Menuju konten utama
Pendeta Suarbudaya Rahadian

Gereja Kami Menerima LGBTIQ karena Orientasi Seksualmu Tidak Salah

"Kami mengakui dan menerima LGBTIQ mula-mula sebagai lembaga agama, berikutnya baru hak asasi manusia."

Gereja Kami Menerima LGBTIQ karena Orientasi Seksualmu Tidak Salah
Ilustrasi Suarbudaya Rahadian. tirto.id/Lugas

tirto.id - RuPaul, maha ratu dari para drag queen, selalu menutup 'RuPaul Drag Race' dengan kalimat, “If you can’t love yourself, how in the hell are you gonna love somebody else?”

Jargon itu semacam moto hidup baginya. Semacam mantra untuk menerima diri sendiri, mencintai diri sendiri, agar bisa kuat dan nantinya berguna bagi orang banyak. Maka, selepas melempar jargon itu, RuPaul melanjutkan, “Can I get an amen?”, lalu disambut sorak amin oleh semua orang di studio.

RuPaul adalah seniman dan queer. Ia laki-laki gay yang terkenal memopulerkan seni Drag Queen sampai masuk ke ranah industri hiburan arus utama, lewat acara televisi RuPaul Drag Race. Di kalangan LGBTIQ, acara itu sering kali jadi oase sebagai mantra penerimaan diri sendiri dan komunitasnya.

Tak pernah sekali pun dalam hidup ini, saya terpikir bahwa kutipan populer dari RuPaul akan keluar dari mulut seorang pendeta, heteroseksual, dan laki-laki cisgender. Selasa siang, 3 September 2019, saya bertemu Pendeta Suarbudaya Rahadian, yang fasih dengan teori queer dan kajian teologi tentang LGBTIQ.

Rumah kerjanya di Gereja Komunitas Anugerah (GKA) Reformed Baptist adalah institusi agama pertama di Indonesia yang mendeklarasikan menerima dan mengafirmasi kelompok rentan LGBTIQ. Artinya, gereja itu tak mempermasalahkan orientasi seksual, ekspresi gender, dan ihwal lain dari kelompok tersebut—yang masih dianggap "dosa" dan "sesat" oleh komunitas agama lain.

Mendeklarasikan hal semacam itu tentu bukan tak mengundang respons-respons buruk. Dianggap sesat dan dikucilkan di kelompok Kristen sendiri bukan barang baru buat mereka.

“Banyak, kok, anggota yang masih kucing-kucingan dengan keluarganya untuk bisa beribadah,” kata Pendeta Suarbudaya sambil tersenyum.

Represi dan persekusi terhadap kelompok LGBTIQ Indonesia makin meningkat beberapa tahun terakhir. Sentimen anti-LGBT bahkan dipakai sejumlah pemerintah daerah untuk menerbitkan regulasi-regulasi diskriminatif yang meningkatkan kepanikan moral tersebut. Dengan dalih agama, Wali Kota Padang Mahyeldi Ansharullah, misalnya, membentuk tim ruqyah untuk “menyembuhkan” LGBTIQ yang dianggap penyakit.

Pertemuan saya dengan Pendeta Suarbudaya menjadi menarik karena mendengar penerimaan kepada kelompok LGBTIQ dari perspektif agama bisa dibilang masih jadi barang langka dalam konteks hari ini. Ia tak cuma bercerita tentang perdebatan homoseksualitas dalam Kekristenan, tapi juga menjabarkan fenomena “menyembuhkan” LGBTIQ yang sebenarnya bukan cuma salah kaprah tapi nirfaedah.

Kenapa Gereja Anda mendeklarasikan afirmasi kepada LGBTIQ?

Ceritanya sebetulnya sederhana saja. Gereja kami banyak didatangi orang berlatar belakang LGBTIQ. Orang-orang ini sebenarnya terpental dari komunitas agama karena orientasi seksualnya. Jadi, GKA ini berdiri tahun 2013 sebagai komunitas religius alternatif.

Jadi, orang-orang yang datang ke kami 90 persen adalah orang-orang ateis, agnostik, yang dulu pernah beragama tapi meninggalkan keimanan karena dianggap Kristen itu enggak relevan, rasional, enggak manusiawi dan sebagainya dan sebagainya.

