Menuju konten utama

Gerakan Aku Cinta Rupiah yang Gagal Atasi Krisis Ekonomi 1998

Para birokrat dan pesohor berbondong-bondong merupiahkan simpanan dolar kala krisis moneter 1998 melanda. Ramai di pemberitaan, sepi di kenyataan.

Gerakan Aku Cinta Rupiah yang Gagal Atasi Krisis Ekonomi 1998
Orang-orang memeriksa sisa Plaza Sentral Klender yang hangus pada 15 Mei 1998. Kerusuhan melanda Jakarta ketika krisis ekonomi terjadi kala itu, yang dimulai dari melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. FOTO/REUTERS/Patrick De Noirmont

tirto.id - Nilai tukar rupaih terhadap dolar AS dalam beberapa waktu terakhir terus menurun. Bahkan, pada Selasa (4/9/2018) malam, nilai tukarnya mencapai level Rp15.000 per dolar. Meski kembali menguat menjadi Rp 14.959 pagi tadi pukul 11.00.

Karena kondisi ini, banyak pihak melayangkan kritik kepada pemerintah. Salah satunya dari bakal cawapres Sandiaga Uno yang menyatakan penurunan nilai rupiah bisa berakibat pada kelangkaan lapangan kerja. Sehingga, menurutnya, pemerintah wajib segera mengambil langkah konkret untuk mengatasinya.

Kondisi ini tentu saja membuat sebagian masyarakat mulai panik. Salah satunya karena kemungkinan naiknya harga BBM. Meski begitu, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menegaskan pelemahan mata uang rupiah terhadap dolar AS tidak akan memengaruhi harga BBM bersubsidi.

Ia pun membantah apabila pemerintah sempat memasukkan rencana menaikkan harga BBM bersubsidi tersebut sebagai opsi untuk menekan defisit neraca transaksi berjalan.

“Di dalam RAPBN (Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) 2019, sudah kami sampaikan kebijakan mengenai subsidi yang tetap sama,” kata Sri Mulyani di Kompleks Parlemen, Jakarta pada Selasa (4/9/2018).

Sri Mulyani juga menegaskan kondisi perekonomian Indonesia masih bagus dan meyakinkan masyarakat agar tak panik, terlebih penguatan dolar AS lebih disebabkan karena faktor eksternal (luar negeri). Menurutnya, saat ini pemerintah masih terus mengupayakan berbagai cara guna memperkuat pondasi perekonomian.

"Yang kami lakukan sekarang langsung pada fondasi ekonominya. Mana faktor yang dilihat oleh pasar sebagai titik lemah, kami perkuat," ungkap Menkeu kepada Tirto.

Kondisi perekonomian dewasa ini mengingatkan pada momen krisis moneter yang melanda Indonesia mulai Juli 1997. Kala itu perekonomian Indonesia tak siap menghadapi gejolak moneter. Jumlah utang jangka pendek dalam bentuk dolar AS membengkak. Jumlahnya mencapai 30-40 miliar dolar AS. Sistem perbankan Indonesia yang mengelola utang itu amburadul. Tak ayal ketika krisis moneter melanda, Indonesia dengan cepat terpuruk.

Pada Juli 1997, nilai tukar rupiah berada di kisaran Rp2.500 per dolar AS. Pada Oktober nilainya telah merosot jadi Rp4.000 per dolar AS. Lalu, pada awal 1998, rupiah kembali melorot hingga Rp6.000 per dolar AS.

“Bursa saham Jakarta hancur. Hampir semua perusahaan modern di Indonesia bangkrut, tabungan kelas menengah lenyap, dan jutaan pekerja diberhentikan dari pekerjaan mereka,” tulis M.C. Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern 1200-2004 (2008: 650).

Pemerintah Soeharto bukannya tak berbuat sesuatu. Namun kebijakan-kebijakan yang diambil tak efektif. Perjanjian-perjanjian dengan IMF sejak Oktober 1997 macet. Krisis tetap tak terbendung.

Gerakan Aku Cinta Rupiah

Di tengah kekacauan ekonomi itu, muncullah Gerakan Aku Cinta Rupiah (GACR). Advokat senior Amir Syamsuddin dan kawan-kawannya mencetuskan GACR di Jakarta pada Desember 1997. Amir Syamsuddin mengajak kolega-koleganya dari kalangan advokat, pengacara praktik, juga pengusaha untuk ramai-ramai menjual dolar dan mengambil rupiah.

Inspirasi Amir datang dari gerakan serupa yang lebih dulu terjadi di Korea Selatan. "Saya terharu melihat pelajar di Korea Selatan, yang meski hanya mempunyai beberapa dollar, rela melepas dollar itu, sebagai lambang kecintaan pada mata uangnya, won," ujar Amir Syamsuddin sebagaimana dikutip harian Kompas (18/12/1997).

