Menuju konten utama

Greenpeace Buktikan Adanya Perusakan Terumbu Karang di Karimunjawa

Terumbu karang yang tergerus di Karimunjawa terlihat jelas. Namun, kapal yang mengakibatkan kerusakan terumbu karang hingga saat ini belum diajtuhi sanksi.

Greenpeace Buktikan Adanya Perusakan Terumbu Karang di Karimunjawa
Terumbu karang di perairan Kepulauan Karimunjawa di Jepara, Jawa Tengah, Selasa (31/10/2017). ANTARA FOTO/Aji Styawan

tirto.id - Pulau Karimunjawa menjadi tempat penghentian terakhir dari tur Jelajah Harmoni Nusantara di Indonesia. Greenpeace Indonesia sengaja memilih Karimunjawa untuk membuktikan adanya perusakan objek wisata terumbu karang oleh kapal pendatang.

Hal ini dikatakan oleh Juru Bicara Greenpeace Indonesia, Rahma Shofiana. Ia menegaskan, kapal-kapal yang mengangkut batu bara dari daerah Kalimantan merusak terumbu karang yang berada di sekitaran Karimunjawa. Hingga saat ini, kapal tersebut tidak mendapat sanksi.

Rahma menegaskan, perusakan itu terjadi sejak awal 2017 lalu. Pada Maret 2017, DPRD Jawa Tengah telah didesak untuk membentuk panitia khusus membahas perusakan tersebut. Namun hingga sekarang, penyelesaian akibat kerusakan itu masih belum ada. Kapal tersebut rencananya akan berlabuh kembali di Karimunjawa antara tanggal 3-7 Mei 2018.

“Harusnya kapal tongkang itu ditinggal, dan kapal tunda-nya (tug boat) yang menepi. Nah, kapal tongkang ini tapi ikut ditarik dan menyebabkan terumbu karang itu tergerus,” ujar Rahma kepada Tirto pada Rabu (2/5/2018).

Rahma menegaskan, terumbu karang yang tergerus itu terlihat jelas. Kementerian Lingkungan Hidup bahkan sudah mengetahui tentang perusakan ini. Pada September 2017, tindakan merusak ini bertambah parah akibat adanya kapal yang mengangkut crane ke Pare-Pare dan mengenai terumbu karang di sekitar Karimunjawa.

“Itu bekasnya terlihat kayak diseret ke bawah gitu, hancur semuanya. Ini sudah diketahui, tapi dibiarkan sampai sekarang. Makanya kami tunggu dia datang dan akan kami buktikan bahwa pembiaran itu memang terjadi hingga sekarang,” tegasnya lagi.

Greenpeace Indonesia menggunakan kapal legendaris Greenpeace, Rainbow Warrior (RW) untuk menguatkan kampanyenya. Kapal RW yang sudah memasuki generasi ketiga ini berkeliling tanpa henti setiap tahunnya. Tur selama dua bulan oleh kapal RW ini diperkirakan akan berakhir pada 7 Mei 2018.

Rahma memaparkan, kapal RW membutuhkan 36 jam perjalanan dari Jakarta untuk sampai di pulau daerah Jawa Tengah tersebut. Waktu yang cukup lama ini karena kecepatan kapal bergantung pada angin. Dengan 3 layar besar, kecepatan RW diperkirakan hanya 10 knot untuk kecepatan angin yang normal.

“Jika anginnya kencang, tentu bisa lebih cepat lagi. Tapi memang kapal layar ini tergolong lambat, dari Bali ke Jakarta, kapal biasa membutuhkan 3 hari, RW membutuhkan 6 hari,” katanya menjelaskan.

Sejak berangkat sekitar pukul 15.00 pada Senin (30/4/2018), kapal RW baru tiba sekitar malam hari.

Rahma menegaskan, sebagai kapal transportasi di era sekarang, tentu RW tidak memungkinkan. Jika seluruh kapal nelayan ataupun kapal transportasi mengandalkan layar seperti zaman dahulu, rantai distribusi akan terpotong secara drastis.

“Tapi itu tidak masalah. Polusi dari kapal mesin tidak begitu berpengaruh, kecuali kapal uap,” katanya lagi. RW telah masuk ke Indonesia apda awal Maret 2018 lalu. Kunjungan kedua kalinya ke Indonesia ini berlangsung selama dua bulan dan merupakan kunjungan terlama RW.

Selain untuk memperkenalkan RW sebagai contoh kapal ramah lingkungan, Greenpeace Indonesia memakai RW untuk mensosialisasikan kampanye menghentikan perusakan lingkungan.

“Sistem kapal RW memilah antara sampah organik dan non-organik. Sampah organik didaur ulang menjadi kompos dan setengah cair. Jika dibuang ke laut pun itu akan aman,” ujar Rahma.

Ia menambahkan, di Karimunjawa kapal RW akan dimanfaatkan sebagai pelengkap kampanye untuk kebersihan dan penghentian usaha perusakan lingkungan.

Baca juga artikel terkait KERUSAKAN LINGKUNGAN atau tulisan lainnya dari Felix Nathaniel

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Felix Nathaniel
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Yuliana Ratnasari