Menuju konten utama

Giroth Wuntu: Eks-KNIL dan Kristen Saleh di Tubuh PKI

Giroth Wuntu sempat jadi tentara KNIL lalu bergabung ke kubu pro-Republik. Pasca-Revolusi, ia bergabung dengan PKI.

Giroth Wuntu: Eks-KNIL dan Kristen Saleh di Tubuh PKI
Kampanye Partai Komunis Indonesia pada September 1955. LIFE/Howard Sochurek

tirto.id - Di kawasan yang cukup tenang di atas kota Manado, Ben Wowor menjalani sisa hidupnya dengan tenang. Laki-laki usia 95 tahun ini tidak pikun. Ia masih bisa mengingat dengan baik peristiwa-peristiwa yang terjadi di Sulawesi Utara lebih dari setengah abad silam, termasuk cerita pilu soal orang-orang yang dibantai Jepang.

Salah seorang yang dibunuh Jepang adalah gurunya di Sekolah Katolik.

Ia juga ingat tentang 51 orang PKI/PNI yang dikaitkan dengan G30S dan dihabisi di Wanea, daerah yang kini menjadi Rindam Kodam XIII/Merdeka.

Ben kenal beberapa orang yang terbunuh itu. Propaganda Angkatan Darat dan Orde Baru setelahnya sering mengait-ngaitkan PKI dengan ateisme. Namun, seingat Ben, para koleganya yang dihubung-hubungkan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) bukan ateis. Termasuk mereka-mereka yang pernah menjadi bawahannya di Jawatan Penerangan. Giroth Wuntu, salah satu tokoh PKI kenamaan, juga pernah bekerja bersamanya.

“Mereka percaya pada Tuhan,” kata laki-laki menulis beberapa buku sejarah perjuangan di Sulawesi Utara.

Giroth Wuntu meninggal pada pertengahan 2010 silam. Jenazahnya dimakamkan dengan prosesi Kristen, seperti halnya ketika tokoh PKI lainnya Karel Supit wafat. Hal semacam itu bukan barang baru, tentunya. Seperti kebanyakan orang Minahasa, Giroth Wuntu, besar dalam tradisi Kristen.

“Saya gabungkan pengertian dari kitab suci dengan maksud Karl Marx. Memang itu bisa digabungkan,” kata Giroth Wuntu dalam kisahnya di buku Menembus Tirai Asap: Kesaksian Tahanan Politik 1965 (2003:119). Giroth mendapat julukan "Komunis Yesus".

Eks Serdadu KNIL Pro-Republik

Giroth dibesarkan oleh orangtua yang sakit-sakitan. Itulah sebabnya ia lebih sering menghabiskan waktu di ladang membantu sang ayah, William Wuntu. Ibu Giroth seorang penganyam tikar rotan. Meski kedua orangtuanya menghasilkan 13 anak, hanya empat yang bertahan hidup hingga dewasa. Salah satunya si bungsu Giroth.

Keluarga Giroth berbeda dengan kebanyakan keluarga Minahasa lainnya yang sejahtera dari hasil kebun.

“Orang Minahasa itu kaya,” kata Roger Allan Kembuan, sejarawan Universitas Sam Ratulangi, saat ditemui Tirto. Orang-orang Minahasa adalah pemilik tanah yang subur. Barangkali ini jawaban mengapa PKI di Sulawesi Utara tak sejaya di Jawa Tengah.

Berladang membuat Giroth terbiasa dengan hutan. Selain membantu berladang, dia juga bekerja merapikan halaman orang-orang kaya Manado.

Namun, semiskin-miskinnya Giroth, ia bukan bagian dari mayoritas orang Indonesia zaman kolonial yang buta-huruf. Giroth masih bisa sekolah dan paham baca tulis. Buku Menembus Tirai Asap: Kesaksian Tahanan Politik 1965 (2003:115) menuturkan bahwa Giroth hanya bertahan sampai kelas 4 di sekolah milik zending.

Pada zaman kolonial, salah cara keluar dari kemiskinan adalah dengan teekensoldij (mendaftar jadi serdadu). Bagi Giroth muda yang hidup yang cukup keras, teekensoldij bukan sesuatu yang sulit. Pada 1938, Giroth yang waktu itu berusia 18 tahun dilatih jadi awak meriam Artileri KNIL di Cimahi lalu dikirim ke Palembang.

Ketika Perang Dunia II pecah, Giroth berada di Jakarta. Ia sempat ditugaskan di daerah Cirebon dan Indramayu sebelum ditawan di Bandung sejenak. Ia berhasil kabur dan bersembunyi di sekitar Gunung Ciremai.

Begitu mendengar kabar Sam Ratulangi mendirikan Penolong Kaoem Celebes (PKC), Giroth langsung ke Jakarta dan bergabung. Tak lama kemudian ia pindah ke Surabaya dan jadi centeng di Pelabuhan Tanjung Perak, di mana ia sempat berkelahi dengan serdadu Jepang di sana, namun akhirnya kabur dan selamat.

Setelah Proklamasi 17 Agustus 1945 dan Peristiwa Penyobekan Bendera di Yamato Surabaya, dia diminta Evvert Langkay, pimpinan Kebaktian Rakjat Indonesia Sulawesi (KRIS), agar kembali ke Jakarta. Permintaan itu ia turuti. Malang, Giroth tertangkap tentara Inggris saat naik becak dari Pasar Baru menuju Senen.

