Menuju konten utama

Gigihnya PDIP Menggolkan RUU HIP & Kans Pancasila Jadi Alat Politik

PDIP bersikukuh menggolkan RUU HIP. Kekhawatiran yang merebak: Pancasila dijadikan alat politik.

Gigihnya PDIP Menggolkan RUU HIP & Kans Pancasila Jadi Alat Politik
Megawati Soekarnoputri, Puan Maharani, dan Prananda Prabowo berfoto bersama perwakilan calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah yang diusung PDIP dalam Pilkada serentak 2020 di Jakarta, Rabu (19/2/2020). tirto.id/Andrey Gromico

tirto.id - Dalam sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) tanggal 1 Juni 1945, Sukarno mencetuskan lima prinsip. Ketuhanan yang berkebudayaan adalah salah satunya. Sang proklamator menaruhnya di paling belakang. Dia menyebut lima prinsip itu sebagai philosophische grondslag (landasan filosofis). Saat itu juga, Sukarno menamakan prinsip-prinsip tersebut dengan Pancasila.

“Maaf, beribu maaf! Banyak anggota telah berpidato, dan dalam pidato mereka itu diutarakan hal-hal yang sebenarnya bukan permintaan Paduka Tuan Ketua yang mulia, yaitu bukan dasarnya Indonesia Merdeka,” kata Soekarno seperti dikutip dari Risalah Sidang BPUPKI (1995) yang dikeluarkan Sekretariat Negara Republik Indonesia.

Anggota yang dimaksud Sukarno salah satunya adalah Muhammad Yamin. Konsep Yamin juga ada lima poin: Peri Kebangsaan, Peri Kemanusiaan, Peri ke-Tuhanan, Peri Kerakyatan, dan Kesejahteraan Rakyat. Sukarno memang tidak memulai dari nol. Apa yang dikatakan Yamin dan anggota lainnya membantu Sukarno merumuskan Pancasila. Konsep ini kemudian disempurnakan Panitia Sembilan dalam Piagam Jakarta.

Mempertimbangkan faktor keagamaan, “Ketuhanan yang berkebudayaan” diganti dengan “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari'at Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” Perubahan lain terjadi di kemudian hari, tepatnya pada 18 Agustus 1945.

Sila pertama Pancasila diubah menjadi Ketuhanan yang Maha Esa. Usulan Mohammad Hatta dengan mempertimbangkan kelompok minoritas melandasi perubahan ini. Ada masyarakat Indonesia dengan kepercayaan selain Islam yang mengancam akan melepaskan diri dari Indonesia karena merasa tidak terwakilkan dalam sila pertama.

Sebelum Sukarno-Hatta dilantik menjadi presiden-wakil presiden oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada 18 Agustus 1945, Hatta melakukan rapat dengan panitia kecil. Isinya Hatta sendiri, Ki Bagus Hadikoesoemo, Wahid Hasyim, Mr. Kasman Singodimedjo, dan Mr. Teuku Hasan. Sejak itu, Ketuhanan yang Maha Esa terus bertahan hingga sekarang.

Dalam autobiografinya, Untuk Negeriku: Sebuah Otobiografi (2010), Hatta menulis rapat PPKI akhirnya dibuka pukul 09.30. Rapat kala itu juga membahas perubahan isi dari UUD yang “tidak prinsipil”. Bagi Hatta, perubahan sila pertama sangat penting dan saat itu seluruh perwakilan sepakat, tentu saja termasuk Sukarno.

“Yang prinsipil hanya perubahan dalam Pembukaan yang tersebut tadi, yang diterima dengan suara bulat,” catat Hatta.

Hari-hari ini, para politikus Indonesia kembali ramai membahas soal Pancasila. Pangkalnya adalah aspirasi beberapa anggota DPR, terutama dari Fraksi PDIP, yang ngotot mengegolkan Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP).

Ambisi Lama PDIP: Pancasila Sukarno

Sebagian besar pidato dan pernyataan anggota PDIP, termasuk petinggi partai, selalu melibatkan nama besar Bung Karno. Pidato-pidato Ketua Umum PDIP sekaligus anak Sukarno, Megawati Soekarnoputri, bisa dijadikan contoh.

