diambil Gunn masih menyatakan sang sutradara sebagai yang terbaik dalam menangani penceritaan tim semacam ini (Guardians maupun Suicide Squad). Narasi yang Rocketsentris tak menjadikannya menepikan sejumlah aktor lain dengan karakter masing-masing.

Peter Quill alias Star-Lord (Chris Pratt) sedang berada dalam situasi terendahnya: kehilangan kekasih dan kini di ambang kehilangan teman terbaiknya. Gamora kini hadir sebagai karakter yang belum mengenal rekan-rekan Guardiansnya, juga dibawakan dengan segar oleh Zoe Saldana.

Duet Drax (Dave Bautista) dan Mantis (Pom Klementieff) kian sahih sebagai pencetus humor di banyak segmen. Groot (Vin Diesel) barangkali yang jadi agak terpinggirkan. Namun itu bisa dimaklumi karena si pohon sentien kini tumbuh besar, tak lagi butuh banyak perhatian lebih. Yang pasti, dia tak lagi ditugaskan sekadar jadi maskot grup.

Justru Nebula (Karen Gillan), yang meski masih menilai individu lain dari kapabilitasnya, kini lebih menunjukkan sisi emosionalnya. Dia lebih proaktif menggerakkan tim saat para pemimpin mereka lebih sering mabuk. Perkembangannya paling terasa dan justru penting untuk disorot mengingat statusnya sebagai karakter yang paling akrab dengan Rocket, tatkala seluruh teman mereka dilenyapkan Thanos.

Bradley Cooper kian gemilang dalam menyuarakan Rocket, tapi jangan lupakan Sean Gunn. Tak hanya sebagai Kraglin si karakter sampingan seperti sebelumnya, dia kini kebagian peran krusial sebagai penerus Yondu. Lain itu, dia juga kebagian memerankan gerak-gerik dan ekspresi si rakun.

Mereka dihadapkan pada villain seperti High Evolutionary yang “benar-benar villain”, yang dimainkan dengan jitu oleh Chukwudi Iwuji. Kebiasaan Marvel belakangan, dalam membuat villain mereka menyerupai antivillain atau minimal punya poin dan latar yang bisa dipertimbangkan, barangkali turut mendorong High Evolutionary menjelma jenis villain yang lama dirindukan.

Mudah untuk membuat High Evolutionary jadi durjana, bukan hanya dengan klise genosida sebagai sosok yang bermain sebagai tuhan dan menciptakan utopia versinya, tapi juga karena dia sosok penyiksa hewan.

Di sanalah hati GotG Vol. 3, kisah heist/caper yang bertujuan menghentikan seorang penyiksa hewan, penyelamatan makhluk-makhluk tak berdosa yang dijadikan subjek eksperimen. Ini Okja-nya Marvel, dengan tribut untuk Laika (salah satu hewan yang dikirim manusia ke luar angkasa dan tak pernah kembali), dengan dorongan untuk bergegas mendekap erat hewan peliharaanmu di rumah sekembalinya kau dari bioskop.

Kendati kian muram, komedi masih menjadi sifat utama film. Satu waktu, Quill tak sungkan membunuh karakter bernama Recorder Theel—tangan kanan High Evolutionary yang digambarkan bengis terhadap Rocket dan hewan-hewan lain. Itu momen yang memberi level keseriusan baru pada kapten Guardians, yang sebetulnya dilatari adu argumen kocak dengan Drax yang hendak membunuh, setidaknya "satu orang tolol yang tak dicintai siapa pun."

Selebihnya, berpencar humor yang lebih cerah dan ringan. Baik itu penjelasan sekenanya Quill ihwal tetap hidupnya Gamora pasca Endgame atau bahkan konyolnya referensi pada lukisan “Penciptaan Adam” karya Michelangelo tatkala Adam Warlock menyelamatkan Quill.

Trilogi GotG memang selalu lucu dan komikal di permukaan, tapi Gunn sejatinya selalu menyisakan ruang untuk poin plot yang sentimental. Kali ini, keduanya bertumbukan. Kelucuan dan kepedihan jadi berimbang, benar-benar terasa seperti roller coaster emosi. Satu momen mengenaskan segera teralihkan dengan humor, begitu pun sebaliknya.

Saya menyukai regu berawak sejumlah individu aneh lagi bengal, menikmati dinamika antarkarakter yang tak biasa. Para fan atau mereka dengan ekspektasi serupa tentu tak masalah dengan begitu cepatnya tone dan emosi film berubah. Mereka akan tetap menanti setiap momennya berganti.

Komposisi macam demikian bisa jadi membingungkan sebagian orang, mungkin untuk nonpenggemar dan penonton kasual. Narasinya bisa saja terasa bagai penceritaan yang kembung, begitu banyak yang terjadi pada satu waktu. Pergerakan plot yang mungkin menyulitkan untuk berfokus pada komponen terpenting GotG Vol.3, sisi emosionalnya.

Menemukan Diri dan Tempat di Galaksi

"Cerita ini selalu milikmu. Kau hanya tidak mengetahuinya," ujar Lylla kepada Rocket kala si rakun menjelang ajal.

