Menuju konten utama

Gibran & Kaesang Masuk Bursa Pilkada, Jokowi Ingin Bangun Dinasti?

Nama Gibran dan Kaesang masuk dalam bursa Pilwakot Surakarta 2020. Akankah Jokowi akan memanfaatkan ini sebagai momentum membentuk dinasti politik?

Gibran & Kaesang Masuk Bursa Pilkada, Jokowi Ingin Bangun Dinasti?
Putra pertama dan putra bungsu Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming (kiri) dan Kaesang Pangarep (kanan) menunjukan produk kuliner varian terbaru mereka di Makobar, Cikini, Jakarta, Minggu (11/3). ANTARA FOTO/Galih Pradipta

tirto.id - Survei bakal calon wali kota Solo yang dilakukan Universitas Slamet Riyadi (Unisri) Surakarta memunculkan dua nama putra Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka dan Kaesang Pangarep. Keduanya disebut masuk dalam bursa Pemilihan Wali Kota Surakarta periode 2020-2025.

Meski Gibran dan Kaesang sendiri belum memastikan memenuhi ‘ramalan’ tersebut, tapi kabar ini langsung ramai dan menjadi pembicaraan khalayak. Tak ayal, masuknya nama Gibran dan Kaesang dikaitkan dengan nama besar sang ayah, Jokowi yang kini jadi orang nomor satu di republik ini.

“Harus ada riset opini publik untuk membaca potensi keduanya, tetapi melihat keberadaan Jokowi sebagai presiden, bukan perkara sulit untuk membuat instrumen kemenangan,” kata Direktur Eksekutif Pusat Studi Demokrasi dan Partai Politik Dedi Kurnia Syah Putra, di Jakarta, Minggu (28/7/2019).

Dedi menambahkan, bila hasil survei Unisri Surakarta itu benar-benar terealisasi, maka hal pertama yang akan terkena imbasnya adalah citra Jokowi.

Sebab, kata Dedi, Jokowi yang selama ini dikenal sederhana dan tak mau menarik kehidupan keluarganya dalam politik praktis, bakal tercoreng dan dicap sebagai politikus yang ikut arus dengan mendirikan dinasti politik.

“Bisa juga dalam rangka membangun dinasti. Paling tidak godaan untuk ke arah sana terbuka luas,” kata Dedi.

Politik dinasti merupakan istilah untuk menggambarkan bagaimana sebuah politik kekuasaan diwariskan secara turun menurun dari satu generasi ke generasi.

Edward Aspinall dan Muhammad Uhaib As’ad, mengutip Buehler (2013), menulis formasi politik dinasti sebagai "keluarga yang berhasil bertahan dalam dua siklus pemilihan eksekutif" dengan banyak "mencoba memperluas basis mereka untuk memasukkan pos legislatif di berbagai tingkat pemerintahan" untuk menambah jabatan eksekutif pemerintah yang mereka dominasi.

Di Indonesia, praktik politik dinasti masih cukup marak. Ambil contoh yang terjadi di Banten. Andika Hazrumy, yang tak lain adalah anak dari Atut Choisiyah berhasil menjadi Wakil Gubernur Banten. Atut sendiri merupakan bekas Gubernur Banten. Keluarga Atut telah menjadi dinasti politik yang kuat di Banten selama satu dekade.

Direktur Eksekutif Indonesia Political Review, Ujang Komaruddin mengatakan dengan adanya contoh tersebut, maka Jokowi dan juga politikus lain semestinya sudah bisa merefleksi diri. Sebab, jabatan politik bukan hanya soal popolaritas, tapi juga soal kapabilitas.

Ia mencontohkan trah Megawati Soekarnoputri dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang melibatkan anak-anaknya dalam kancah politik saat keduanya masih berkuasa dan memimpin parpol. Megawati misalnya mengorbitkan Puan Maharani, sementara SBY memberi ruang seluas-luasnya bagi Agus Harimurti Yudhoyono dan Edhie Baskoro Yudhoyono di Partai Demokrat.

“Bukan hanya mengandalkan popularitas dari seorang anak presiden, tapi harus muncul dari diri sendiri dan memiliki karakter seorang pemimpin. Harusnya gitu,” kata Ujang.

Apa yang terjadi bila hal serupa dilakukan keluarga Jokowi?

Direktur Eksekutif Pusat Studi Demokrasi dan Partai Politik Dedi Kurnia Syah Putra berpendapat, hal itu bakal jadi catatan buruk bagi Jokowi di tengah upaya keras menciptakan sistem pemerintahan yang demokratis.

Ia mengatakan, hal tersebut bisa dibilang sebagai sisi kelam demokrasi elektoral, karena popularitas lebih dieksploitasi dibanding kapasitas.

