Menuju konten utama

Gen Z: Aku Ingin Jadi Gamer

Bisakah meniti karier sebagai atlet e-Sport di Indonesia?

Gen Z: Aku Ingin Jadi Gamer
Ilustrasi Generasi Z lebih memilih game dari ponsel pintar ketimbang bermain di lapangan. Tirto.id/Arimacs Wilander

tirto.id - Aaron 'Mindfreak' Leonhart baru saja lulus SMA dan kini berfokus menjadi atlet e-Sport. Rutinitasnya? Ia berlatih delapan jam sehari selama lima hari dalam seminggu. Porsi latihan bahkan bisa bertambah jika ada kompetisi.

Aaron mulai meniti karier jadi gamer serius pada usia 14 tahun. Ia mendapat kontrak pertama pada usia 15 tahun bersama BOOM ID, salah satu tim atlet e-Sport profesional, untuk digembleng menjadi atlet gim profesional.

“Ukuran seorang pro [atlet e-Sport] atau tidak mungkin bisa dilihat dari pernah menang lomba atau tidak. Kalau casual gamer hanya main buat fun doang, kalau pro udah punya gaji dan hadiah,” katanya.

Ari Kurniawan, salah seorang manajer BOOM ID, mengatakan rekrutmen atlet tak hanya mengukur perkara kemampuan tapi juga kematangan mental. Ia agak memilih pemain yang sedikit berusia dewasa dengan dasar “bisa diatur dan bisa mengendalikan ego.”

“Pilihan pertama saya, cari yang bisa berkembang 1-2 tahun ke depan, usia 17-18 tahun, sehingga masih punya banyak waktu main,” katanya.

Aaron adalah bagian dari Generasi Z di Indonesia, lahir antara medio 1990-an hingga medio 2000-an, yang jumlahnya sekitar 68 juta orang pada 2010.

Salah satu dari hasil riset Tirto terhadap responden Generasi Z yang belum dipublikasikan—di antara hal lain—adalah mengenai cita-cita pilihan mereka. Berbeda dari hasil riset Gen Z (usia 7-21 tahun) di Jawa dan Bali, yang sudah kami tayangkan dalam bentuk laporan visual-multimedia, riset untuk mengetahui cita-cita tersebut kami tanyakan kepada 193 responden berpendidikan SD dan SMP dan berbasis di Jakarta.

Hasilnya, selain bercita-cita sebagai dokter (26,4 persen), sebanyak 9,8 persen ingin menjadi gamers. Berdasarkan pendidikan, ada 12,1 persen siswa SMP di Jakarta bercita-cita menjadi pemain gim. Mereka memilih cita-cita tersebut karena persepsi atas profesi (52,8 persen) dan minat pribadi (38,3 persen).

Cita-cita menjadi pemain gim ini sangat mungkin dipengaruhi terutama karena Generasi Z sangat akrab dengan teknologi telepon pintar. Menjadi gamer tentu saja sangat tak mungkin jadi pilihan anak-anak, katakanlah, di tahun 70-an dan 80-an. Pada masa itu, sebagian cita-cita anak-anak Orde Baru menjadi tentara, dokter, atau insinyur.

Dari hasil riset Tirto terhadap 1.201 responden Generasi Z di Jawa dan Bali, didapati 61 persen responden bermain gim dan mereka menghabiskan antara satu sampai tiga jam sehari (78,7 persen). Mayoritas jenis gim yang dimainkan adalah gim online atau aplikasi mobile (69,3 persen). Sementara untuk gim offline, sebanyak 71,6 persen memilih Playstation sebagai perangkat utama. Untuk gim online, sebanyak 75,4 persen menjawab bermain di telepon pintar.

Dari riset itu, sebanyak 20,7 persen responden suka bermain gim real time strategy. Berdasarkan gender, perempuan lebih menyukai gim simulasi (27,35 persen) seperti pacaran atau narasi pilihan, sementara laki-laki menyukai real time strategy (26,32 persen).

Mengutip laporan Casual Games Association & New Zoo, orang-orang di Indonesia memang tertinggi memainkan jenis gim strategi, baik spender maupun non-sepender, dibanding Filipina, Malaysia, Singapura, bahkan Thailand dan Vietnam.

Berdasarkan survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), ada 132,7 juta pengguna internet atau 51,5 persen dari populasi pada 2016. Berdasarkan riset terbaru Nielsen mengenai tren konsumen digital, yang dirangkum enam bulan pertama 2017, jangkauan internet telah mencapai 44 persen atau sekitar 24,4 juta orang dari 53,3 juta penduduk di 11 kota. Angka ini melejit pesat dibanding lima tahun lalu yang cuma 26 persen.

Data Statista menyebut kelompok usia 10-20 tahun memiliki proporsi tinggi dalam jumlah gamer. Berdasarkan gender, 21 persen gamer Indonesia berusia 10-20 tahun adalah laki-laki, sementara 15 persen adalah perempuan. Pada 2014, menurut data yang sama, pendapatan gim online mencapai 136,5 juta dolar. Generasi Z menjadi kelompok yang lebih banyak mengakses gim.

Untuk kategori gim mobile, Generasi Z Indonesia adalah populasi tertinggi dibanding negara-negara di Asia Tenggara seperti Thailand, Malaysia, Filipina, Vietnam, dan Singapura.

Jurre Pannekeet, analis pasar Newzoo, menyebut ada 8,5 juta penggemar e-Sport di Indonesia pada 2016. Ia menaksir angka itu bakal naik menjadi 19,8 juta pada 2019.

Seiring itu, angka pemain gim dari Generasi Z semakin meningkat karena harga konsol, akses internet, dan pertumbuhan gim mobile di gawai.

Sebuah laporan dari Indonesia-investments pada Januari 2016 menyebut pengguna gim online mencapai 43 juta orang. Rata-rata uang yang digunakan untuk belanja gim mencapai 13,3 juta dolar, sementara pendapatan dari industri gim online mencapai 321 juta dolar.

Newzoo, firma peneliti pasar global dari Belanda, memperkirakan nilai industri gim di Asia Tenggara sebesar 2,2 miliar dolar AS pada 2017 dan 21 persennya berasal dari Indonesia, negara berperingkat kedua pasar gim terbesar di Asia Tenggara setelah Thailand.

Apakah data-data di atas menjadi landasan kuat bagi anak-anak Gen Z yang bercita-cita sebagai gamer, termasuk pemain gim profesional e-Sport?

Eddy Lim, ketua Asosiasi e-Sports Indonesia (IeSPA), menyebut olahraga ini “berpotensi besar” di Indonesia seiring naiknya manajemen tim profesional. (Federasi e-Sports Internasional berbasis di Korea Selatan.)

“E-Sport berdasar kemampuan otak, semua orang punya kesempatan yang sama,” katanya.

Eddy Lim menyadari perkembangan atlet e-Sport di Indonesia masih terbatas. Meski begitu, ia optimis terutama seiring perkembangan teknologi yang makin pesat. “Atlet e-Sport naik [jumlahnya] karena banyak orang yang main gim,” katanya.

Kompetisi gim lokal dan internasional menjadi ajang bagi para klub-klub manajemen gim profesional untuk merekrut tim.

Komunitas gim Indonesia memiliki tim-tim unggulan. Beberapa jenis gim telah memiliki kompetisi yang reguler seperti DOTA2 dan Counter Strike: Global Offensive.

Perkembangan komunitas gim pada tahap pembentukan tim profesional yang prestasinya mendunia. Beberapa tim seperti Rex Regum Qeon untuk DOTA2 dan Team NXL untuk Counter Strike: Global Offensive sudah lazim berprestasi di kancah nasional maupun regional.

Saat ini, kata Eddy Lim, atlet e-Sport berasal dari pencarian bakat. Mereka menjalani pelatihan da pembinaan dari tim profesional. Ia menyebut jumlah tim profesional dan pemain gim reguler masih mencolok.

“Kalau jumlah tim yang tanding itu ratusan, tapi yang konsisten tanding dan tetap ada itu hanya puluhan,” katanya.

