Menuju konten utama

Growth Hacking dan Cara-cara Cerdik Bertahan Hidup

Growth hacking adalah metode analitis dan kreatif untuk mendongkrak penjualan atau mengembangkan sebuah perusahaan.

Growth Hacking dan Cara-cara Cerdik Bertahan Hidup
Gerobak dorong pedagang roti keliling milik Komeng yang mangkal di depan JPO Ratu Plaza Jakarta Pusat. Komeng menyiasati penjualan rotinya dengan mengombinasikan air mineral. tirto.id/Hafitz Maulana

tirto.id - Seperti kebanyakan akhir pekan lainnya, pada Sabtu sore Ardi Wilda menyusuri Jalan Sudirman dengan sepeda. Pria berkacamata itu sejak beberapa tahun terakhir memang menjadikan sepeda sebagai kawan akrab. Dia kerap mengkritik Jakarta sebagai kota “car oriented city” yang membuatnya menjadi tak inklusif.

Sore itu, Awe, panggilan akrabnya, sadar: air minumnya sudah habis. Namun di Sudirman tak ada minimarket atau penjual air minum di pinggir jalan. Maka dia beralih mencari Starling, para penjaja kopi keliling yang kadang menjual air mineral. Nihil. Dia malah melihat seorang penjual roti Lauw di depan Ratu Plaza.

Lauw adalah salah satu merek roti legendaris di Jakarta, sudah ada sejak 1940-an. Bersama nama lain seperti Tan Ek Tjoan yang sudah ada sejak 1921, dua merek roti ini masih tetap berjualan di Jakarta dengan para armada bersepeda.

Sore itu Awe melihat sesuatu yang tak lazim di gerobak Lauw. Ada jejeran air mineral di sana. Selama tinggal di Jakarta nyaris 30 tahun, Awe tak pernah melihat ada penjual roti yang menjual air minum di gerobaknya.

Didorong rasa haus—dan penasaran—Awe pun membeli minum di penjual roti Lauw itu. Mereka berkenalan. Nama penjual roti Lauw ini adalah Komeng. Kalau pagi, dia mangkal di dekat Senayan City. Kalau sore, dia akan pindah berjualan di depan Ratu Plaza.

“Jadi saya jualan air mineral karena ada banyak pembeli roti saya nanya apa jual minum,” kata Komeng.

Menangkap peluang bisnis itu, akhirnya Komeng pun mulai berinisiatif menjual air mineral. Benar seperti dugaannya, dagangan air mineralnya laris. Setiap hari, dia bisa habis satu dus air mineral isi 24 botol.

“Kalau sedang akhir pekan, pas banyak orang berolahraga di seputaran Sudirman dan Senayan, saya bisa menjual hingga empat dus per hari,” ujarnya lagi.

Awe terkesan dengan inisiatif Komeng. Kemudian dia mencuit tentang Komeng di akun Twitternya, @ardiwilda.

Yang Awe tidak bayangkan adalah: cuitannya dibaca dan dicuit ulang banyak orang. Per 7 September 2021, cuitan Awe tentang Komeng sudah dicuit ulang sebanyak 5.400-an kali, dan disukai 16.700-an akun.

“Aku senang kalau menceritakan orang-orang seperti Bang Komeng. Biasanya kalau di Indonesia kan, kalau ngomongin ‘orang kecil’ pasti nadanya sedih dan kasihan. Aku ingin membicarakan bahwa ini ada orang kecil, tapi punya inovasi,” tutur Awe.

Starling dan Etos Kerja Madura

Agus, 32 tahun, tiba di Jakarta pada awal 2000-an. Sebelumnya ia sempat berdagang di kawasan Tanah Abang sebelum akhirnya pindah ke Cikini. FOTO/Faisal Irfani

Tentang Growth Hacking dan Aneka Siasat

Jika kamu Googling growth hacking, seperti yang Awe tulis untuk Komeng, maka kamu akan menemukan kalau istilah ini banyak dipakai untuk perusahaan teknologi rintisan (start up). Secara sederhana, growth hacking adalah metode analitis, kreatif, yang dipakai untuk mendongkrak penjualan ataupun mengembangkan sebuah perusahaan. Metode ini sering dipakai oleh mereka yang memang terhalang oleh modal atau pengalaman. Maka yang diandalkan adalah inovasi dan kreativitas, serta kejelian menangkap peluang.

Awe, yang sehari-hari bekerja di sebuah perusahaan teknologi, juga bilang bahwa istilah growth hacking sering wara-wiri antara para koleganya. Namun yang banyak dipakai sebagai contoh adalah perusahaan luar negeri.

