Menuju konten utama

Greta Thunberg di Antara Ancaman Perisakan dan Aktivisme Generasi Z

Greta Thunberg adalah wajah Generasi Z yang kritis, politis, dan vokal menyuarakan tuntutan untuk dunia yang lebih baik.

Greta Thunberg di Antara Ancaman Perisakan dan Aktivisme Generasi Z
Greta Thunberg menghadiri rapat umum 'Friday For Future' di Berlin, Jerman, Jumat, 29 Maret 2019. Ribuan siswa berkumpul di ibukota Jerman, bolos sekolah untuk ikut serta dalam aksi menuntut aksi melawan perubahan iklim. Michael Kappeler / dpa via AP

tirto.id - Bagi Greta Thunberg, perubahan iklim adalah hal yang berbahaya—dan ia tak lelah untuk menghentikannya. Senin (23/9) kemarin, di acara KTT Iklim yang diselenggarakan di Markas Besar PBB, New York, AS, Greta kembali bersuara. Kali ini, ia berang.

“Pesan saya [kepada para pemimpin dunia] adalah bahwa kami akan mengawasi kalian,” ucap Greta sembari menahan amarah.

“Aku seharusnya tidak berada di sini. Aku harus kembali ke rumah, ke sekolah … Tapi, kalian datang dan menyampaikan harapan untuk kami, anak-anak muda. Beraninya kalian! Kalian telah mencuri masa kecil dan impianku. Dan aku adalah salah satu yang beruntung. Orang-orang di seluruh dunia menderita dan mati. Dan yang kalian bicarakan adalah uang dan dongeng tentang pertumbuhan ekonomi. Beraninya kalian!”

Greta tak berhenti sampai situ. Ia kembali melanjutkan kritiknya: menyebut bahwa perubahan iklim tak dapat diselesaikan dengan hitung-hitungan bisnis dan menganggap para pemimpin dunia belum bisa memandang masalah ini secara lebih serius.

“Kami tidak akan membiarkan kalian lolos begitu saja. Di sini, saat ini, adalah momen di mana kita menarik garis. Dunia sedang bangun. Dan perubahan akan datang, tak peduli kalian suka atau tidak,” pungkasnya.

Ongkos Mahal Aktivisme: Persekusi

Kemarahan Greta di acara PBB seperti merangkum protes selama akhir September ini. Sebelumnya, pada 20 September, anak-anak muda di seluruh dunia memutuskan turun ke jalan untuk terlibat dalam demonstrasi menyoal perubahan iklim.

Sebagaimana diwartakan Vox, protes dilakukan di lebih dari 150 negara, dengan total acara mencapai 2.500. Rencananya, protes akan diselenggarakan selama seminggu penuh sampai 27 September dan diproyeksikan menarik ribuan orang.

Beberapa seruan yang dibawa ke protes antara lain desakan kepada negara-negara untuk beralih ke energi terbarukan, tuntutan untuk mematuhi Perjanjian Paris 2015, hingga tekanan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca.

“Jika kamu tak mau ikut demo, kamu tak perlu melakukannya,” terang Greta. “Tapi, aku pikir bila ada kesempatan untuk ikut, inilah waktunya.”

Sejak pertama kali menggebrak publik pada Agustus tahun lalu, nama Greta langsung melambung. Ia membuktikan bahwa aktivisme bisa dilakukan siapa saja, tak terkecuali oleh anak kecil seperti dirinya. Setiap Jum’at, ia rela membolos sekolah demi menyuarakan kegelisahannya atas perubahan iklim di depan Gedung Parlemen Swedia.

Dari yang semula kecil, aksi Greta lantas bikin banyak orang terinspirasi untuk melakukan hal yang sama. Berkat bantuan media sosial macam Facebook maupun Instagram, jumlah mereka yang turut dalam aksi pun melonjak sampai ribuan. Gerakan ini kemudian diberi nama “Friday for Future.”