Di antara pertanyaan-pertanyaan soal agama itu muncul pertanyaan soal apa sih pandangan-pandangan Kristen yang alternatif tentang LGBTIQ? Yang normatif jelas itu ditolak, harus dikonversi ke heteroseksual. Itu secara umumlah.

Karena kami banyak didatangi teman-teman (LGBT) dan didatangi jemaat, kami dibawa pada suatu posisi untuk memikirkan ulang kondisi heteronomativitas kami. Kami juga enggak langsung pada posisi terbuka sebenarnya. Maka, sejak dua tahun, 2015 sampai 2017, kami menggali kajian teologi, sejarah Kekristenan, kajian kitab suci, sampai kajian-kajian teori queer—teori seksualitas terkini.

Selama dua tahun itu akhirnya kami menyimpulkan: heteronormativitas atau yang normal itu cuma laki-laki hetero-cisgender dan perempuan hetero-cisgender itu bukan satu-satunya pandangan Kristen dalam sejarah tentang gender dan seksualitas. Kristen itu punya perjalanan panjang yang mengungguli bagaimana gender itu dikonstruksi dan bagaimana orientasi seksual dikonstruksi.

Buat kami sendiri, ini perjalanan spiritual. Perjalanan teologis juga. Dan juga perjalanan politik. Karena bicara mengafirmasi LGBT ini berarti melawan tatanan (masyarakat) kita yang hari ini menentang LGBT. Itu semacam pernyataan sikap politik karena kita tidak bisa memisahkan seksualitas dan gender dari konstruksi sosial dan politik. Gender, kan, bentukan sosial, bentukan norma politik.

Dan, bila kita menyatakan yang berlawanan dengan yang mapan, kita jadi berlawanan dengan kekuatan yang merasa terganggu—ya anggaplah kelompok yang konservatif, Kristen dan bukan-Kristen. Ataupun kekuatan negara, yang juga, meskipun tidak melarang, tapi tidak memberikan ruang kepada LGBTIQ.

Respons-respons apa saja yang didapatkan setelah gereja menerima LGBTIQ?

Tentu saja penolakan dari kelompok Kristen sendiri. Bahkan dari komunitas kami sendiri enggak semua orang menerima. Jadi, pada 2015 terjadi semacam dispute, perdebatan yang tidak teratasi sehingga banyak yang meninggalkan komunitas ini karena kami mengafirmasi LGBTIQ.

Urutannya sebenarnya begini: menolak, menerima dengan syarat—misalnya menerima orang LGBTIQ tapi tidak menerima orientasi seksualnya—dan yang terakhir, mengafirmasi.

Kami bukan sekadar menerima tapi juga mengafirmasi, sampai ke tahap ketiga. Bukan sekadar menerima orangnya tapi menolak perilakunya. Karena kami melihat orientasi seksual, ekspresi gender, ekspresi seksual itu satu bagian dengan identitas manusia.

Kami tidak bisa menerima orang tapi tidak menerima orientasi seksualnya. Itu sama saja menolak orangnya, sih.

Biasanya orang-orang ada di fase kedualah: Tidak membenci, menerima tapi dengan syarat. Kami menerima dan mengafirmasi. Itu mungkin yang membedakan.

Bagaimana respons dari kelompok Kristen sendiri?

Banyak pernyataan sikap terbuka, baik di sosial media maupun resmi dari lembaga yang mengatakan pandangan gereja (GKA) sudah menyimpang dari tradisi Kristen dan kitab suci dan sesat. Itu sudah jadi pandangan umum. Sampai hari ini pun saya tidak melihat ada komunitas Kristen lain sebagai institusi yang mengafirmasi posisi kami.

Palingan adalah individu-individu saja. Sejak 2015 sampai 2019, belum ada yang satu barisan dengan kami sejauh ini.

Apakah bikin ruang gerak GKA lebih terbatas?

Lebih terbatas ke komunitas Kristen. Itu sebabnya kami melakukan banyak kegiatan dan aktivitas pelayanan menggandeng komunitas non-Kristen, yang terbuka kepada LGBTIQ. Atau, individu-individu yang terbuka. Individu ini misalnya pendeta atau rohaniwan, hadir membantu kami dalam kapasitas sebagai pribadi. Bukan pemuka (yang mewakili) institusi.

Kajian apa yang akhirnya membuat GKA mengafirmasi?

Di Alkitab, ada ayat-ayat yang secara sekilas eksplisit menolak orientasi seksual nonhetero, eksplisit menolak ekspresi gender yang tidak cisgender.

