Menuju konten utama

Vonis Pengadilan bagi Pemerintah Lalai: Wajib Ditaati

Diperlukan mekanisme yang jelas kepada pejabat atau badan yang tidak menaati putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap.

Vonis Pengadilan bagi Pemerintah Lalai: Wajib Ditaati
Presiden Joko Widodo (kedua kanan) didampingi Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan (kedua kiri), Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin (kanan) dan Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi (kiri) meninjau vaksinasi COVID-19 massal pelaku transportasi di Terminal Kampung Rambutan, Jakarta, Kamis (10/6/2021).ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/foc.

tirto.id - Menggugat pemerintah ke ranah hukum menjadi salah satu cara yang bisa dilakukan warga bila pejabat lalai dalam menjalankan tugasnya. Gugatan warga negara atau citizen law suit ini dapat menjadi model menyelesaikan permasalahan atas dasar kesalahan yang dilakukan penyelenggara negara dalam memenuhi hak-hak warganya.

Citizen law suit yang dimenangkan warga pun sering terjadi. Misalnya, pada 16 Juli 2019, Mahkamah Agung menolak permohonan kasasi Nomor 3555 K/PDT/2018 yang diajukan Presiden Republik Indonesia dan jajarannya dalam kasus kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan Tengah.

Keputusan itu menguatkan Putusan Pengadilan Tinggi Palangka Raya Nomor 36/PDT/2017/PT PLK tertanggal 19 September 2017 juncto Putusan Pengadilan Negeri Palangka Raya Nomor 118/Pdt.G/ LH/2016/PN Plk teranggal 22 Maret 2017.

“Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi I: Negara Republik Indonesia Presiden Republik Indonesia cq Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia cq Gubernur Kalimantan Tengah, Pemohon Kasasi II: Negara Republik Indonesia cq Presiden Republik Indonesia cq Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia, Pemohon Kasasi III: Pemerintah Republik Indonesia cq Presiden Republik Indonesia cq Menteri Pertanian Republik Indonesia, Pemohon Kasasi IV: Negara Republik Indonesia cq Presiden Republik Indonesia cq Menteri Kesehatan Republik Indonesia,” begitu bunyi putusan tersebut.

Salah satu tim penggugat, Arie Rompas mengatakan, salah satu kewajiban yang harus segera dieksekusi pemerintah adalah mengumumkan perusahaan-perusahaan yang melakukan pembakaran hutan. Dalam tuntutan tersebut pemerintah juga wajib mengumumkan korporasi yang pernah terlibat dalam kebakaran hutan hebat di Kalimantan pada 2015; serta yang perlu segera dilaksanakan adalah pembangunan rumah sakit paru di Kalimantan Tengah.

Tiga tahun kemudian, warga juga membuktikan bisa menang melawan pemerintah. Pada 15 Februari 2022, Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta memvonis Gubernur DKI Jakarta untuk mengeruk Kali Mampang secara tuntas sampai ke wilayah Pondok Jaya dan memproses pembangunan turap sungai di kelurahan Pela Mampang. Perkara bernomor 205/G/TF/2021/PTUN.JKT dimenangkan rakyat.

Apakah presiden dan jajarannya telah menjalankan putusan hakim? Pun apakah orang nomor satu di Ibu Kota bakal tunduk kepada putusan pengadilan?

Kesadaran Diri Pemerintah

Dosen Hukum Administrasi Negara Universitas Indonesia (UI) Dian Puji Simatupang berpendapat pejabat dan badan pemerintahan harus taat kepada putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.

“Jadi, soal efektivitas ini menjadi penting karena badan dan pejabat pemerintahan tidak merasa wajib menaati apabila ada kerugian diri atau lembaga di dalamnya,” kata dia kepada reporter Tirto, Jumat (18/2/2022).

“Dalam hal ini diperlukan mekanisme yang jelas kepada pejabat atau badan yang tidak menaati putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap harus membayar denda dan/atau bunganya,” sambung Dian. Putusan-putusan pengadilan tersebut tidak kedaluwarsa, artinya terhukum harus melaksanakan vonis.

Dua kasus itu terjadi ketika Joko Widodo sebagai Presiden Republik Indonesia dan Anies Baswedan menduduki kursi Gubernur DKI Jakarta. Jika dua orang itu lengser dari jabatannya, apakah putusan gugur begitu saja? Dian menyatakan tidak.

“(Putusan) tetap. Karena bukan pribadi, tapi jabatan yang dituntut, bukan pribadinya. Harus tetap dan dapat ditagih ke negara/badan atau pejabat pemerintahan,” kata Dian.

Bila negara, badan atau pejabat tak menjalani vonis, maka sanksinya hanya disampaikan ke atasannya. Memang upaya itu tidak efektif. Sehingga cara terbaik adalah Mahkamah Agung berani membuat peraturan ‘jika tidak mematuhi putusan pengadilan dikenakan denda dan/atau bunganya’, seperti kewajiban pajak.

“Namun Mahkamah Agung berani atau tidak? Kalau begini terus, tak ada cara memaksa negara. Padahal dalam konsep check and balance, ketika suatu kekuasaan salah, yang satu menyeimbangkan dan mengoreksi,” imbuh Dian.

