Menuju konten utama

Gerak Cepat Menghalau White Supremacy

Perusahaan internet ramai-ramai mencoba membendung gerakan white supremacy.

Gerak Cepat Menghalau White Supremacy
Shahak Shapira, seniman yang memprotes Twitter dengan membuat stensil yang diambil dari tweet ujuran kebencian dan menyemprotnya di depan kantor pusat Twitter di Hamburg. FOTO/Hyperallergic via YouTube

tirto.id - Pada 12 Agustus 2017, demonstrasi berujung kerusuhan terjadi di wilayah Charlottesville, Virginia, Amerika Serikat. Kerusuhan terjadi ketika demonstran kaum nasionalis meluapkan rasa kecewanya atas rencana perobohan patung seorang jenderal Konfederasi bentrok dengan kubu yang berseberangan. Sebuah kendaraan digunakan untuk menyerang pihak yang berseberangan, sehingga menyebabkan 3 orang tewas dan 35 orang luka-luka atas kerusuhan tersebut.

Pengendara mobil yang kemudian diketahui bernama James Alex Field Jr, didakwa dengan tuduhan pembunuhan tingkat dua atas perbuatannya. Sementara itu, tiga orang lainnya yang diduga merupakan otak kerusuhan ditangkap dan ditetapkan sebagai tersangka.

Peristiwa itu membawa kehebohan di dunia maya. Sebuah postingan blog yang berisi penyerangan korban oleh anggota white supremacy, dibagikan hingga 65.000 kali di Facebook. Postingan blog itu berupa sebuah unggahan yang memperlihatkan seorang bernama Heather Hayer diserang oleh kelompok white supremacy hingga tewas dengan cara ditabrak oleh kendaraan yang dikemudikan Fields Jr.

Baca juga: Alt-Right is Not Alright

Blog itu viral dan memicu serangkaian kecaman. Facebook akhirnya menghapus unggahan tersebut. “Kami akan selalu melenyapkan semua unggahan yang mempromosikan atau merayakan aksi kebencian atau terorisme, termasuk seperti apa yang terjadi di Charlottsville. Dengan potensi akan semakin banyaknya demonstrasi (serupa), kami (akan) mengamati situasi secara seksama dan akan (mencoba) menghilangkan ancaman fisik (yang mungkin ada),” ungkap CEO Facebook, Mark Zuckerberg seperti dilansir dari Business Insider.

"Saya tahu bahwa sebagian dari Anda akan bertanya dari mana datangnya kebencian ini. Sebagai seorang Yahudi, hal demikian menjadi keheranan dalam sebagian besar hidup saya," lanjutnya.

Menghapus Kebencian

Penggunaan media sosial dan juga internet untuk menyebarkan kebencian bukan sekali ini saja terjadi. Di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia, penyebaran kebencian lewat internet sangat mudah ditemukan. Beragam upaya untuk menutup arus kebencian itu tak kunjung membuahkan hasil

Masifnya penggunaan internet membuat upaya untuk meredam ujaran kebencian sangat sulit. Data yang dipacak dari Internet Live Stats menyebutkan, hingga hari ini, tercatat hampir 40 persen penduduk dunia telah terkoneksi internet setiap harinya. Sementara menurut Statista, tercatat ada sekitar 2,46 miliar pengguna media sosial pada tahun 2017 ini. Dengan angka-angka yang fantastis ini, maka penyebaran ujaran kebencian dengan mudah bisa terjadi secara masif.

"Halaman Facebook, memiliki implikasi yang sama besarnya dengan sebuah tank, dan terkadang (implikasinya) jauh lebih besar," ujar Danny Danon, anggota parlemen Israel. "Komputer dan keyboard adalah senjata. Facebook dan Twitter adalah medan perang," kata juru bicara pasukan pertahanan Israel.