Tapi, lagi-lagi, yang harus dipahami, Alkitab itu bukan kitab yang ditulis untuk semua orang di semua masa. Ia ditulis di suatu momentum waktu tertentu, sosial politik tertentu, situasi teologis tertentu. Maka, kami harus tahu konteksnya.

Teks-teks Alkitab yang eksplisit menolak LGBTIQ, misalnya di kitab Perjanjian Lama, di kitab Imamat, yang eksplisit bilang: Orang yang melakukan hubungan seks, laki-laki dengan laki-laki itu harus dihukum mati, misalnya.

Itu alam pikir orang Yahudi yang sedang membangun bangsa, sebagai kumpulan yang sedang membangun bangsa, orientasi itu menambah jumlah manusia. Atau prokreasi.

Jadi itu larangan yang mission-nya nation building. Pertanyaannya: Kita bukan menjadi seperti orang Yahudi hari ini? Kita orang Indonesia yang hidup di abad 21. Kita tidak sedang membangun sebuah bangsa.

Maka, teks itu tidak bisa berlaku apple to apple dengan kita. Ini juga berlaku terhadap teks Alkitab yang lain. Contohnya, perbudakan. Di Alkitab, dari halaman pertama sampai halaman terakhir, enggak ada tuh larangan perbudakan. Bahkan perbudakan di-endorse.

Bahkan Injil Baru bilang: budak harus tunduk kepada tuannya. Tapi, tidak ada orang Kristen, paling konservatif pun, yang setuju perbudakan hari ini.

Kalau cara baca Alkitabnya mau konsisten literalis, harusnya kamu tetap mendukung perbudakan. Atau poligami, misalnya. Sebenarnya kalau mau jujur, enggak ada teks Alkitab yang melarang poligami. Enggak ada.

Jadi, kalau ada orang Kristen bilang, di agama kami dilarang; dilarang karena tradisinya melarang, teks kitab sucinya tidak melarang. Tapi, bukan berarti itu dilarang, kita melakukan, kan?

Di Perjanjian Lama, parenting itu diatur. Salah satunya paling ngeri adalah anak yang membangkang terhadap orangtua harus dibawa ke Mahkamah Agama dan dihukum mati. Dirajam!

Tapi, saya pikir, enggak ada orang Kristen di dunia hari ini yang paling konservatif sekali pun mempratikkan merajam anak yang membangkang terhadap orangtuanya. Enggak ada yang sekonsisten itu. Mereka pasti akan berdalih: "Ini zaman dulu."

Pertanyaannya: Kenapa waktu kamu baca parenting kamu bisa berdalih tapi pas kamu baca LGBTIQ kamu literalis? Padahal itu teks yang sama.

Berarti, sebenarnya, ada semacam bingkai saat membaca kitab suci yang tidak disadari, memakai bingkai heteronormativitas.

Pertanyaannya bukan apakah kitab suci bilang atau enggak bilang, tapi kamu pakai kacamata apa saat baca kitab suci?

Kamu bisa membaca Alkitab secara Kristiani atau secara non-kristiani. Non-kristiani artinya apa? Artinya, membaca Alkitab dalam bingkai kebencian, dalam bingkai permusuhan, eksklusi, dan menyingkirkan yang kamu anggap berbeda dan mengancam. Itu yang mungkin banyak orang yang enggak sadar.

Itu yang mungkin kami sadar lebih dulu. Karena kami dulu bagian dari orang yang menentang (LGBTIQ). Tapi, dalam perjalanannya, kami sadar ternyata cara baca Alkitab kami salah.

Berapa jumlah anggota GKA sekarang?

GKA itu menarik. Komunitas yang tidak terlalu menekankan keanggotaan resmi. Secara komunitas, ikut ngumpul itu mungkin bisa seratusan lebih. Tapi, secara anggota resmi, mungkin cuma 50-an orang.

Setelah mendengar deklarasi tahun 2015, apakah banyak orang LGBT yang turut jadi anggota GKA?

Enggak juga. Jadi perlu dipahami: bahkan banyak teman-teman LGBTIQ yang nyinyir. Bagi mereka, justru saya ke gereja itu pengin sembuh. Pengin normal. Jadi gereja janganlah membuat kami tetap hidup dalam dosa. Ada juga LGBT yang masih denial. Beragam juga sih tanggapannya.