Infografik Gim Generasi Z

Dipupuk lewat Pembibitan dan Kompetisi

Meski masih terpusat di Jakarta, berdasarkan Asosiasi Olahraga Elektronik Indonesia, tim-tim profesional mulai tersebar di kota-kota besar seperti Bandung, Denpasar, Malang, Makassar, Surabaya, dan Yogyakarta. Persebaran ini bisa dipantau melalui kompetisi lokal. Banyak atlet dari pelbagai pelosok Indonesia. Individu berbakat ini yang lantas diambil Asosiasi untuk jadi atlet.

“Bakat itu muncul bukan karena dilatih, tapi karena tersedia,” katanya.

Hal ini dibenarkan oleh Marzarian Sahita, salah seorang manajer dari tim atlet e-Sport profesional BOOM ID. Ojan, begitu ia disapa, mengatakan kompetisi atau papan prestasi yang menunjukkan klasemen pemain sebuah gim digunakan untuk pencarian bibit atlet e-Sport. Sejauh ini ia menemukan beberapa orang dari kompetisi tersebut yang layak direkrut.

“Di Indonesia ini nganggepnya banyak talent e-Sport, tapi masih belum bangkit semua,” katanya. Ia percaya setiap atlet e-Sport punya potensi jika dibina dengan tepat.

Di BOOM ID, setiap gamer diperlakukan sebagai atlet profesional dengan gaji bulanan di atas UMR Jakarta. Tak hanya itu, manajemen BOOM ID memastikan setiap atlet mendapatkan perhatian yang sama.

Ada tiga tim yang dikelola oleh manajemen tim BOOM ID: tim yang fokus bermain DOTA2, Counter Strike: Global Offensive, dan gim mobile.

Ari Kurniawan, manajer lain tim ini, menyebut pengelolaan tim sebisa mungkin profesional. “Saat ini kami ada 10 player dan dua manajer,” katanya.

Di Indonesia, menurut Ari, belum ada panduan berapa gaji layak untuk atlet e-Sport. “Ada yang cuma dibayar Rp500 ribu, dan ada juga yang cuma disediakan boot camp dan makan saja, tapi ada juga yang sampai Rp15 juta per bulan,” katanya.

Nyaris seluruh tim BOOM ID tinggal di boot camp, sebuah rumah tinggal bersama antara atlet maupun manajer. Seluruh anggota tim berlatih di tempat tersebut dan melakukan latih tanding secara berka;a baik sesama tim di Indonesia maupun tim dari luar negeri.

Menurut Ojan, ada perbedaan tim pro dan yang bukan. Misalnya, jadwal latihan benar-benar dipatuhi, latihan tak sekadar main tapi juga menganalisis pertandingan dan melihat bagaimana cara kerja tim lawan.

“Kami juga punya sponsor,” ujar Ojan. “Memang tak semua tim pro punya sponsor, tapi salah satu syarat sponsor mau mendanai, ya [kalau] timnnya profesional.”

Di Indonesia, edukasi mengenai e-Sport mulai pelan-pelan dikenalkan di sekolah. Misalnya, SMA 1 PSKD di Jakarta Pusat menjadi salah satu sekolah yang paling awal menawarkan program e-Sport dalam kurikulum pada 016 lalu. Program ini bertujuan mencetak bibit-bibit baru atlet e-Sport sejak dini sehingga bisa menjadi profesional nantinya.

Beberapa gim kompetitif yang bakal siswa pelajari dalam program ini antara lain Dota 2, League of Legends, Hearthstone, dan Vainglory. Keempat game tersebut dibagi dalam dua paket fokus permainan, yaitu cabang utama (fokus di Dota 2 atau League of Legends) dan cabang sekunder (Hearthstone atau Vainglory).

Selain sekolah, kompetisi lokal mulai dibangun untuk melatih kemampuan atlet di pelbagai tim yang ada. Ini jadi penting untuk regenerasi atlet yang baru.

Baca juga artikel terkait GENERASI Z atau tulisan lainnya dari Arman Dhani

tirto.id - Teknologi
Reporter: Arman Dhani
Penulis: Arman Dhani
Editor: Fahri Salam