Meski demikian, aktivisme yang ditempuh Greta dan anak-anak muda lainnya tak selamanya mulus. Laporan panjang BuzzFeed News berjudul “Teenage Girls Are Leading the Climate Movement — And Getting Attacked for It” yang disusun Zahra Hirji (2019) menjelaskan bahwa para aktivis muda ini kerap jadi korban perisakan, peretasan akun, doxing, pelecehan verbal, sampai yang terparah: ancaman pembunuhan.

“Serangan pribadi selalu menjadi bagian dari buku pedoman tentang penolakan perubahan iklim, bahkan ketika perusahaan bahan bakar fosil diam-diam mendanai kampanye dan peneliti untuk mempertanyakan konsensus ilmiah tentang perubahan iklim,” begitu tulis Zahra.

“Dan ketika penolakan perubahan iklim mulai mencerminkan kecenderungan gelap politik global, media sosial kemudian jadi senjata—dalam bentuk intimidasi, meme, serta disinformasi—untuk melemahkan kampanye lingkungan ini. Sekarang, targetnya jauh terlihat: anak-anak,” tambahnya.

Greta, ambil contoh, mengalami sendiri pengalaman tak menyenangkan tersebut. Penolakannya terhadap perubahan iklim telah mendorong kelompok sayap kanan sampai politikus bebal merisaknya secara berjamaah. Politikus sayap kanan dari Kanada bernama Maxime Bernier, misalnya, menyatakan bahwa Greta “harus dikecam dan diserang.”

Hal yang sama juga dialami kawan-kawan Greta. Ketika Lilly Platt mengkritik deforestasi yang menyebabkan kebakaran di Hutan Amazon lewat kanal Twitter, segerombolan akun troll mulai membanjiri tab mention miliknya dengan konten pornografi. Lily sendiri merupakan aktivis lingkungan asal Utrecht yang masih berusia 11 tahun.

Keadaan diperburuk dengan lambatnya respons perusahaan teknologi macam Twitter, Facebook, maupun Instagram dalam menindak pengguna yang gemar merisak para aktivis muda ini sesuai ketentuan community guidelines.

Walhasil, orang tua menjalankan peran penting dalam aktivisme anak-anak muda ini. Mereka menjadi pelindung anak-anak—karena masih sangat ‘hijau’—dari racun media sosial. Memberikan edukasi maupun pengawasan terhadap penggunaan media sosial agar selaras dengan visi aktivisme yang ditempuh adalah salah dua contohnya.

Katharine Hayhoe, Direktur Pusat Sains dan Iklim Universitas Teknologi Texas, mengatakan bahwa semakin keras militansi aktivis lingkungan ini, maka semakin keras pula resistensi dari kelompok yang menolak adanya perubahan iklim.

“Mereka akan menyerang siapa saja yang efektif dalam mengkritik,” terangnya. “Semakin efektif, maka semakin besar serangannya.”

Infografik Greta Thunberg

Infografik Greta Thunberg. tirto.id/Nadya

Bagian dari Generasi Z

Greta mewakili eksistensi dari apa yang disebut dengan “Generasi Z,” sebuah kelompok demografi yang diisi oleh mereka yang lahir di antara pertengahan 1990-an sampai 2010-an. Oleh Merriam-Webster, Oxford, sampai Urban Dictionary, Generasi Z didefinisikan sebagai generasi yang muncul setelah Milenial.

Di AS, Generasi Z sempat menjadi topik pembahasan yang cukup populer. Majalah Newsweek, misalnya, membikin laporan khusus soal Generasi Z yang diberi judul: “Gen Zs are Anxious, Entrepreneurial and Determined to Avoid Their Predecessor’s Mistakes” (2019).

Narasinya kira-kira begini: Generasi Z dianggap sebagai generasi yang apolitis, mudah cemas, tak berani ambil risiko, serta pragmatis secara ekonomi.

Skeptisisme itu tidak lahir dari ruang kosong. Generasi Z dianggap apolitis—dan cenderung manja—karena lahir dan hidup pada masa yang cukup nyaman. Di AS, mereka tak mengalami peristiwa-peristiwa tragis macam serangan 9/11, maupun kebijakan Perang Melawan Teror-nya Bush.