Dia pun dipaksa masuk KNIL lagi sekitar setahun. Giroth boleh apes, tapi di Jakarta itu pula dia bertemu perempuan Minahasa bernama Yohanna Ottay, yang biasa dipanggil Anna.

Setelah beberapa lama pacaran, Giroth dan Anna menikah. Cuti kawinnya ia digunakan untuk pulang ke Minahasa. Giroth sempat kembali ke Jakarta dan cuti lagi ke Minahasa. Di kampung halamannya, beberapa kali Giroth menjalin kontak dengan kelompok pro-Republik. Ia bahkan sempat dijebloskan ke sel tahanan di Telling, sebelah atas kota Manado.

Di dalam tahanan, ia bertemu tokoh PKI bernama Jan Dengah yang mengajarinya Marxisme. Sebagai anggota PKI, Jan Dengah pro-kemerdekaan Indonesia. Ia juga mendorong Giroth untuk kabur dari penjara.

Di Minahasa, perlawanan terhadap Belanda berlangsung sulit dan biasanya dilakukan secara gerilya di hutan-hutan atau sebagai gerakan bawah tanah di kota. Giroth sendiri tinggal di hutan bersama keluarganya hingga 1950.

Ketika Tentara Belanda hendak angkat kaki, Giroth dan kawan-kawan gerilyanya disuruh melapor. Giroth akhirnya memang melapor, tapi setelah itu dia tidak bisa lagi jadi tentara karena dilarang sang istri. Namun, Giroth tetap berperan dalam melawan para pendukung Negara Indonesia Timur (NIT) yang didukung eks-KNIL kawan-kawan Andi Azis, dengan mendirikan Gerakan Kemajuan Indonesia (GKI).

Para anggota GKI dibekali pemikiran marxisme dan komunisme ala kadarnya. Para bekas anggota GKI inilah yang kemudian menjadi bagian dari PKI di Minahasa dengan Guroth sebagai pemimpinnya.

Lolos dari Pembantaian

Lewat PKI, Giroth yang jebolan SD itu jadi anggota Dewan. Ketika pecah pemberontakan Permesta, Giroth termasuk dalam golongan penentangnya, Barisan Anti Permesta, meski ada banyak sanak saudara sang istri mendukung Permesta.

Pemberontakan Permesta memang menciptakan fragmentasi di masyarakat masyarakat. Ada banyak yang bergabung, tapi ada juga yang dirugikan dan anti Permesta. Giroth sendiri berusaha mempersatukan orang-orang Minahasa setelah Permesta padam. Sebagai tokoh masyarakat yang pernah jadi Wakil Bupati Minahasa, ia merasa prihatin atas perpecahan tersebut.

“Ia ingin mempersatukan masyarakat Minahasa yang terpecah belah oleh berbagai kepentingan,” tulis buku Menembus Tirai Asap (2003:123). Agar kehidupan masyarakat Minahasa kembali manis, Giroth pun menulis roman sejarah dari bahan-bahan yang telah ia kumpulkan sejak 1962. Pada 1963, dia berhasil menyelesaikan Perang Tondano, sebuah karya tentang sejarah Minahasa yang kata pengantarnya ditulis oleh novelis Pramoedya Ananta Toer.

“Kitorang sudah lupa bahwa kitorang Minahasa juga punya kebudayaan, yang kalau dipatuhi, keadaan kita tidak begini. Dengan cakar-cakaran begini kita tidak menghargai lagi peninggalan nenek moyang kita untuk rukun,” kata Giroth.

Infografik Giroth Wuntu Rev

Infografik Giroth Wuntu Rev

Laki-laki kelahiran Kampung Linigaan, Tondano, 6 Desember 1920 ini tak hanya menulis Perang Tondano, tapi juga Plutokrasi dan Demokrasi, Tete Koneng,Towo Waya, dan Ma Esa An.

Selain menulis dan aktif di PKI, Giroth juga bergabung dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Ia pandai mengukir dan membuat patung. Setelah Lekra diberangus pada 1965, ia terus berkarya sebagai pematung dan penulis ketika di dalam tahanan maupun selepasnya. Semasa ditahan, Jenderal Nasution sempat mengunjungi Giroth dan membeli karyanya.

Ketika pecah G30S, Giroth Wuntu yang tidak tahu apa-apa soal terbunuhnya jenderal-jenderal Angkatan Darat dan isu kudeta ikut kena apes. Ia sempat sembunyi di hutan, tapi kemudian menyerah kepada tentara. Panjang umur, ia tidak ikut dibunuh sebagaimana banyak kawannya yang lain.

Menurut Sejarawan Bode Talumewo dan Ben Wowor, Giroth diselamatkan oleh John Ottay, mantan Letnan Kolonel Permesta dan komandan Resimen Sam Ratulangi. John masih terhitung kerabat Anna, istri Giroth. Ia memang tak mati, tapi meringkuk di tahanan selama belasan tahun. Sekitar 1.700 buku koleksi Giroth juga dibakar tentara.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Humaniora
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Windu Jusuf