Tanggapan aktivis LGBTIQ?

Positif. Walaupun di awalnya enggak semua kelompok aktivis LGBTIQ percaya. Karena memang pengalamannya: banyak lembaga agama yang mengesankannya dirinya terbuka tapi setelah masuk ke dalam komunitas itu secara serius, pelan-pelan malah dikonversi.

Bahkan di Jakarta, ada banyak gereja yang mengesankan diri terbuka, inklusi, tapi nanti pelan-pelan dipaksa berubah. Kalau (GKA) enggak. Setelah satu-dua tahun, dia baru bisa benar-benar percaya sama kita.

Modus menambah jumlah umat? Yang ada jumlah umat kami makin sedikit setelah deklarasi. Ditinggalkan kelompok heteronormativitas di kelompok kami, ditinggalkan simpatisan kami selama ini maupun kelompok LGBTIQ yang heteronormativis.

Pada 2016, anggotanya 60-an orang, 70-an orang. Tapi, penurunannya bisa sampai 30 persen. Berkurang jadi sampai 30 orang.

Jadi, kenapa perlu deklarasi?

Karena kami menganggap mengkhianati pesan Injil bila kami tidak deklarasikan hal itu.

Injil, ide dasarnya, adalah keselamatan untuk seluruh kita. Keselamatan itu apa sih? Itu bahasa teologis untuk bilang keutuhan hidup. Bahwa well being seseorang atau mahkluk hidup apa pun itu diutuhkan sesuai dengan maksud Tuhan menciptakan mereka.

Jadi, bagi kelompok LGBTIQ, Tuhan menciptakan mereka sebagai kelompok LGBTIQ, harusnya hidup damai sejahtera bersama orang lain, menerima dirinya sendiri, menjadi orang yang punya harga diri, menjadi orang yang bisa bersyukur karena apa yang sudah Tuhan berikan kepada mereka.

Kalau kami menerapkan heteronormativitas, mereka enggak bisa dalam keutuhan. Mereka tetap akan hidup sebagai warga gereja kelas dua. Karena mereka tetap dianggap orang sakit. Dan kami enggak mungkin bisa setara kalau menganggap mereka sakit. Ada ketimpangan (di situ).

GKA melihat terapi konversi bagaimana?

Terapi konversi itu metode sangat merusak. Kami mendapat banyak cerita kesaksian teman-teman yang ikut berbagai ritual eksorsisme, pelepasan, atau konversi yang sifatnya sekuler: psikologi pseudosains.

Kenapa pseudosains? Karena menurut berbagai jurnal ilmiah dan panduan tata laksana gangguan jiwa, DSM, dan sebagainya, (LGBTIQ) itu sudah tidak dikategorikan gangguan. Sehingga kalau itu diperlakukan sebagai gangguan itu menyalahi kaidah ilmu pengetahuan.

Nah, orang-orang (LGBITQ) ini akhirnya apa? Depresi, tertekan, mengalami apa yang kita sebut depresi, PTSD, dan sebagainya.

Itu problem-problem yang tidak akan terjadi bila mereka bisa menerima dirinya. Tapi, mereka enggak akan bisa menerima dirinya kalau mereka menganggap dirinya salah.

Maka, mereka perlu diafirmasi. Mereka tidak salah. Kamu tidak salah. Orientasi seksualmu tidak salah. Yang salah adalah orang yang tidak menerima dirinya, tidak mengasihi dirinya sendiri. Bagaimana dia bisa mengasihi orang lain kalau dia tidak mengasihi dirinya sendiri?

Beberapa kawan LGBT—seperti yang Anda bilang “mungkin belum menerima dirinya sendiri’—berpikir ruqyah atau terapi konversi adalah ritual yang menenangkan…

Agama itu menjadi faktor yang membentuk cara diri kita melihat diri kita. Apalagi orang yang sudah beragama sejak kecil. Seseorang merasa dirinya jadi OK karena otoritas yang mereka yakini sebagai penentu kebenaran mengatakan mereka OK, dalam hal ini agama.

Selama puluhan tahun LGBTIQ hidup, mereka didikte, "Kamu salah, kamu salah, kamu masuk neraka, kamu tidak akan hidup sempurna."

Lalu, saat ada terapi konversi, akan memberi makan superego mereka. Superego itu kayak perangkat moral dalam diri seseorang yang jadi alarm kalau kita melakukan hal salah. Misalnya, kita bohong, alarmnya bunyi.