Meski taat kepada putusan adalah keharusan, menilik dari rekam jejak sengketa di negara ini, jarang pemerintah taat kepada putusan pengadilan. Contoh, 5 Oktober 2016, Mahkamah Agung mengeluarkan Putusan Peninjauan Kembali Nomor 99 PK/TUN/2016 yang mengabulkan gugatan petani Kendeng dan mencabut Izin Lingkungan Pembangunan dan Pertambangan Pabrik PT Semen Indonesia di Kabupaten Rembang.

Selanjutnya Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo menyatakan pihaknya mematuhi putusan tersebut, namun pada 23 Februari, ia mengeluarkan izin pembangunan baru dengan sedikit perubahan wilayah. Padahal pemerintah kudu tunduk kepada putusan hakim.

“Wajib. Putusan pengadilan wajib ditaati oleh pejabat negara,” tutur Dosen Hukum Pidana Universitas Brawijaya Fachrizal Afandi, kepada reporter Tirto, Jumat (18/2/2022).

Sayangnya, bukannya patuh kepada putusan hakim, malah yang dilakukan pemerintah adalah bikin izin baru. Pemerintah mengakali rakyat. Bila mengikuti konsep negara hukum yang diakui dalam Undang-Undang Dasar, pemerintah Indonesia bermasalah. Masih dalam konsep rechtsstaat, kewenangan yudikatif mengontrol jika ada sengketa antarwarga negara dan negara di Pengadilan Tata Usaha Negara.

“Saluran dan putusannya ada, tapi kenapa pemerintah abai dan cenderung tidak menjalankan? Lagi-lagi karena kemauan politik (yang rendah),” terang Fachrizal.

Sistem presidensial di Indonesia cenderung ‘penuh kekuatan’ terhadap putusan pengadilan. Kekuatan eksekutorial tidak diatur secara eksplisit, yakni tidak ada regulasi perihal sanksi bagi pemerintah atau pejabat yang tidak melaksanakan putusan.

Bahkan peraturan soal sanksi bagi eksekutif yang bandel tak taat putusan pun tak perlu dibikin, sebab lembaga yudikatif telah memutus dan sewajarnya pihak eksekutif mematuhi putusan. “Ini mencerminkan Indonesia belum penuh menjalankan prinsip negara hukum,” ucap dia.

Salah satu prinsip yang diatur dalam konstitusi yakni jaminan pembatasan kekuasaan agar melindungi warga negara dari perilaku sewenang-wenang yang dilakukan negara.

Biasanya prinsip tersebut jarang dilakukan oleh pemerintah otoritarian dengan alasan ‘negara tak ingin dibatasi dan tidak acuh dengan pembatasan’. “Itu yang dikhawatirkan. Kalau melihat pemerintah (Indonesia) abai dengan putusan-putusan pengadilan, itu menunjukkan masih mengikuti konsep negara kekuasaan,” jelas Fachrizal.

Kritis, Bukan Dosa Warga

Aktivisme warga dalam berdemokrasi, kata Direktur Eksekutif The Indonesian Institute Adinda Tenriangke Muchtar, harus diapresiasi. Apalagi warga mengkritisi kebijakan negara, itu merupakan bentuk demokrasi. Efektifkah rakyat gugat pemerintah?

Adinda menilai dalam kasus presiden dan jajarannya, masih menggantung. Penerbitan peraturan pelaksana dengan melibatkan rakyat jadi salah satu tuntutan, tapi belum direalisasikan pemerintah.

“Dalam undang-undang, perencanaan pembangunan nasional atau regulasi terkait, sebenarnya sudah mengatur partisipasi publik dalam proses kebijakan. Apakah dalam realitasnya hal tersebut dilakukan?” tutur dia.

Mengakomodasikan keikutsertaan warga itu telah ada aturan hukumnya dan dinilai bisa mengurangi permasalahan dalam proses pembuatan kebijakan ke depannya. Problem lainnya adalah tuntutan warga terhadap pemerintah memerlukan waktu. Tuntutan warga pun masuk akal sebab mereka meminta negara mengatasi perkara yang terkait kebijakan pula.

“Putusan-putusan pengadilan, termasuk hingga tingkat Mahkamah Agung, adalah hal yang relevan, harus dipatuhi dan ditindaklanjuti (oleh pemerintah) dengan saksama,” sambung Adinda.

Masalah klasik jika suatu kebijakan mandek dengan dalih nihil regulasi pelaksana. Dalam kasus seperti ini, ada atau tidak peraturan pelaksana, pemerintah menjalankan tanggung jawabnya lantaran komitmen itu sebagai mandat undang-undang. Perihal kasus pengerukan kali pun juga begitu, Gubernur DKI harus mematuhi putusan pengadilan.

Kepala pemerintahan harus menindaklanjuti putusan karena yang diminta adalah masuk akal, terlepas ada faktor alam yang berperan dalam masalah-masalah lingkungan. Ketika pemerintah menunda menjalankan putusan, Adinda menyatakan problem serupa bisa kerap meroda. Ada yang salah bila pemerintah mengabaikan gugatan perwakilan kelompok atau gugatan warga negara terhadap negara.

“Tuntutan sangat relevan karena ada korban, ada data, dan pihak yang mengajukan tuntutan (rakyat) memberikan data dan fakta dari kajian yang dapat dipercaya,” ucap dia.

Kasus-kasus tersebut bisa menjadi refleksi dan masukan yang baik agar para pejabat memperbaiki fungsinya dalam kepemerintahan.

Baca juga artikel terkait GUGATAN WARGA SOAL BANJIR atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Hukum
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Abdul Aziz