“Kalaupun pakai contoh perusahaan di Indonesia, biasanya pakai contoh perusahaan teknologi yang sudah besar,” tutur Awe.

Starling dan Etos Kerja Madura

Mauwi, penjaja kopi asal Pamekasan, Madura, yang datang ke Jakarta pada 2018. Ia berjualan di sekitar Cikini dan Menteng. FOTO/Faisal Irfani

Awe mengaku belajar banyak dari orang-orang kreatif yang sering ditemuinya di jalanan, termasuk Komeng. Orang Indonesia, terutama pedagang, punya banyak siasat untuk berinovasi dan berkembang. Growth hacking ala mereka sering kali cerdik, licin, sekaligus sederhana, sehingga kerap luput disimak dan dipelajari.

Starling adalah salah satu konsep growth hacking yang bisa kita temui di jalanan. Mereka bisa menangkap peluang banyaknya orang di Jakarta yang suka minum kopi tapi isi dompet terbatas. Karena tak punya modal untuk sewa tempat, maka mereka memilih naik sepeda, keliling menjemput bola. Alih-alih menunggu pembeli kopi, mereka mendatangi kerumunan. Naik sepeda, selain murah, juga mobile dan membuatnya bisa pindah untuk mencari area yang ramai orang.

Siasat serupa juga dipakai oleh banyak orang. Kosim, misalkan. Seorang tukang cukur di kawasan Kemang Timur. Di masa pandemi sejak setahunan lalu, alih-alih menunggu pelanggan, dia membuka jasa pangkas rambut di rumah pelanggan. Selain itu, ada banyak tempat pangkas rambut yang mulai menjual berbagai macam produk perawatan rambut.

Siasat bertahan hidup “orang-orang kecil” ini pernah dibahas oleh Muhammad Hayat, dosen Sosiologi Universitas Muhammadiyah Malang. Dalam jurnal “Strategi Bertahan Hidup Pedagang Kaki Lima (PKL)”, Hayat menyebut ada beberapa cara yang dipakai oleh para PKL untuk mempertahankan diri.

Salah satunya adalah membentuk kelompok sosial dengan kesadaran kolektif dan entitas sosial yang seragam. Dengan membangun kelompok ini, mereka bisa mempunyai nilai-nilai bersama yang mereka pegang erat, saling bantu jika ada masalah atau keperluan. Contoh paling kecil: pedagang yang berkongsi dengan pedagang lain di kanan kirinya. Atau, yang lebih serius: berbentuk paguyuban.

Para pedagang starling, yang kebanyakan adalah orang Madura, mengelompok dan membuat apa yang kerap disebut sebagai tanean lanjhang, alias pekarangan panjang, sebagai metafora untuk rumah. Setiap bulan mereka membayar iuran, yang dipakai untuk mendanai berbagai acara atau keperluan kelompok. Mulai dari pengajian, makan-makan, hingga membiayai anggota komunitas yang sakit. Hal serupa juga dilakukan oleh para tukang pangkas rambut asal Garut yang membentuk Persaudaraan Pangkas Rambut Garut yang punya puluhan ribu anggota.

“Kesamaan budaya menjadikan ekspresi yang dimunculkan lebih cair. Hal ini disebabkan perasaan yang senasib akan bermuara pada semakin kokohnya bangunan kelompok sosial,” tulis Hayat.

Belakangan, para pedagang makin banyak yang melakukan growth hacking dengan cara digitalisasi produk. Mereka mulai memasarkan dagangan melalui media sosial, WhatsApp, juga marketplace. Bagi mereka yang tak punya modal, berjualan dari rumah menjadi pilihan. Dengan cerdik, mereka memakai aplikasi-aplikasi food delivery, untuk memasarkan barang dagangan.

Maka mungkin benar apa yang dibilang oleh Frank McCourt, penulis Angela’s Ashes. Di buku memoir yang meraih Pulitzer itu, Frank mengenang masa lalunya sebagai keluarga imigran Irlandia yang miskin, lengkap dengan ayah yang kecanduan alkohol. Di tengah kemiskinan itu, selalu muncul cara-cara untuk bertahan hidup—yang semuanya berbasis kemampuan observasi, kreativitas, kejelian menangkap peluang, dan kecerdikan. Dan cara-cara cerdik untuk bertahan hidup itu tidak pernah diajarkan di sekolah.

“Kamu mungkin miskin, sepatumu rusak, tapi ingat… akal dan pikiranmu adalah sebuah kerajaan.”

Baca juga artikel terkait PEDAGANG KECIL atau tulisan lainnya dari Nuran Wibisono

tirto.id - Mild report
Penulis: Nuran Wibisono
Editor: Ivan Aulia Ahsan