Alarm rasa bersalah itu jadi mati. Jadi, mereka tidak akan terganggu untuk sementara waktu. Maka banyak dalam acara-acara seminar terapi konversi kesaksian mantan transgender—sudah operasi ganti kelamin tapi ingin balik lagi—dan itu digembar-gemborkan, dipublikasikan dalam seminar-seminar berbiaya tinggi yang akhirnya bikin kepanikan moral di masyarakat.

Orangtua-orangtua melihat anaknya punya tendensi homoseksual akan ikut, merasa ada harapan, dan akan membayarnya dengan sangat mahal. Lebih-lebih, yang bersangkutan atau anaknya sendiri pengin (ikut). Kalau sudah begitu, kami enggak bisa melarang.

Maka, kami seringkali bilang, consider-lah. Consider kembali. Apakah kamu yakin konversi ini tidak akan melukai kamu? Apakah kamu bisa hidup dengan nyaman? Atau kamu sudah membohongi dirimu sendiri?

Tapi, kami justru punya sudut pandang lain. Pengalaman sejarah membuktikan tidak ada satu pun lembaga konversi yang sukses. Contoh yang paling besar di Amerika, Eksodus International, yang didirikan kalau enggak salah tahun 60-an sampai tahun 2012 tutup.

Presiden Eksodus Internasional bikin pengumuman 'metode yang kami pakai itu lebih sering mencederai ketimbang menyembuhkan.' Kenapa mengulangi kegagalan dari lembaga yang sangat besar dan mengalami kegagalan yang besar?

Dari hari ke hari, banyak orang dari posisi seperti kami dulu, heteronormatif, beralih menjadi orang-orang yang mengafirmasi, salah satunya karena pengalaman juga. Di samping landasan teologisnya bermasalah, landasan ilmiahnya bermasalah.

Ada begitu banyak problem di luar—kalau kita singkirkan konsep-konsep teoritik, secara empirik saja itu enggak berhasil. Jadi itu suatu penanda. Kalau dalam pengalaman empiris saja enggak berhasil, ada yang salah dalam metode. Harusnya ada pertanyaan itu. Nah, ini yang enggak dilakukan.

Aku enggak bisa membuktikan tapi aku mencurigai ada semacam upaya monetisasi, mencari keuntungan dari kepanikan ini. Supaya orang yang panik ini keluar uang banyak untuk itu.

Proses terapi konversi biasanya bagaimana?

Setahu saya, yang umum biasanya, kalau dalam tradisi Protestan yang Karismatik, kira-kira mengasumsikan segala bentuk penyimpangan natural atau kodrati penyebabnya dua: kuasa iblis atau setan dan karena dosa.

Dosa dalam Kristen bukan cuma pelanggaran moral tapi semacam defect, semacam pencacatan yang diwariskan dari Adam sampai semua umat manusia. Tapi orang yang ikut Yesus itu warisan dosanya akan dihapus, disucikan. Dia akan lahir baru. Maka, ada istilah Lahir Baru.

Nah, mereka menganggap homoseksualitas itu defect yang diturunkan dari Adam dan Hawa, tertinggal dan kebawa di dalam gen manusia, dalam jiwa manusia, yang bisa dibersihkan melalui upacara-upacara—kalau karena setan, ya eksorsisme atau bahasa Injilnya: pelepasan dari kuasa jahat. Semacam bentuk disiplin Kristen, reorientasi kehidupan Kristen.

Dalam Kristen itu ada istilah Pemuridan atau dalam istilah biasa itu "pengkaderan". Orang dibentuk cara berpikirnya, cara bersikap, cara berkata-katanya sesuai etika dan norma-norma Kristen. Lewat pengajian Alkitab, lewat modifikasi perilaku. Ini lebih mirip dalam psikologi CBT—Cognitive Behaviour Therapy.

Dulu, zaman orang belum mengerti masalah kebutuhan khusus, anak-anak dianggap nakal dididik seperti mendidik binatang. Kalau binatang di sirkus cara didiknya, kalau nurut dikasih makan, kalau enggak nurut dipukul terus. Itu punish dan reward. Sampai akhirnya terbentuk habit yang baru. Kurang lebih, (terapi konversi) itu bentuknya begitu.