“Hal tersebut juga menjadi ujian bagi publik, karena semakin dipaksa memilih tokoh dengan dominasi popularitas, bukan kapasitas kepemimpinan,” kata Dedi menambahkan.

Meski demikian, kata Dedi, peluang Gibran dan Kaesang di kancah politik bukan berarti tertutup sama sekali. Sebab, kata dia, mengajukan diri sebagai kepala daerah merupakan hak politik warga negara yang dilindungi undang-undang. Hanya saja, tetap kualitas dan kinerja perlu jadi perhatian utama.

“Tidak lantas kesuksesan Jokowi bisa menurun ke mereka [Gibran dan Kaesang]” kata Dedi menambahkan.

Respons PKS dan PDIP

Ketua DPP Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Mardani Ali Sera mengapresiasi aktivitas-aktivitas yang selama ini dilakukan Gibran dan Kaesang, terlebih keduanya juga aktif di media sosial dengan pernyataan-pernyatannya yang menarik.

“Itu dua-dunya muda, bagus, saya lihat komennya Kaesang menarik buat saya lucu dan tidak baperan saya apresiasi," ujar Mardani di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (27/7/2019).

Namun, kata Mardani, PKS lebih memilih mengajukan anak muda yang sudah aktif di partai politik atau organisasi politik ketimbang mendukung Gibran-Kaesang.

“Kalau disuruh boleh milih mereka yang sudah aktif di parpol atau yang sudah sempat jadi ketua KNPI kemudian yang sudah aktif dalam organisasi, karena mereka sudah mulai dari bawah walaupun buat saya saatnya kita percaya kepada anak muda," tutur Mardani.

Sekretaris Jendral PDIP Hasto Kristiyanto mengatakan partainya memiliki mekanisme khusus untuk menjaring dan menyeleksi nama-nama potensial untuk maju dalam pilkada maupun pemilu.

Menurut Hasto, pemetaan politik harus dilakukan agar calon yang dipilih bukan hanya memiliki aspek popularitas, tapi benar-benar memiliki kualitas dalam memimpin.

Tak hanya itu, calon yang akan diusung juga merupakan hasil penjaringan seperti usulan dari tingkat bawah. Jika calon sudah terjaring, maka akan dilakukan sejumlah tes dan wawacanra, hingga survei di lapangan.

“Setelah itu kami lakukan sekolah partai. Prinsipnya pilkada jadi momen bagi PDIP untuk memperkuat mekanisme institusionalisasi kelembagaan dalam menghasilkan pemimpin yang baik,” kata Hasto di Hotel Mandarin Oriental, Jakarta Pusat, Jumat (26/7/2019) malam.

Hasto menambahkan semua nama yang mungkin memiliki elektabilitas untuk diusung dalam Pilkada 2020 mendatang akan dibahas dalam Kongres PDIP yang rencananya digelar 8 hingga 11 Agustus mendatang. “Pilkada, kan, 2020, nanti kami akan bahas dalam kongres,” pungkas Hasto.

Hal senada diungkapkan politikus PDIP Masinton Pasaribu. Namun, kata Masinton, meskipun keduanya anak seorang presiden, Gibran dan Kaesang tetap harus menjalani mekanisme kepartaian, seperti menjadi kader partai.

“Kalau di PDIP itu, kan, ada mekanisme kepartaian dalam proses penjaringan dan penyaringan para kandidat calon. Nah tentu akan menjadi lebih baik jika Mas Kaesang dan Gibran bisa daftar ke PDIP,” kata Masinton, di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (27/7/2019).

Meski begitu, kata Masinton, PDIP mengakui kualitas Gibran dan Kaesang sehingga bisa masuk dalam bursa calon wali kota Solo. Bahkan sudah ada partai yang melirik keduanya masuk dalam radar pencalonan.

“Itu menampakan kualitas putra Pak Jokowi, oke punya. Hahaha... Iya kan. Dia banyak yang melirik," jelas Masinton.

Jokowi sendiri mengaku sudah mengetahui hasil survei yang menempatkan putranya, yaitu Gibran dan Kaesang masuk dalam bursa Pilwakot Solo periode 2020-2025. Jokowi mengatakan sebagai orangtua akan mendukung jika kedua putranya memutuskan terjun ke dunia politik dan maju sebagai calon wali kota.

“Orang tua tuh bisanya hanya itu (mendukung). Kalau sudah diputuskan anak-anak, ya apa pun (termasuk terjun ke dunia politik). Jualan pisang saya dukung, jualan martabak saya dukung," kata Jokowi di Restoran Seribu Rasa, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (26/7/2019) malam.

Baca juga artikel terkait PILKADA SERENTAK 2020 atau tulisan lainnya dari Selfie Miftahul Jannah

tirto.id - Politik
Reporter: Selfie Miftahul Jannah
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Abdul Aziz