Pertanyaannya: benarkah demikian? Bila melihat realitas yang ada, narasi itu bisa jadi keliru. Pasalnya, anak-anak dari kelompok Generasi Z sudah membuktikan bahwa mereka bisa bersikap—dan turut mengubah keadaan.

Contohnya banyak: dari Malala Yousafzai (penerima Nobel Perdamaian, 22 tahun), Ahed Tamimi (aktivis kemanusiaan Palestina, 18 tahun), Jared Makheja (CEO The Elevator Project, 18 tahun), hingga Greta sendiri (16 tahun).

Aktivisme merupakan bagian yang tak bisa dilepaskan dari eksistensi Generasi Z. Alih-alih tumbuh menjadi kelompok yang apolitis, Generasi Z justru concern terhadap permasalahan sosial-politik di sekitar.

Laporan Pew Research Center menjelaskan penyebab munculnya aktivisme itu adalah karena internet. Generasi Z tumbuh ketika internet sedang berkembang secara pesat: WiFi, iPhone, sampai media sosial hadir menemani perjalanan mereka.

Implikasinya: Generasi Z menjadi generasi yang “hidup”. Teknologi telah mengubah perilaku, sikap, gaya hidup, hingga pandangan terhadap dinamika sosial di era kiwari.

Faktor tersebutlah yang kemudian mendorong Generasi Z untuk lebih terbuka. Arus informasi yang begitu besar telah berkontribusi dalam terciptanya beragam perspektif.

Kendati tak merasakan ketakutan dunia pasca-9/11, Generasi Z nyatanya juga menghadapi masalah yang tak kalah pelik: terorisme sayap kanan, rasisme, ledakan pengungsi, kebijakan imigrasi yang diskriminatif, maupun perubahan iklim.

Sederet masalah tersebut mendorong anak-anak dari Generasi Z untuk mengambil sikapnya sendiri. Mereka tak terlalu setuju dengan cara Donald Trump memimpin AS. Mereka juga percaya bahwa perubahan iklim bukanlah omong kosong belaka. Tak kalah penting: Generasi Z cenderung lebih terbuka dengan keragaman ras dan etnis.

Berkat Generasi Z pula diskursus tentang pembatasan kepemilikan senjata api di AS menjadi topik yang serius untuk dibahas. Pelopornya: Emma Gonzalez (19 tahun), salah satu siswa yang selamat dari penembakan massal di Stoneman Douglas.

Usai peristiwa tragis tersebut, Emma langsung bersuara vokal menentang aturan kepemilikan senjata api di AS yang makin ke sini makin banyak disalahgunakan. Ia memimpin jalannya gerakan March for Our Lives sampai berkampanye dengan giat di media sosial menggunakan tagar #NeverAgain atau #DouglasStrong.

Aksi Emma seketika memantik respons yang luas di masyarakat Amerika.

“Apa yang kita lihat sekarang adalah gerakan, yang bila terus berkembang, akan berpotensi mengubah lanskap politik yang ada,” terang Dana Fisher, profesor sosiologi di University of Maryland, menanggapi kehadiran Generasi Z.

Pendapat senada turut diungkapkan Anthony Leiserowitz, profesor studi lingkungan di Universitas Yale. Ia berpendapat bahwa kehadiran Generasi Z menjadi penting karena jumlah populasinya yang besar.

“Anak-anak muda ini berbicara lebih keras dan jelas ketimbang sebelumnya. Ketika taruhannya semakin tinggi dan waktu yang tersisa untuk mencegah dampak terburuk semakin pendek, Anda akan melihat lebih banyak lagi perlawanan mereka,” ujarnya.

Termasuk di Indonesia, manakala beberapa hari lalu ribuan mahasiswa di berbagai kota turun ke jalan menolak RKUHP maupun revisi UU KPK yang berpotensi mengangkangi hak-hak masyarakat sipil. Mereka adalah bagian dari Generasi Z, yang pada saat ini sedang muak dengan perilaku busuk para anggota parlemen.

Baca juga artikel terkait GENERASI Z atau tulisan lainnya dari Faisal Irfani

tirto.id - Politik
Penulis: Faisal Irfani
Editor: Eddward S Kennedy