Lylla si berang-berang, seperti halnya Teefs si walrus dan Floor si kelinci diangkat atau terinspirasi dari beberapa karakter dalam komik Marvel. Namun bagaimana ketiganya ditulis ulang menjelma pisau paling runcing di Gotg Vol. 3.

Para hewan antropomorfik subjek eksperimen gagal itu jadi elemen pedihnya backstory Rocket. Meraka jadi penyingkap bahwa kisah Guardians sebetulnya selalu tentang si rakun. Akhir kisah mereka yang tragis tak ubahnya muara di balik fasad keras yang ditampilkan Rocket selama ini, dan keengganannya menghadapi masa lalu serta luka-luka yang membentuknya.

Infografik Guardians Of The Galaxy

Infografik Guardians Of The Galaxy. tirto.id/Mojo

Lebih jauh, ini menerangkan polah Rocket yang terbiasa mencuri dan mengumpulkan benda-benda—selain berangkat dari karakteristik rakun betulan. Berkat kebiasaannya itu, Rocket mampu merakit kunci agar teman-temannya menghirup kebebasan, barang sebentar. Ini bisa jadi juga menjelaskan obsesinya pada bagian tubuh prostetik, entah itu kaki seorang napi atau tangan vibranium Bucky Barnes.

Untuk lucu-lucuan saja, ujarnya dulu. Kini, ulahnya punya arti berbeda. Benda-benda macam itu selalu menarik dalam alam bawah sadarnya lantaran mengingatkan pada teman-teman hewan semasa kecilnya yang dipaksa mengenakan benda-benda itu demi dapat berdiri dengan dua kaki.

Kegemasan wujud dan kemurnian pertemanan mereka semasa kecil rada mudah ditebak ke mana arahnya. Namun, itu tetap saja penceritaan yang mematahkan hati. Menggores Rocket dan penonton dalam-dalam. Bisa jadi, itulah bagian paling menyentuh sepanjang MCU.

Ini kisah yang (sebetulnya) selalu soal Rocket, juga senantiasa ihwal menemukan diri dan tempatmu di galaksi.

Kendatipun kali ini, perkara sense of belonging bisa menimbulkan rasa yang tak melulu nikmat. Tak ada ratapan kegagalan menghentikan High Evolutionary membinasakan planet [Counter-Earth], satu rumah besar berisikan makhluk dengan intelegensia, lantaran sibuknya cerita beralih.

Begitu pun kepergian para awak orisinal dari kru Guardians yang cukup tergesa. Satu-satunya kepergian yang terasa lengkap adalah kembalinya Drax sebagai figur ayah. Itu arc yang paripurna, mengingat kemunculannya dalam Vol. 1 sebagai sosok ayah yang keluarganya dihabisi Ronan. Sedangkan kepergian Quill dan Mantis, maupun beralihtugasnya Nebula, bisa dibaca sekadar pembuka jalan untuk kru Guardians anyar pimpinan Rocket.

Ah, ini hanyalah comic book movie, kan? Semua bisa datang dan pergi secepat Adam Warlock.

Cara masuknya sang "Superman emas" (telah disebut dalam post-credits scene Vol. 2 lalu) ke dalam cerita mungkin terasa kelewat dipaksakan. Namun seiring bergeraknya plot, kehadiran Adam Warlock muda terang sejalan dengan gagasan menemukan diri dan rumah di galaksi.

Satu sentuhan paling manis ialah bagaimana GotG juga menganggap para penonton sebagai bagian dari keluarga Guardians, ketika untuk pertama kalinya kita bisa memahami apa yang diucapkan Groot.

Menyediakan rumah yang harfiah sejak GotG Holiday Special lalu pun jadi perhitungan tepat. Knowhere sanggup menampung seluruh anak dan hewan yang diselamatkan Guardians dalam film ini. Tempat dengan desain dan denyut sevibran itu semestinya menjadi lokasi pesta—sebagaimana yang dihadirkan pada penutup trilogi ini.

Tempat yang sama akhirnya menjadi utopia yang sebenarnya. Di mana keberagaman dan ketaksempurnaan para penghuninya diterima, alih-alih penyeragaman intelektualitas dan kemampuan fisik seperti yang dicanangkan High Evolutionary.

Guardians of the Galaxy pada akhirnya tetap tak mampu menangani ancaman selevel Avengers atau Eternals (dalam konteks gagal menyelamatkan satu planet). Namun, menyelamatkan anak-anak dan hewan calon eksperimen setidaknya masih dalam koridor kapabilitas mereka. Demikian halnya menyediakan ruang aman untuk para outsider, sosok-sosok kalah dan terlantar dari seantero galaksi.

Akan menarik untuk melihat bagaimana kiprah Guardians of the Galaxy yang baru di bawah pimpinan Rocket dengan komposisi anggota yang menjanjikan berbagai kegilaan dan kelucuan, atau bagaimana mereka melaju ke langit tak terhingga di tangan orang-yang-bukan-Gunn. Untuk saat ini, kisah para penjaga galaksi tuntas dengan pantas.

Baca juga artikel terkait MCU atau tulisan lainnya dari R. A. Benjamin

tirto.id - Film
Penulis: R. A. Benjamin
Editor: Fadrik Aziz Firdausi