Menuju konten utama

Goo Hara dan Kejamnya Industri K-Pop

Artis K-Pop Goo Hara tewas. Menambah panjang daftar idola K-Pop yang meninggal di usia muda.

Goo Hara dan Kejamnya Industri K-Pop
Grup gadis pop Korea Selatan, KARA, Goo Ha-ra menghadiri konferensi pers di Singapura, Selasa 10 Juli 2012. KARA dijadwalkan untuk melakukan konser satu malam mereka di sini sebagai kampanye untuk meluncurkan rangkaian wewangian parfum mereka sendiri "K5J" atau " K 5 Jewel. (AP Photo/Wong Maye-E)

tirto.id - Berwarna sekaligus melankolik. Itulah dunia K-Pop.

Melalui Kyuhyun, anggota boyband Super Junior, penikmat budaya Korea Selatan digiring pada perasaan nelangsa karena cinta, persis seperti yang dilakukan Didi Kempot di Indonesia. Katanya, “Han sarameul saranghaene” atau "Aku mencintai satu orang.” Namun, lanjut lagu berjudul “I’ve Loved Just One Person” itu, “Geureon geunyeoga ttaenalgane” alias “gadis itu telah pergi.” Maka, pada bait selanjutnya, “Aku hanya ingin tersenyum", sehingga sang pujaan hati, yang telah meninggalkannya itu, tidak melihat keterputusasaan terdalamnya.

Girlband Girls Generation atau SNSD membawa penikmatnya ke arah berbeda. Melalui lagu berjudul “Holiday,” mereka seakan mengajak para pendengar melupakan segala resah. Katanya, “Volumeeul nop-yeobwa” alias “keraskan volume (musik).” Rasakan irama, ritme, dan buang segala gundah.

Dalam Memories of the Alhambra, serial Korea Selatan yang tayang di Netflix, penonton disuguhi drama yang menampilkan hampir segala keperkasaan K-Pop; drama berisi kisah cinta, kehebatan teknologi, dan keindahan lokasi syuting.

Sayangnya, dunia K-Pop yang berwarna itu punya sisi gelap. Maret lalu, Vox melaporkan skandal seks yang melibatkan sejumlah penyanyi pria K-Pop. Bermodal ketenaran, mereka melakukan aksi pelecehan seksual, baik pada penyanyi perempuan maupun pada para penggemar. Yang lebih tragis, aksi bejat itu mereka sebar-luaskan via grup pesan instan yang beranggotakan para idola K-Pop pria, seperti Seungri, Jung Joon-young, hingga Choi Jong-hoon.

Lubang hitam K-Pop mengenal kisah lain yang tak kalah tragis: para bintang yang bunuh diri.

Hari Minggu lalu (24/11) dunia K-Pop berduka setelah idola mereka Goo Hara ditemukan tewas. Sebelum Hara ditemukan tak bernyawa, ia sempat mengunggah foto melalui akun Instagram pribadinya dengan keterangan “selamat malam". Sebagaimana dilansir Vox, otoritas Korea Selatan tengah melakukan investigasi atas kematian Hara. Namun, rekam jejak penyanyi yang tergabung dalam grup Kara ini mengindikasikan masalah kejiwaan yang berat: depresi.

Hara, yang baru berusia 28 tahun pada bulan Mei lalu, diduga melakukan percobaan bunuh diri setelah menggugat mantan kekasihnya ke pengadilan. Choi Jong Bum, si mantan pacar, menyebarkan konten seksual sebagai balas dendam (revenge porn). Kejadian ini berakhir dengan ramainya pergunjingan publik Korea di media sosial.

Dalam salah satu unggahan di media sosialnya, Hara menyatakan bahwa “dirinya memang terlihat baik-baik saja dari luar. Namun, jiwa di dalam tubuh terasa hancur berkeping-keping.”

Lebih dari sebulan sebelum Hara ditemukan tewas, sahabat sekaligus rekannya di dunia K-Pop, Sulli, ditemukan tewas di kediamannya di Sujeong-gu, Seoul, diduga kuat karena bunuh diri. Sebagaimana dilaporkan CNN, anggota grup (fx) yang baru berusia 25 tahun itu pernah mengutarakan keresahannya setelah memperoleh komentar-komentar negatif di dunia maya.

Idola K-Pop lain memilih mengakhiri hidup, misalnya Kim Jong-hyun, anggota boyband SHINee, yang baru berusia 27 tahun. Dalam pesan kematian yang ditinggalkannya, Jong-hyun menyebut bahwa “jiwa dalam dirinya telah hancur.”

Dari penelusuran, lebih dari 18 idola K-Pop meninggal bunuh diri sejak 2008 (baik sudah dikonfirmasi maupun diduga keras), umumnya didorong oleh masalah psikologis.

Lantas mengapa, kaum muda, tenar, dan harta melimpah ala bintang K-Pop banyak yang memutuskan mengakhiri hidup?

Idola: dari Manusia ke Produk

Melalui misionaris Katolik Henry Appenzeller yang berlayar ke Semenanjung Korea di abad ke-19, Korea mengenal jenis musik baru: musik-musik lokal Amerika dan Inggris. Musik itu diterima dan lambat laun membaur dengan kebudayaan lokal. Selepas Perang Dunia II usai, Korea digempur jenis musik lainnya: pop Amerika.