Gerakan moral itu kian populer kala Siti Hardiyanti Rukmana alias Tutut menukarkan simpanan dolar miliknya di Bank Bumi Daya (BBD) Jakarta. Putri tertua Soeharto yang juga Ketua DPP Golkar itu sebelumnya telah mengeluarkan imbauan agar masyarakat lebih mencintai rupiah. Ia juga mengimbau para pengusaha besar Indonesia untuk mengikuti jejaknya.

Tutut merupiahkan simpanannya sekira $50.000. Saat itu kurs beli di BBD adalah Rp 6.450, sedangkan kurs jual Rp 10.150.

"Saya memenuhi imbauan pemerintah agar rupiah kembali dipercaya masyarakat. Saya juga mengimbau masyarakat, khususnya para konglomerat, untuk ramai-ramai menukarkan dollarnya agar rupiah makin menguat," kata Tutut dikutip Kompas (10/1/1998).

Sejak itu GACR bergulir ke mana-mana. Banyak kalangan yang kemudian mengikuti jejak Tutut. Seturut laporan Kompas (13/1/1998), para pewarta senior yang tergabung dalam Kelompok Editor Indonesia mengelar acara bertajuk Aku Cinta Rupiah di Lantai 4 Gedung Bank Indonesia, Jakarta, pada 12 Januari 1998. Sejumlah pewarta senior, pengusaha, birokrat, dan anggota DPR ikut dalam aksi tersebut. Total $650.000 mereka rupiahkan hari itu.

Gerakan serupa juga menjalar di beberapa daerah. Harian Kompas (14/1/1998) melaporkan, di Jawa Timur sejumlah muspida menukarkan sekitar $15.000 dengan kurs Rp 7.500 di BNI cabang Jalan Pemuda Surabaya. Gubernur Basofi Soedirman bersama Ny. Marie Basofi ikut serta menukarkan $4.200 dollar.

Sementara di Semarang, istri Gubernur Jawa Tengah Ny. Soewardi menyumbangkan 700 gram emas batangan lewat Bank Pembangunan Daerah (BPD). Di saat bersamaan Gubernur Jawa Tengah Soewardi dan sejumlah pengusaha ramai-ramai menukarkan simpanan dolar mereka di bank yang sama.

Infografik Aku cinta rupiah

Selain pejabat dan pengusaha, para artis pun tak ketinggalan. Pada 16 Januari 1998, beberapa artis menyerbu Kantor Pusat Bank Ekspor Impor (BankExim) dan merupiahkan dolar mereka di sana. Ikut dalam gerakan ini antara lain Dwiki Dharmawan, Neno Warisman, Titiek Puspa, Marissa Haque, Camelia Malik, Sys NS, Dedi "Miing" Gumelar, dan Didin.

Titiek Puspa mengaku hanya menukarkan 700 dolar. "Itu pun saya kumpulkan dari anak-anak saya. Yang penting bukan jumlahnya tapi bagaimana kita mencintai mata uang kita sendiri," katanya seperti dikutip Kompas (17/1/1998).

Gerakan yang Gagal

Meluasnya aksi menukar dolar dengan rupiah menunjukkan bahwa GACR cukup populer kala itu. Sampai-sampai muncul lagu anak-anak berjudul "Aku Cinta Rupiah" yang dilantunkan penyanyi cilik Cindy Cenora. Namun, berbanding terbalik dengan popularitasnya, GACR ternyata tak banyak berarti.

Survey yang dilakukan Litbang Kompas dan dipublikasikan pada 26 Januari 1998 menunjukkan hal itu. Secara umum terlihat bahwa sebagian besar masyarakat masih enggan untuk merupiahkan simpanan dolar mereka. Masyarakat mendukung GACR namun ogah terlibat.

Redaksi Kompas menulis, “Kesimpulan demikian terungkap dari hasil polling. Paling tidak, perilaku masyarakat menengah ke atas Jakarta ini tercermin dari pernyataan, sikap, dan tindakan mereka terhadap sosialisasi gerakan cinta rupiah. Dalam kampanye menjual dollar, misalnya, hasil polling mengungkap, sebagian besar (71 persen) masyarakat yang punya dollar, bersedia menjual. Namun, mereka yang menolak menyumbang secara sukarela pun tidak kurang besarnya. Tercatat, 63 persen pemilik dollar enggan merelakan miliknya.”

Survei itu juga mengungkap musabab keengganan masyarakat terlibat dalam GACR. Pertama, adanya anggapan bahwa bukan tanggung jawab mereka untuk menyelesaikan krisis ekonomi yang terjadi saat ini. Kedua, lantaran tak adanya jaminan transparansi terhadap dana yang telah mereka rupiahkan.

Baca juga artikel terkait NILAI RUPIAH atau tulisan lainnya dari Fadrik Aziz Firdausi

tirto.id - Ekonomi
Penulis: Fadrik Aziz Firdausi
Editor: Ivan Aulia Ahsan