Begitu orang-orang (LGBTIQ) menunjukkan perilaku-perilaku non-heteroseksual, dikasih punishment tertentu. Entah itu rasa bersalah, semacam pendisiplinan-pendisiplinan pada tubuh. Kalau orang itu bisa berperforma perilaku yang dianggap sesuai, akan dapat reward. Kalau dilakukan berulang-ulang, selama bertahun-tahun, (orang LGBTIQ) itu akan berubah juga, sih.

Tapi, pertanyaannya, akan sampai kapan bertahan? Seberapa permanen perubahan itu?

Dan seberapa dalam bekas trauma kepada orang itu…

Iya. Dan kalaupun berubah, bagaimana dampak harm-nya? Apakah itu harmful kepada orang itu? Itu juga harus jadi pertanyaan.

Eksorsisme itu berarti pembacaan ayat-ayat?

Dibacakan ayat-ayat, didoakan. Dan biasanya semacam katarsis. Orang (yang didoakan) menangis, menjerit-jerit. Cuma secara psikologi itu bisa dijelaskan (secara ilmiah). Itu fenomena katarsis.

Bayangkan, orang yang distigma selama berpuluh-puluh tahun, saat ini dikonfrontir dengan masalahnya. Waktu dikonversikan, dia enggak bisa lari. Dia disudutkan. Terus di-summoned terus. Tentu orang ini enggak punya self-defense mechanism. Akhirnya, yang keluar katarsis seperti menjerit-jerit.

Inilah yang biasanya disebut "jinnya keluar." Padahal, enggak ada hubungannya dengan jin. Siapa pun yang dipojokkan dengan cara seperti itu, kalau enggak kuat, ya, akan katarsis.

Kayak diospek aja, kan, ada yang orang "kesurupan". Itu bukan kesurupan. Karena ditekan terus, dia enggak punya ketahanan mental, supaya dia tetap waras akhirnya dia harus katarsis. Katarsisnya nangis, pingsan, jerit-jerit, kayak kehilangan kesadaran, suaranya berubah. Itu hal-hal yang sebenarnya ilmiah. Bisa dijelaskan.

Cuma, lagi-lagi, pengetahuan umum tentang struktur mental manusia, kejiwaan manusia, enggak banyak diketahui masyarakat. Jadi, semacam validasi: Benar, kan, kalau dia enggak dikuasai jin atau roh jahat, dia harusnya enggak kepanasan dan menjerit.

Menariknya, biasanya eksorsis-eksorsis ini berhasil atau berdampak terhadap orang-orang yang sudah religius sebelumnya. Kalau itu dipraktikkan terhadap yang tidak religius, yang ateis misalnya, itu enggak akan berhasil.

Itu cuma menarik keluar apa yang sudah ada di dalam dirinya sendiri. Kalau yang religius berdampak, dan itu yang dibesar-besarkan. Direkam video. Ada acara TV. Coba secara random diipilih orang yang agamanya beda, atau yang bepuluh-puluh tahun ateis, pasti enggak ada efeknya.

Yang dibicarakan GKA ini sebetulnya angin segar, apalagi buat mengangkat martabat manusia..

Betul. Buat human rights. Tapi, kami enggak bicara human rights-nya di depan. Biarlah pembelaan-pembelaan human rights-nya tafsiran orang saja.

Kami lembaga agama. Kami akan bilang kami mau me-reclaim kembali tafsir yang sudah direbut kelompok homofobik bahwa kami melakukan ini bukan karena human rights. Kami melakukan ini, first, karena kami Kristen. Yang kedua, baru karena human rights.

Kenapa kami pakai jargon itu? Karena biasanya orang Kristen itu mikir human rights itu sekuler. 'Kita (Kristen) ini orang beragama, harusnya landasan itu kitab suci dan tradisi iman. Kalau human rights itu narasi non-agamawi.'

Kami justru ingin bilang: Afirmasi kami kepada LGBTIQ justru dimulai dari jantung keyakinan agama kami. Human rights itu justru jadi lapisan keduanya. Maka, kami menyebut diri faith community, bukan human rights community.

Artinya, iman inilah yang jadi reaktor dari semua ini. Sumber dayanya dari situ.

________________

Laporan ini didukung oleh program Round Earth Media dari Internasional Women’s Media Foundation.

Baca juga artikel terkait LGBT atau tulisan lainnya dari Aulia Adam

tirto.id - Indepth
Reporter: Aulia Adam
Penulis: Aulia Adam
Editor: Mawa Kresna