Menuju konten utama

Gerak Dolar Melawan Rupiah

Perkembangan nilai tukar dolar AS terhadap rupiah mengalami pasang surut. Namun secara keseluruhan trennya menguat. Pada November 1949 nilai dolar AS hanya Rp3,8, kemudian pada akhir Orde Lama menjadi Rp235, lalu turun di awal Orde Baru, kemudian naik pesat setelah Orde Baru.

Gerak Dolar Melawan Rupiah
Petugas menghitung pecahan dolar AS di salah satu gerai penukaran mata uang asing di Jakarta. Antara foto/Rivan Awal Lingga

tirto.id - Di awal-awal kemerdekaan Indonesia, nilai tukar dolar AS terhadap rupiah masih sangat lemah. Nilainya hanya sebesar Rp3,80 per bulan November 1949. Tapi dolar secara perlahan menguat menjadi Rp7,60 pada Maret 1950; dan dolar AS menguat lagi pada Februari 1952 menjadi Rp11,40, bahkan Desember 1956 posisi dolar AS menjadi Rp31,00.

Setahun kemudian, kurs dolar AS terus naik menjadi Rp49,00 dan meningkat hampir dua kali lipat menjadi Rp90,00 pada Desember 1958. Pada Juli 1962, dolar sudah mencapai Rp1.205,00.

Tiga puluh delapan bulan setelahnya, pada Agustus 1965 dolar menanjak jadi Rp2.295,00 dan November 1965 mencapai Rp4.995,00. Ketika itu, kondisi politik dan sosial Indonesia kacau. Kudeta gagal 30 September 1965 membuat perekonomian makin kacau. Langkah pemerintah Orde Lama itu tidak mampu memperbaiki keadaan.

Di tahun-tahun terakhir Orde Lama yang dipimpin Soekarno, 1 dolar nilainya sama dengan Rp235,02. Ini adalah nilai rata-rata selama setahun dan tentu saja dari bulan ke bulan bahkan hari ke hari nilainya selalu berubah-ubah. Pemerintah kala itu menetapkan nilai tersebut berlaku di Indonesia hingga 1966, dengan maksud melindungi perekonomian.

Setelah kejatuhan Soekarno, nilai dolar AS sempat turun hingga Rp149,58. Ketika itu, Soeharto yang belakangan lebih dekat dengan Amerika Serikat dibanding Soekarno, baru saja naik sebagai orang nomor satu di Indonesia. Namun, dari 1967 hingga 1971, nilai dolar tiap tahunnya rata-rata melonjak sebesar Rp30 per tahun.

Dari tahun 1972 hingga 1977, nilai tukar dolar AS tertahan di angka Rp415,00. Di masa-masa ini, menurut Radius Prawiro, mantan gubernur Bank Indonesia, sejak 1973 pemerintah menyimpan cadangan dolar Amerika yang cukup banyak dari hasil penjualan minyak. Harga minyak dunia di tahun 1973 naik lebih dari 100 persen.

Menurut Hengki Purwoto dan Mudrajad Kuncoro dalam buku Transformasi Pertamina: Dilema Antara Orientasi Bisnis dan Pelayanan Publik (2009), harga minyak yang semula per barel hanya $2 naik mendadak naik menjadi belasan bahkan puluhan dolar AS tiap barelnya pada 1973. Tahun ini diingat sebagai booming minyak pertama. Sementara booming minyak kedua terjadi pada 1979, dengan harga minyak mencapai $30,00 per barelnya. Masa ini adalah masa-masa emas panen minyak.

Pada 1978, pemerintah bermaksud mendorong sektor ekspor Indonesia. Tak seperti di masa-masa sebelumnya, pemerintah membiarkan harga dolar terdepresiasi hingga level tertentu atau mengambang terkendali. Pada tahun tersebut, nilai dolar AS naik menjadi Rp442,00 untuk $1,00. Tahun berikutnya, dolar naik lagi menjadi Rp623,06. Kenaikannya mencapai Rp181,00.

Pada 30 Maret 1983, harga minyak dunia menurun tajam di pasaran. Pemerintah yang begitu mengandalkan sektor minyak dan gas (migas) pun babak belur. Perolehan devisa dari minyak tentu berkurang drastis. Pemerintah bahkan harus mendevaluasi dolar dari Rp702,00 hingga Rp970,00. Pemerintah tentunya berusaha menggalakkan ekspor nonmigas dan mengurangi impor dengan memakai produk dalam negeri.

Pada 1983, rata-rata nilai dolar Amerika menjadi Rp909.26. Tahun berikutnya tembus di angka seribu rupiah, tepatnya Rp1.025,94 sebelum akhirnya menjadi Rp10.013,85 pada 1998, saat krisis menerpa Indonesia.

Krisis menyebabkan terjadinya pergantian pucuk pemerintahan. Dengan terpaksa Soeharto lengser dari kursi kepresidenannya, dan B.J. Habibie yang menjadi Wakil Presiden harus naik menjadi Presiden Republik Indonesia sejak Mei 1998. Naiknya Habibie adalah masa berakhirnya Orde Baru.

Menurut Radius Prawiro, seperti ditulis dalam Menembus Batas: Damai Untuk Semesta (2008), “Selama 30 tahun Orde Baru, rupiah telah terdepresiasi sampai sekitar 70 persen dan pernah sampai 98 persen, yaitu pada 21 Januari 1998 ketika kurs dolar AS mencapai Rp16 ribu. Ketika harga dolar sudah tak terkendalikan, maka 8 Oktober (1998) pemerintah Indonesia meminta bantuan IMF.” Utang Indonesia pun bertambah lagi. Pada saat itu, sejumlah bank terbelit masalah sehingga sebagian harus ditutup.

Pada 1999, yang merupakan masa terakhir pemerintahan BJ Habibie, nilai dolar sudah turun ke Rp7.855,15. Memasuki tahun 2000, dolar sudah berada di posisi Rp8.421,77 dan di 2001 tembus ke angka Rp10.260,85. Tahun berikutnya dolar kembali turun dengan rata-rata Rp9 ribuan. Setelah era BJ Habibie, dolar terus bergerak naik, baik di zaman Megawati, Susilo Bambang Yudhoyono dan Joko Widodo.

Pada 2009, dolar sudah naik menjadi Rp10.389,94. Posisinya terus meningkat hingga menembus Rp13.389,41 pada 2015. Hingga hari ini, 3 Oktober 2016, jika dirata-rata nilai dolar sekitar Rp13.010,00.

Baca juga artikel terkait KURS atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Petrik Matanasi
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti