Menuju konten utama

Georges Melies Merana di Masa Tua Gara-gara Pembajakan Film

Praktik pembajakan sudah marak sejak awal pertumbuhan industri film. Georges Méliès terus merugi meski film-filmnya populer.

Georges Melies. FOTO/en.wikipedia.org

tirto.id - Pembajakan bukanlah masalah baru dalam dunia seni, termasuk film. Praktik pembajakan bahkan sudah terjadi sejak awal perkembangan industri film. Georges Méliès, salah satu pelopor dalam industri ini, adalah korbannya.

Semula, Marie Georges Jean Méliès yang lahir di Paris, Perancis, pada 8 Desember 1861 adalah seorang pesulap. Méliès mulai menggeluti dunia perfilman setelah melihat film pertamanya pada tahun 1895. Méliès lantas membeli kamera perekam dan secara seksama mempelajari teknologi perfilman.

Pada akhir tahun 1896, Méliès mulai mengaplikasikan pengetahuannya mengenai seni sulap dalam proses produksi film. Encyclopaedia Britannica menyebut, dialah sineas yang pertama kali membuat film fiksi naratif. Pada 1897, Méliès membangun studio di Montreuil-sous-Bois untuk produksi film profesional. Di sanalah dia menulis skenario, merancang set, hingga menggunakan aktor profesional untuk bermain dalam filmnya.

Dengan intuisi pesulap, dia menemukan dan memanfaatkan berbagai trik kamera dasar, mulai dari stop motion, slow motion, dissolve, fade-out, superimposition, hingga double exposure,” tulis laman Britanica.

Méliès juga disebut sebagai sineas pertama yang menerapkan efek spesial dalam filmnya. Hal ini menghasilkan film-film cerita bernuansa fantasi yang kemudian menjadi legendaris. Berkat itu semua, Méliès sempat mencicipi kegemilangan karier sebagai sineas.

Dalam rentang 1899-1912, Méliès telah membuat lebih dari 500 film yang sebagian besar di antaranya bergenre fantasi. Film-filmnya yang terkenal antara lain Cléopâtre (1899), Christ Walking on Water (1899), A Trip to the Moon (1902), The Voyage Across the Impossible (1904), dan Hamlet (1908). Namun, kariernya kemudian kandas karena film-filmnya dibajak.

Kristin Thompson dan David Bordwell dalam Film History: An Introduction (2003) menyebut, Méliès terpaksa mengakhiri kariernya sebagai sineas pada 1912 karena pembajakan yang masif atas film-filmnya membuatnya merugi dan kemudian terjerat utang. Lain itu, film-filmnya pun mulai dianggap mulai ketinggalan zaman.

Kritikus film David Robinson dalam bukunya George Méliès: Father of Film Fantasy (1993) menyebut, Méliès yang meninggal pada 1938 itu menghabiskan masa tuanya dalam keadaan miskin. Dia tinggal bersama istri mudanya di rumah Chateau d’Orly yang diberikan kepadanya atas jasanya dalam dunia perfilman. Dia dan istrinya hidup dari toko mainan anak-anak di stasiun Gare Montparnasse.

Pembajakan A Trip to the Moon

Berkat proyektor film Vitascope buatan Thomas Alva Edison, tempat-tempat pemutaran film kemudian segera menjamur di Amerika Serikat. Thompson dan Bordwell menguraikan dalam bukunya bahwa alat itu membawa keuntungan besar bagi Edison. Dia bermain cerdik dengan menyewakan hak penggunaan Vitascope, alih-alih menjualnya.

Hal sebaliknya terjadi pada bisnis distribusi film. Para distributor di masa itu selalu menjual kopi rol film dan bukan disewakan seperti saat ini. Cara ini jelas berisiko besar karena pada masa itu belum ada perangkat hukum yang mengatur soal hak cipta. Jadi, tak heran bila sirkulasi film sulit dikontrol dan praktik-praktik pembajakan merajalela.

Edison yang juga bisa disebut pelopor dalam sejarah perfilman pun meraup untung dari praktik pembajakan. Yang jadi korban kebanyakan adalah film-film impor dari Inggris dan Perancis. Karya-karya Méliès pun tak terkecuali.

Salah satu film Méliès yang jadi korban pembajakan adalah A Trip to the Moon. Matthew Solomon dalam pengantar editorialnya untuk bunga rampai Fantastic Voyages of the Cinematic Imagination: Trip to the Moon (2011) menjelaskan, film A Trip to the Moon sebenarnya adalah film yang laris. Penayangan perdana film itu di Perancis pada September-Desember 1902 di Théâtre Robert-Houdin selalu dipenuhi oleh penonton.

A Trip to the Moon mampu menarik perhatian banyak orang karena ia ditayangkan dalam format berwarna. Saat itu, Méliès mengecat setiap frame rol filmnya secara manual dengan teknik tinting. Daya tarik lain adalah gaya penceritaannya yang dinamis dengan koreografi tarian dan adegan aksi yang menarik.

Méliès mengeluarkan budget fantastis untuk produksi film itu, sebesar 10.000 francs atau setara dengan US$147.000 sesuai kurs 2019. Dengan modal besar itu, Méliès bisa menerapkan berbagai efek spesial dalam filmnya. Berbagai efek spesial yang masih jarang digunakan itulah yang kemudian ikut membuat film itu meledak di pasar.

Film itu juga jadi tontonan populer di Amerika Serikat. Méliès mulanya mendistribusikan salinan rol filmnya melalui dua kanal, yaitu penjualan langsung melalui Star-Film miliknya dan penjualan perantara melalu Warwick Trading Company di London, Inggris.

Selain itu, salinan tidak resmi film itu juga tersedia melalui beberapa produser film Amerika Serikat. Menurut satu sumber, salinan ini berasal dari rol yang dijual Méliès kepada fotografer Paris Charles Gerschel,” tulis Solomon.

Berdasarkan perjanjian dengan Méliès, Gerschel sebenarnya membeli salinan film itu untuk ditayangkan di Aljir, ibu kota Aljazair. Namun, Gerschel kemudian juga menjual salinan itu kepada Alfred C. Abadie, seorang pegawai Edison Company milik Thomas Alva Edison.

Edison Company lantas memperbanyak sendiri salinan itu dan kemudian menjualnya kembali. Pembelinya adalah para distributor film yang juga penyewa proyektor Vitascope. Sejak itu, salinan itu pun tersebar ke hampir seluruh Amerika Serikat dan tak ada yang mengontrolnya.

Sepanjang 1902-1903, A Trip to the Moon terus diputar di berbagai tempat di Amerika Serikat dan tak henti mendatang penonton. Meski begitu, Méliès hampir tidak memperoleh keuntungan dari filmnya itu karena persebaran salinan bajakan.

Infografik Georges Melis dan Pembajakan Film

Infografik Georges Melis dan Pembajakan Film. tirto.id/Fuad

Méliès Melawan Pembajakan

Menurut penelusuran Bordwell, Méliès sebenarnya sadar akan risiko pembajakan setidaknya sejak 1899. Dia pun telah memikirkan beberapa cara untuk mengantisipasinya. Contoh dari cara itu dapat disimak dalam arsip yang dikumpulkan Bordwell di blog pribadinya.

Salah satunya dengan membubuhkan tanda tangannya dalam beberapa set panggung filmnya. Misalnya, itu terlihat dalam film Diable au convent (1899). Cara lainnya adalah dengan membubuhkan logo Star-Film di beberapa set panggung film-filmnya setelah A Trip to The Moon.

Méliès, misalnya, menempatkan logo Star-Film Paris di sebuah plakat di dinding set gedung yang menjadi latar sebuah adegan dalam La Danseuse microscopique (1902). Dalam Le Voyage de Gulliver à Lilliput et chez les géants (1902), Méliès meletakkan logo Star-Film di sebuah gentong kayu di sisi kiri latar. Lalu, di film Le Tonnerre de Jupiter (1903), logo Star-Film muncul di tengah-tengah bingkai, tepat di bawah elang yang dinaiki Zeus.

Meski begitu, film-film Méliès tetap saja jadi sasaran pembajakan. Itu membuat Méliès tak bisa mengklaim keuntungan dari distribusi internasional filmnya. Méliès pun mulai kalah saing dari sineas lain yang melahirkan inovasi baru dalam produksi film seperti D.W. Griffin. Hal itu membuat efek-efek spesial khas Méliès menjadi ketinggalan zaman dan tak lagi memukau bagi penonton.

Usai pensiun membuat film pada 1912, nama Méliès pun tenggelam. Tapi, para penekun film tulen toh tak pernah melupakannya. Tak bisa dipungkiri pula bahwa karya-karya legendarisnya telah menginspirasi para kreator baru dari generasi yang lebih muda.

Untuk mengingat jejak karyanya, Biran Selznick membuat novel tentang dia yang berjudul The Invention of Hugo Cabret (2007). Sutradara Martin Scorsese lalu adaptasinya menjadi film berjudul Hugo yang rilis pada 2011.

Baca juga artikel terkait PEMBAJAKAN FILM atau tulisan lainnya dari Pia Diamandis

tirto.id - Film
Kontributor: Pia Diamandis
Penulis: Pia Diamandis
Editor: Fadrik Aziz Firdausi
-->