Pada pidato di hari ulang tahun (HUT) PDIP ke-44, Megawati menyoroti fenomena munculnya kelompok yang anti terhadap Pancasila. Di bulan Januari 2017 itu Hizbut Tahrir Indonesia baru saja dibubarkan karena ideologinya dianggap bertentangan dengan dasar negara.

Lantas Megawati menyinggung ideologi partainya. Bukan Pancasila an sich, tapi Pancasila 1 Juni 1945.

“Dari awal mula saya membangun Partai ini, tanpa ragu saya telah menyatakan dan memperjuangkan, bahwa PDI Perjuangan adalah partai ideologis, dengan ideologi Pancasila 1 Juni 1945,” kata Megawati.

Sebelum 2015, hari lahir Pancasila tidak diperingati setiap tahun. Joko Widodo yang mulai menjabat sebagai presiden tahun 2014 kemudian menetapkan 1 Juni sebagai hari libur nasional. Perubahan ini berdasarkan usulan dari Megawati yang juga pernah mengusulkan hal serupa di masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono.

Pancasila 1 Juni 1945 yang dimaksud Megawati tidak berhenti pada lima sila, tapi ada Trisila dan Ekasila. Trisila memegang prinsip sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, dan ke-Tuhan-an yang menghormati satu sama lain. Sedangkan Ekasila adalah perasan dari Trisila yang merujuk pada gotong royong.

Sudah tiga tahun berselang, pandangan PDIP tetap sama.

Ketua DPP PDIP Ahmad Basarah juga melontarkan hal serupa pada 29 Juni 2020. Pancasila mempunyai nilai yang lebih di dalamnya. Untuk menjelaskan hal tersebut, pandangan Bung Karno harus dijadikan rujukan. Basarah menegaskan pidato Bung Karno menguatkan Pancasila.

“Kami memaknainya [pidato Bung Karno] sebagai pengertian atas falsafah dasar yang terkandung dalam sila-sila Pancasila,” kata Basarah.

Semua omongan Megawati dan Basarah tentang Trisila, Ekasila, dan gotong royong adalah daur ulang dari pidato Sukarno pada 1 Juni 1945 di rapat BPUPKI. Ketika Pancasila sudah mendapat tepuk tangan riuh, Sukarno tiba-tiba menawarkan kejutan lain.

“Atau barangkali ada saudara-saudara yang tidak suka akan bilangan lima itu? Saya boleh peras, sehingga tinggal 3 saja,” kata Sukarno.

Tiga hal itu tak lain adalah Trisila seperti yang disampaikan Megawati. Sedangkan Ekasila, ketika Sukarno memerasnya lagi, tidak lain adalah gotong royong.

“Alangkah hebatnya! Negara Gotong-Royong!” teriak Sukarno.

Sekarang ketiga hal itu muncul lagi di dalam RUU Haluan Ideologi Pancasila setelah lewat 75 tahun, termasuk ucapan Sukarno tentang ke-Tuhanan yang berkebudayaan dalam Pasal 7 ayat (2) dan ayat (3). Apa yang mereka sasar salah satunya tentu adalah melestarikan Pancasila dari Sukarno.

Sukarno sendiri mengingatkan dalam pidatonya bahwa ia tidak memaksa Trisila, Ekasila, atau Pancasila harus menjadi dasar negara.

“Terserah kepada Tuan-tuan, mana yang Tuan-tuan pilih: Tri Sila, Eka Sila ataukah Pancasila,” ucap Sukarno.

Infografik PDIP dan RUU HIP

Infografik PDIP dan RUU HIP. tirto.id/Sabit

Pancasila Jadi Alat Politik

Survei Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA pada 2018 menyebutkan dukungan pada negara Pancasila menurun sampai 75,3 persen. Selama 13 tahun, dukungan terus menurun. Pada 2005 angka sempat mencapai 85,2 persen.

