Menuju konten utama
6 Februari 2003

Gerakan Mengakhiri Sunat Perempuan di Seluruh Dunia

Pada 6 Februari 2003, tepat hari ini 19 tahun silam, International Day of Zero Tolerance for Female Genital Mutilation (FGM) diperingati pertama kali.

Gerakan Mengakhiri Sunat Perempuan di Seluruh Dunia
Header Mozaik Menolak Sunat Perempuan. tirto.id/Tino

tirto.id - Pada 6 Februari 2003, tepat hari ini 19 tahun silam, International Day of Zero Tolerance for Female Genital Mutilation (FGM), atau Hari Anti Toleransi terhadap Mutilasi Alat Kelamin Perempuan pertama kali diperingati. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menjadi sponsor utama untuk hari peringatannya.

Ide utama peringatan ini adalah data tingginya risiko medis yang ditimbulkan dari praktik mutilasi kelamin perempuan. Mulai dari risiko jangka pendek mulai dari luka, kesakitan amat sangat, hingga kematian; sampai risiko jangka panjang seperti masalah ketika kencing, meningkatnya risiko komplikasi ketika melahirkan, hingga masalah-masalah psikologi seperti depresi dan kecemasan.

Di Indonesia, praktik ini secara luas dikenal dengan istilah lebih halus: sunat perempuan. Jika praktik sunat pada laki-laki lebih umum dilakukan, lain halnya jika praktik sunat dilakukan terhadap perempuan. Kontroversi pun terbentuk dengan melibatkan aturan agama, norma sosial, kesehatan, hingga etika dalam masyarakat modern.

PBB mendukung gerakan yang ingin meningkatkan perhatian pada isu ini karena alasan medis. Meski dikenal dengan berbagai terminologi seperti mutilasi kelamin, sunat, hingga pemotongan sebagian luar vagina, PBB memilih terminologi sunat. Hal ini karena salah satu studi pertama yang mereka lakukan menggunakan pendekatan antropologis. Istilah female circumcision atau sunat perempuan akhirnya diadopsi juga oleh World Health Organisation (WHO), lembaga di bawah PBB yang bergerak di bidang kesehatan.

Sejak awal penelitian, PBB memusatkan perhatian pada wilayah Timur Tengah, Afrika, dan Asia Tenggara: wilayah yang paling banyak menggelar ritual sunat perempuan. Di tiga wilayah itu, dan beberapa wilayah lain, hingga kini praktik sunat telah melibatkan lebih dari 100 juta perempuan. Dari jumlah tersebut, banyak perempuan yang disunat ketika usianya masih di bawah 5 tahun.

"FGM secara internasional dianggap sebagai pelanggaran terhadap hak asasi anak gadis dan perempuan. Ia berakar amat dalam pada ketidak-setaraan gender, dan membentuk sebuah diskriminasi ekstrem terhadap anak gadis dan perempuan," tulis WHO.

Aktivis feminis era 1970-an melawan praktik ini dengan mengangkat isu konsekuensi kesehatan. Kala itu istilah yang digunakan masih circumcision (sunat). Baru pada 1990-an istilah mutilasi alat kelamin mulai dipergunakan secara luas. ‘Mutilasi’ digunakan untuk menegaskan bahaya kesehatan yang ditimbulkan. Hingga kini, istilah itu digunakan untuk menyebutkan seluruh praktik mulai dari memotong sebagian, ataupun mengangkat bagian luar alat kelamin perempuan tanpa alasan medis yang mendesak.

Salah satu isu penting dalam studi mengenai praktik mutilasi alat kelamin perempuan adalah ketika melakukan klasifikasi. Pada 1997, United Nations Children’s Fund (UNICEF) yang menggunakan istilah mutilation/cutting, pernah mempublikasikan buku pendek Changing a Harmful Social Convention: Female Genital Mutilation/Cutting (2008:2).

Dalam buku itu, mereka menyebutkan bahwa klasifikasi sangat sulit dilakukan terutama karena para perempuan sendiri kerap tidak yakin dengan apa yang terjadi pada vaginanya. Hal seperti ini sering ditemukan pada perempuan yang vaginanya dimutilasi ketika usianya masih sangat muda bahkan bayi.

Pada 2017, Dr. Jewel Llamas, ahli kesehatan keluarga dari universitas North Carolina, mengelompokkan kategori mutilasi kelamin perempuan berdasarkan definisi yang diterima luas tersebut. Dalam artikel ilmiahnya "Female Circumcision: The History, the Current Prevalence and the Approach to a Patient" (2017), Llamas menerangkan tipe pertama adalah pengangkatan kulit dan sebagian klitoris. Tipe kedua adalah pengangkatan klitoris beserta labia. Sementara itu tipe ketiga adalah mengangkat seluruh klitoris, labia, dan menyisakan hanya sedikit untuk saluran menstruasi dan air seni. Tipe keempat merupakan kelompok praktik berbahaya lainnya yang belum tercantum.