Musik-musik itu jadi santapan sehari-hari telinga masyarakat Korea Selatan. Meski berjarak ribuan kilometer dari Amerika dan Eropa, warga Korsel familiar dengan musik-musik barat. Studi Maari Hinsberg dan Claudia Valge bertajuk “The Capitalist Control of K-Pop: The Idol as a Product” (Oktober 2019) menyatakan asimilasi musik-musik Barat dengan budaya Korea melahirkan The Kim Sisters, cikal-bakal girlband K-Pop hari ini. Namun, alih-alih bernyanyi untuk khalayak luas, The Kim Sisters menyanyi untuk prajurit-prajurit Amerika Serikat yang bermarkas di Korea Selatan.

Barulah kemudian di era kepresidenan Park Geun-hye, K-Pop, film, serial TV, hingga fesyen Korea Selatan menebar pesona ke seluruh penjuru dunia. Bagi Geun-hye, budaya adalah kekuatan diplomasi.

K-Pop adalah salah satu sumber uang melimpah Korea Selatan, selain Samsung dan Hyundai. BTS, salah satu boyband Korea misalnya, menyumbang $3,6 miliar pada PDB Korea Selatan. Lalu, selain menghasilkan uang, idola-idola K-Pop pun diterjunkan untuk melakukan “diplomasi halus”. EXO misalnya, bernyanyi dalam acara Olimpiade Muslim Dingin. Lalu, ada BTS yang tampil di Sidang PBB, SHINee yang bergoyang bergoyang di Asia Leadership Conference yang dihadiri Barack Obama, dan Red Velvet yang menjadi diutus untuk melunakkan hati Kim Jong Un.

Sayangnya, kisah sukses K-Pop memakan tumbal dari punggawa-punggawanya sendiri.

Studi Hinsberg dan Valge menuturkan banyak syarat yang harus dipenuhi untuk menjadi idola K-Pop, yakni wajah menawan, lajang, heteroseksual, dan calon idola harus dapat dijangkau oleh penggemar, khususnya yang berlainan jenis kelamin.

Ada harga yang harus dibayar untuk memenuhi sebagian syarat itu. Misalnya, untuk memperoleh wajah menawan yang direpresentasikan dengan kulit bercahaya dan tubung langsing, calon idola melakukan operasi plastik. Lalu, karena yang lajang lebih diutamakan, bintang K-Pop dilarang berpacaran. Hyuna dan E’Dawn, misalnya, dipecat Cube Entertainment karena terbukti memiliki hubungan asmara.

Hubungan asmara, menurut banyak manajemen K-Pop, merusak citra idola di depan para penggemar yang bagi industri tersebut sudah setara dengan rating di dunia televisi atau klik di kancah media online. Ketidaksukaan penggemar bisa merusak peruntungan idola K-Pop.

Untuk menghasilkan produk berkualitas, calon idola K-Pop tidak bisa lahir dalam hitungan hari, minggu, atau bulan. Tetapi tahunan. Boyband Korea G-Dragon, misalnya, merilis lagu pertamanya usai menjalankan pelatihan selama 11 tahun. Pelatihan idola K-Pop diselenggarakan oleh pihak manajemen, yang disebut "Factory Model" oleh Matthew Campbell dalam kolomnya di Bloomberg.

Pelatihan yang dijalankan manajemen adalah keharusan bagi calon idola K-Pop. Di sana, calon idola harus menandatangani kontrak pelatihan dengan prinsip rigid and replaceability, yang memungkinkan pihak manajemen membentuk grup idola sesuka mereka, sesuai dengan selera pasar yang tak selalu bisa diprediksi.

Infografik Bunuh Diri Artis Korea

Infografik Bunuh Diri Artis Korea

Umumnya, kontrak antara calon idola dengan manajemen berdurasi lebih dari tujuh tahun. Selama masa pelatihan atau karantina, calon idola dijejali banyak pelajaran. Namun, menurut Campbell, yang mengerikan adalah keharusan calon idola untuk tidak "cacat secara moral". Segala rupa kehidupan calon idola selama menjalani masa pelatihan dikendalikan dengan sangat ketat, bahkan ketika mereka ingin berhubungan dengan pihak keluarga.

Makan, minum, bersikap, apa yang boleh dan tidak, hingga jam tidur dikendalikan manajemen. Walhasil, menurut Campbell, idola K-Pop lebih layak disebut sebagai “produk bikinan pabrik” alih-alih manusia.

Selepas “lulus” dari masa pelatihan, idola K-Pop menjadi sosok yang mengabdi pada penggemar. Brian Joo, mantan idola K-Pop, pernah menyatakan bahwa para penggemar selalu menganggap bahwa apa yang dilakukan idolanya adalah untuk penggemar semata. Dengan anggapan itu maka tidak ada privasi secuil pun bagi idola K-Pop.

“Para penggemar telah mengancam hidupku, juga teman dan keluargaku bertahun-tahun. Seolah-olah aku hanya hidup untuk mereka,” papar Joo.

Hidup yang didikte oleh manajemen dan penggemar mengubah sosok idola K-Pop yang tadinya manusia menjadi benda mati. Mereka menjadi produk ekspor andalan Korea Selatan--bak Samsung Galaxy. Kecenderungan bunuh diri semestinya bukan hal yang mengherankan lagi.

======

Depresi bukanlah persoalan sepele. Jika Anda merasakan tendensi untuk melakukan bunuh diri, atau melihat teman atau kerabat yang memperlihatkan tendensi tersebut, amat disarankan untuk menghubungi dan berdiskusi dengan pihak terkait, seperti psikolog, psikiater, maupun klinik kesehatan jiwa.

Baca juga artikel terkait K-POP atau tulisan lainnya dari Ahmad Zaenudin

tirto.id - Musik
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Windu Jusuf