Pada 2018 Jokowi juga mengganti Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP) dengan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). Perubahan ini menjadikan BPIP sebagai lembaga setingkat kementerian.

Mahfud MD, salah satu anggota Dewan Pengarah BPIP, seperti dilaporkan Detik, berpandangan bahwa "ada ancaman terhadap ideologi Pancasila.” Karena adanya gerakan radikal itulah pemerintah segera membentuk BPIP kendati harus menagmbil biaya dari APBN.

RUU HIP yang digunakan untuk menyokong BPIP menjadi polemik setelah diusulkan PDIP dan dibahas di parlemen. Sebagian fraksi, seperti PKS, memilih menarik dukungan mereka. PDIP sendiri terus mempertahankan argumen tentang pentingnya RUU HIP.

Belakangan, PDIP bahkan mengusulkan RUU HIP diganti nama menjadi RUU Pembinaan Ideologi Pancasila (PIP). Harapan wakil rakyat di DPR, polemik yang terjadi bisa segera selesai. Apalagi BPIP perlu aturan hukum agar menjadi satu lembaga yang resmi.

Masalahnya, persoalan RUU HIP atau PIP bukan pada nomenklatur saja, tapi juga isinya. Pada bagian tugasnya, lembaga BPIP bisa “memberikan rekomendasi berdasarkan hasil kajian terhadap kebijakan atau peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan Haluan Ideologi Pancasila kepada Presiden” dan “mengarahkan pelaksanaan kebijakan pembangunan di lembaga-lembaga negara, kementerian/lembaga, lembaga pemerintahan nonkementerian, lembaga nonstruktural dan Pemerintahan Daerah berpedoman pada Haluan Ideologi Pancasila.”

Tugas dan wewenang itu seolah-olah menjadikan BPIP penafsir tunggal Pancasila dan mencampuri urusan Kementerian/Lembaga (K/L). Jokowi juga tidak keberatan dengan itu. Namun ini membuat BPIP berpeluang menggunakan Pancasila sebagai alat jual-beli untuk meloloskan kebijakan tertentu. Jual-beli itu, misalnya, dengan mengatakan suatu kebijakan yang dibuat K/L tidak sesuai dengan pengamalan nilai-nilai Pancasila.

“PDIP sedang membuat tafsir tunggal Pancasila dan ini berbahaya,” kata Direktur Eksekutif Indonesia Political Review Ujang Komarudin kepada Tirto, Selasa (1/7/2020).

Nantinya, secara tidak langsung presiden bukan menjadi patokan penentu kebijakan tertinggi, tapi justru BPIP. Siapapun presidennya, BPIP “akan menyandera setiap kekuasaan.” Siapapun yang berkuasa di BPIP, dia bisa menjadi penentu kebijakan mana yang lolos dan mana yang tidak.

Untuk sekarang, Ketua Dewan Pengarah dipegang Megawati Soekarnoputri. Dengan melegalkan BPIP, Ujang menilai PDIP sedang membuat warisan untuk dinikmati di kemudian hari. Posisi Megawati tentunya akan menjadi sangat strategis untuk diperebutkan siapapun. Merujuk pandangan Ujang, BPIP bisa menjadi “alat legitimasi kelompok tertentu”.

Padahal jika kembali menelaah pidato-pidatonya, Megawati pernah berucap, “Jangan kalian merekayasa keyakinan masing-masing sebagai satu-satunya kebenaran mutlak, tidak ada kebenaran mutlak di dunia ini. Seolah kebenaran personal dan kelompok adalah kebenaran yang absolut.” Ketika kalimat itu diucapkan, Megawati tengah membahas soal hoaks.

PDIP memang tidak sedang membuat hoaks. Tapi PDIP tengah memaksakan keyakinannya tentang Pancasila sebagai kebenaran mutlak. RUU HIP, RUU PIP, BPIP, atau apapun namanya adalah kendaraan belaka.

Baca juga artikel terkait RUU HIP atau tulisan lainnya dari Felix Nathaniel

tirto.id - Politik
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Ivan Aulia Ahsan