Akan tetapi, menurut Llamas, kategorisasi ini tidak diterima secara penuh terutama di wilayah-wilayah yang secara aktif menjalankan praktik ini. Llamas bahkan menemukan salah satu studi yang dilakukan di Sudan, istilah ‘mutilasi’ dianggap ofensif. Mutilasi dianggap mendorong kesan kesengajaan untuk melukai dan menyebabkan luka berat.

Infografik Mozaik Menolak Sunat Perempuan

Infografik Mozaik Menolak Sunat Perempuan. tirto.id/Tino

Sejarah Mutilasi Kelamin Perempuan

Data sejarah perihal siapa dan di mana praktik ini dilakukan untuk pertama kalinya masih abu-abu. Meski hasil penelitian beberapa ahli merujuk pada era Mesir Kuno, semua masih belum pasti. Penelitian lain menemukan praktik ini dilakukan searah dengan jalur perdagangan budak yang menyebar dari Laut Merah bagian Selatan hingga ke bagian Selatan dan Barat Afrika melalui para pedagang Arab.

Selain itu ada juga temuan yang menyebutkan vagina para budak perempuan di Roma Kuno telah dimutilasi. Akan tetapi hampir semua rujukan itu mengarah pada isu mengenai moral, khususnya kepercayaan untuk menjaga agar perempuan tetap perawan. Mutilasi sebagian vagina dipercaya memungkinkan kaum perempuan untuk meredam libido seksualnya sehingga tetap perawan hingga dinikahi.

Masalah libido seksual perempuan rupanya juga menjadi isu yang mendukung praktik mutilasi. Pada 1896, John O Pollack, dokter yang tinggal di New York, memutilasi sebagian vagina seorang perempuan muda bernama Lizzie B. Sang ayah Lizzie melaporkan anaknya bisa melakukan masturbasi 20 hingga 40 kali dalam sehari. Melihat itu, ayahnya pun berkonsultasi dengan dokter dan meminta dokter melakukan mutilasi sebagian vaginanya. Maklum, kala itu praktik masturbasi sangat tidak bisa diterima dalam kehidupan sosial masyarakat.

Di kebudayaan Barat, pada akhir abad ke-19, gagalnya seorang istri dalam menikmati hubungan seksual dengan suaminya merupakan pertanda buruk. Berbagai penyebab pun disimpulkan secara serampangan mulai dari terlalu banyak masturbasi hingga kurangnya kesetiaan terhadap pasangan.

Jika merujuk pada hukum agama Islam, konsep khitan atau sunat sudah dikenal sejak zaman Nabi Ibrahim. Dalam tradisi Islam, sunat laki-laki diartikan sebagai kewajiban. Akan tetapi bagi kaum perempuan, sunat punya kontroversinya sendiri di zaman modern. Jurnalis Inggris Christopher Hitchens bahkan sempat terang-terangan menentang Islam karena alasan ini.

Seiring dengan semakin berkembangnya teknologi dan ilmu kesehatan, gerakan penolakan terhadap praktik ini pun semakin gencar. Dalam suatu kesempatan, Carol Bellamy, direktur eksekutif UNICEF, mencatat bahwa mutilasi dan pemotongan alat kelamin perempuan adalah pelanggaran hak-hak dasar perempuan dan anak perempuan.

Lebih lanjut Bellamy menegaskan bahwa praktik itu adalah prosedur yang sangat berbahaya dan berdampak negatif pada kesehatan secara umum. Usaha gerakan penolakan itu semakin terorganisir dan mendapat dukungan dari banyak pihak termasuk dukungan penuh PBB. Untuk mendukung gerakan ini juga, PBB menyiapkan rencana kerja jangka panjang dan mencanangkan visi dunia bebas mutilasi kelamin perempuan 2030.

"Pada hari peringatan International Day of Zero Tolerance for Female Genital Mutilation, bergabunglah bersama kami untuk mempercepat berakhirnya mutilasi alat kelamin perempuan, dan menjunjung tinggi hak asasi bagi semua anak gadis dan perempuan," ujar Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres.

Baca juga artikel terkait SEJARAH atau tulisan lainnya dari Tyson Tirta

tirto.id - Kesehatan
Kontributor: Tyson Tirta
Penulis: Tyson Tirta
Editor: Nuran Wibisono