Baca juga: KKK Gaya Baru dan Kebangkitan Supremasi Kulit Putih AS

Penyebaran kebencian melalui internet ini tentu membuat penyedia layanan, seperti Facebook bekerja keras untuk menghapusnya. Spotify juga melakukan hal serupa. Merujuk pemberitaan The Verge, beberapa musisi beraliran white supremacy memajang lagu-lagu mereka di Spotify. Setidaknya, dalam layanan Spotify, tercatat ada 37 musisi beraliran supremasi putih yang memajang lagu mereka di layanan Spotify. Atas pengaduan yang dilakukan Southern Poverty Law Center, Spotify menghapus lagu-lagu dari musisi-musisi tersebut. "Spotify (akan) bergerak cepat menghapus material seperti itu selepas kami diberi kabar (atas keberadaan lagu demikian," ungkap juru bicara Spotify.

Selain Spotify, musik-musik yang menggaungkan ide white supremacy juga bergelantungan di layanan iTunes milik Apple. Pada tahun 2014, setidaknya terdapat 54 band white supremacy yang menjajakan lagu mereka di iTunes. Apple merespons dengan menghapusnya dari layanan iTunes milik mereka.

Infografik Respons Perusahaan Internet

Selain pada Facebook, Spotify, dan Apple, gerak cepat menghalau white supremacy juga dilakukan oleh Google. Merujuk pemberitaan Hollywood Reporter, raksasa mesin pencarian itu, menolak situsweb bernama The Daily Stormer, yang mendukung nilai-nilai white supremacy, melakukan registrasi pada layanan-layanan Google. Diketahui, Google memiliki banyak layanan yang bertujuan mendukung kelangsungan hidup suatu situsweb. Layanan-layanan itu antara lain ialah Google Analitycs dan Google Adsense, tempat yang umumnya digunakan suatu situsweb atau blog mencari pendapatan.

Tak cukup ditolak Google, situsweb The Daily Stormer juga kemudian dienyahkan oleh GoDaddy. GoDaddy merupakan perusahaan penyedia layanan registrasi domain. Dengan langkah GoDaddy itu, praktis, domain situsweb The Daily Stormer, tak bisa diakses oleh pengguna internet di seluruh dunia.

Terakhir, layanan internet yang turut mencoba menghadang kekuatan white supremacy di dunia maya ialah Paypal. Sebagai layanan transaksi digital, Paypal kerap digunakan sebagai wadah pengumpulan dana bagi kalangan white supremacy. Keegan Hankes, analis pada Southern Poverty Law mengatakan, “dalam waktu yang telah lama, Paypal telah menjadi medium sistem perbankan bagi nasionalis putih.”

Merujuk pemberitaan The Washington Post, Paypal kini menolak layanannya digunakan sebagai medium pengumpulan uang bagi donasi atau pembayaran untuk kelompok-kelompok yang pro terhadap white supremacy. Paypal, dikatakan telah setuju menghapus 34 organisasi white supremacy menggunakan layanan mereka.

Baca juga: Di Sini Ada Muslim Cyber Army, di AS Ada Aktivis Anti-Muslim

Mereka yang Memperbolehkan White Supremacy

Serentetan aksi penghadangan tersebut membuat kaum white supremacy gerah. Mereka menilai bahwa seharusnya internet menjunjung tinggi kebebasan berpendapat. Sensor atau penghadangan, seharusnya berada di ranah pemerintah bukan perusahaan.

Atas dasar itu, lahirlah beberapa layanan yang memperbolehkan kaum white supremacy menggunakan layanan mereka. Gab.ai misalnya. Ia merupakan media sosial yang mempromosikan kebebasan berpendapat, termasuk pendapat dari kalangan white supremacy.

Selain Gab.ai, ada pula Infogalactic, sebuah layanan mirip Wikipedia, akan tetapi ditujukan bagi kalangan white supremacy. Lainnya, ada pula Hatreon dan WeSearch, layanan pengepul dana selayaknya Kickstarter. Untuk mengganti Google sebagai mesin pencari, terdapat nama GoodGopher. GoodGopher, mengklaim mengindeks situsweb-situsweb media independen. Di halaman utama Goodgopher, tercatat media-media yang mereka anggap independen semisal Natural News, Washington Times, dan Trump.news.

Baca juga artikel terkait UJARAN KEBENCIAN atau tulisan lainnya dari Ahmad Zaenudin

tirto.id - Teknologi
Reporter: Ahmad Zaenudin
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti