Menuju konten utama

Gen-Z, Intoleransi dan Pembaharuan Pendidikan Agama Islam

48,95 persen siswa/mahasiswa yang disurvei menilai pendidikan agama berperan memengaruhi agar tidak bergaul pemeluk agama lain.

Gen-Z, Intoleransi dan Pembaharuan Pendidikan Agama Islam
Warga melintas di depan mural bertemakan keberagaman dan persatuan bangsa di Jakarta, Jumat (18/8). ANTARA FOTO/Galih Pradipta

tirto.id - Generasi Z disebut-sebut sebagai generasi yang menghargai keberagaman. Akan tetapi, karakterisasi tersebut tidak membuat Generasi Z kebal dari bibit intolerasi.

Melalui survei nasional, Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta mengidentifikasi bibit intoleransi dari sikap keberagamaan Generasi Z di sekolah dan universitas. Survei ini menyoroti persepsi siswa, mahasiswa, guru dan dosen terhadap Pendidikan Agama Islam (PAI), hubungan agama dan negara, dan persoalan toleransi di Indonesia. Survei dilakukan dengan jumlah sampel sebanyak 2.181 orang yang terdiri dari 1.522 siswa, 337 mahasiswa, dan 264 guru di 34 provinsi di Indonesia.

Untuk persepsi mengenai PAI, survei PPIM menunjukkan 48,95 persen siswa/mahasiswa merasa “pendidikan agama memiliki porsi yang besar dalam memengaruhi mereka agar tidak bergaul dengan pemeluk agama lain”. Dengan kata lain, alih-alih berperan sebagai medium belajar menghargai perbedaan, pendidikan agama berpotensi membuat siswa merasa harus menjauh dari teman yang berbeda agama.

Hasil ini cukup mengkhawatirkan. Rekam jejak Indonesia dalam menjaga kebebasan beragama/berkeyakinan memang masih jauh dari sempurna. Menurut laporan Setara Institute sepanjang 2016 tercatat ada 208 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan di Indonesia.

Generasi Z, sebagai generasi pemangku masa depan, idealnya dibekali pendidikan yang membimbing mereka menjauhi diskriminasi. Menurut PPIM, pengajaran pendidikan agama Islam, semestinya juga “memperkuat civic values (kebebasan, persamaan, keadilan, toleransi dan persatuan) bedasarkan Pancasila dan UDD 1995”.

Alif (21 tahun), seorang Generasi Z yang merantau dari Aceh untuk kuliah di Universitas Indonesia, merasa PAI yang ia ikuti di SMA-nya di Aceh Besar belum membantunya dalam memahami isu-isu sosial keberagamaan.

“Pelajaran yang paling banyak gue dapatkan adalah cara doa gimana, cara solat gimana. Sedangkan, pelajaran agama yang dapat diterapkan dalam kehidupan sosial itu sedikit sekali,” ujar Alif kepada Tirto. “Menurut gue nggak ada sama sekali sorotan terhadap agama lain. Misalnya, kebaikan apa yang bisa kita pelajari dari kelompok agama lain."

Secara aturan, materi mengenai cara salat, berdoa, berpuasa, dan berwudu dengan benar memang hal penting dalam ritual ibadah sekaligus bagian dari kurikulum pelajaran Agama Islam di sekolah dan universitas. Namun, Pendidikan Agama Islam dapat dikembangkan sebagai pintu pembelajaran bagi siswa/mahasiswa untuk mempelajari Islam secara komprehensif agar bisa hidup secara harmonis dalam perbedaan.

Akan tetapi, problem dalam PAI di institusi pendidikan bukan satu-satunya. Kedekatan Generasi Z dengan akses internet juga membuka akses terhadap pandangan intoleran yang mengkerdilkan pentingnya nilai-nilai keberagaman. Temuan survei PPIM menunjukkan, lebih separuh siswa dan mahasiswa mendapatkan pengetahuan agama melalui internet seperti media sosial, blog, maupun situs berita daring.

Fenomena mencari informasi agama melalui internet didukung oleh hadirnya "ulama-ulama" di media sosial dan situs lainnya. Dalam analisis lanjutan, survei ini menemukan Generasi Z yang tidak memiliki akses internet memiliki opini lebih moderat dibandingkan yang terhubung dengan internet.

Temuan lain dari hasil survei ini juga menggali persepsi negatif siswa/mahasiswa dan guru/dosen terhadap aliran minoritas seperti Ahmadiyah dan Syiah. Sebanyak 30,99 persen (siswa dan mahasiswa) menyebut Syiah sebagai kelompok yang tidak disukai di urutan pertama. Sementara itu, 64,66 persen guru dan dosen menyebut Ahmadiyah di urutan pertama.

Dalam memahami gejala intoleransi, suara minoritas yang mewakili Generasi Z penting untuk didengarkan. Derril, generasi Z berumur 19 tahun, yang kuliah di jurusan Ilmu Ekonomi Universitas Indonesia, menceritakan pengalaman menjadi korban intoleransi yang dilakukan teman seumurannya.

Baca juga:

“Jadi kalau gue lagi santai sama dia, dia nggak bakal ada masalah, tapi kalau lagi cek-cok dikit langsung bawa-bawa fakta kalau gue Cina. ‘Dasar Cina’ gitu keluar,” jelas Derril kepada Tirto.

Hinaan rasialis yang diterima Derril relatif mudah ditemukan dalam praktik sehari-hari, termasuk dalam interaksi di kalangan Generasi Z. Dari pengalaman Derril juga tampak bahwa intoleransi tak hanya karena perbedaan agama, melainkan juga karena perbedaan ras, suku maupun etnis.

Rekomendasi Pembaharuan Pelajaran Agama Islam

Toleransi tidak boleh dilakukan hanya karena alasan pragmatis yaitu dilakukan sekadar untuk mencegah konflik. Andrew Cohen, dalam tulisan berjudul What Toleration Is (2004), memberikan definisi yang komprehensif soal toleransi. Ia menjelaskan toleransi sebagai “tindakan seseorang yang menahan diri secara sengaja dan berprinsip dari aktivitas yang mengintervensi mereka yang berlawanan (atau perilaku mereka, dll) di berbagai situasi yang melibatkan keberagaman, di saat individu tersebut meyakini ia memiliki kekuatan untuk ikut campur.”

Institusi pendidikan memegang peran krusial dalam menanamkan prinsip toleransi semacam itu agar menjadi basis dalam menyikapi berbagai situasi dan kondisi keberagaman. Dalam konteks pendidikan agama, PPIM UIN Jakarta merekomendasikan tiga rekomendasi perubahan untuk kurikulum Pendidikan Agama Islam (PAI). Dalam level materi, harus ada pengembangan literasi keagamaan melalui pendidikan lintas agama guna mengurangi prasangka buruk kepada kelompok agama yang berbeda.

infografik intoleransi gen z

Selain itu, siswa-siswi harus dibiasakan berpartisipasi aktif dalam aktivitas yang memberikan pengalaman keberagaman. Misalnya, bertukar cerita mengenai pengalaman perayaan hari keagamaan dan nilai-nilai kebaikan yang juga diajarkan agama lain. Sebagai rekomendasi terakhir, aktivitas pembelajaran pun harus dibuat interaktif yang mengkombinasikan berbagai bentuk materi pembelajaran.

Mastuki, Kepala Biro Humas, Data dan Informasi Sekretariat Jendral Kementerian Agama, menjelaskan saat ini sedang dilakukan berbagai strategi pengarusutamaan PAI yang moderat dalam materi buku pelajaran, proses pembelajaran, rekrutmen guru dan pendekatan kepada anak-anak yang merupakan anggota Rohani Islam (Rohis). Untuk aspek materi, Buku Pendidikan Agama Islam Rahmatan Lil ‘Alamin yang pendekatannya lebih kepada moderasi ajaran Islam sedang diujicobakan di 8 wilayah dalam dua tahun terakhir.

Untuk materi soal toleransi, PAI juga dirancang agar membiasakan siswa-siswi untuk menghargai kemajemukan.

“Anak-anak dikenalkan dengan berbagai pemeluk-pemeluk agama. Karena ini pendidikan Agama Islam di sekolah, maka akan lebih mudah diterapkannya. Karena tidak homogen. Anak-anak Islam bisa ketemu dengan anak-anak Kristen,” jelas Mastuki kepada Tirto.

Selain pembelajaran toleransi dalam level praktis, anak-anak juga diajarkan mengenai pemahaman Islam yang melihat keberagaman bukan sebagai sebuah realita yang harus dihapuskan.

“Bahwa ada Kristen, Hindu, Budha, dan seterusnya itu niscaya. Kemajemukan itu bagian yang tidak terpisahkan dari sunnatullah. Begitu [kira-kira] misalnya pengajarannya. Anak-anak lebih memahami keberagaman dan kemajemukan itu bagian dari sunnatullah. Ketika sunnatullah, maka tidak mungkin melakukan upaya pemaksaan harus homogen,” kata Mastuki.

Kementerian Agama juga berkomitmen untuk melalukan proses rekrutmen dan seleksi guru-guru PAI melalui pemberian materi yang fokus terhadap pemahaman Islam yang komprehensif dan moderat. Namun, menurut Mastuki, yang harus juga diperbaiki adalah prosedur pengangkatan guru Agama di sekolah yang saat ini belum terpusat.

“Guru agama di sekolah itu ada tiga pihak yang mengangkat. Kementerian Agama pernah melakukan pengangkatan tapi terbatas, yang paling banyak adalah dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan Pemda langsung. Inilah yang kita tidak bisa mengontrol guru agama seperti apa rekrutmennya,” jelas Mastuki.

Selain itu, diskusi mengenai tema-tema kebangsaaan dan relasi Islam dengan negara juga telah dilakukan dengan anak-anak yang menjadi anggota Rohis. Menurut Mastuki, informasi keagamaan yang "radikal" biasanya didapatkan oleh anggota Rohis dari mentor mereka di luar institusi pendidikan dan juga sumber-sumber di internet yang belum terverifikasi.

Baca juga artikel terkait GENERASI Z atau tulisan lainnya dari Terry Muthahhari

tirto.id - Pendidikan
Reporter: Terry Muthahhari
Penulis: Terry Muthahhari
Editor: Zen RS