Menuju konten utama

Gelora Musik Nasyid dari Kampus: Tetap Syar'i Meski Makin Funky

Meski awalnya hanya tampil terbatas di acara-acara dakwah, banyak kelompok nasyid mulai digarap dengan profesional dan berhasil menjadi kelompok vokal yang menelurkan album

Justice Voice. FOTO/Istimewa

tirto.id - Tahun 1970-an gairah baru keislaman mulai hidup di kampus-kampus di Indonesia. Salah satu yang mendorong hal tersebut adalah kehadiran gerakan Tarbiyah yang mengadopsi dan mengembangkan model pengkaderan gerakan transnasional Ikhwanul Muslimin.

Nilai-nilai Islam disampaikan kepada para mahasiswa oleh murabbi melalui kelompok-kelompok kecil (halaqah atau liqa) di luar mata kuliah formal. Dari segi seni budaya diperkenalkan jenis hiburan baru yang bernama nasyid (bahasa Arab: senandung). Tentu hiburan ini tidak terlepas dari nilai-nilai Islam yang diusung. Lirik nasyid selalu berisi ajakan kebaikan dalam konteks Islam. Dari sini kemudian lahir grup-grup nasyid di kampus-kampus.

Saat gelombang reformasi datang di tahun 1998, sebagian besar penggerak gerbong Tarbiyah kemudian mendeklarasikan PK (Partai Keadilan). Partai politik ini mendaku sebagai partai dakwah. Beberapa tahun kemudian karena ada kebutuhan syarat elektoral, Partai Keadilan berganti nama menjadi PKS (Partai Keadilan Sejahtera).

Dalam berbagai kegiatan partai, grup-grup nasyid kerap dilibatkan untuk mengisi rangkaian acara. Dari kampanye, musyawarah nasional, sampai demo yang melibatkan partai, nasyid selalu hadir di atas panggung. Namun pada perkembangannya, seiring dengan strategi untuk menjaring pemilih yang lebih banyak, PKS mulai melonggarkan jenis hiburan yang ditampilkan pada beberapa hajatannya.

Ahmad Jilul Qur’ani Farid dalam PKS di Usia 20: Problem Senioritas dan Godaan Oligarkis menulis bahwa demi menjaring suara para pemilih muda, partai ini bersama para caleg mudanya sempat menggelar pesta pantai lengkap dengan disjoki (DJ) di Pantai Anyer.

“Meski bisa dianggap wajar, tetapi praktik semacam ini tidak lazim bagi kader PKS,” tulisnya.

Ia juga menambahkan, saat PKS menggelar kampanye di Gelora Bung Karno pada 2009, dan mengundang grup band Cokelat, seorang kader senior protes keras dan akhirnya keluar dari partai.

Sejak awal dan pada perjalanannya, tidak semua grup nasyid yang lahir dari rahim kampus berafiliasi secara langsung maupun tidak langsung dengan PKS. Ada juga yang lahir dari gerakan Hizbut Tahrir Indonesia yang sama-sama menjadikan kampus sebagai tempat pengkaderan.

Pasca-tahun 1990-an akhir, nama-nama grup nasyid kampus tidak begitu banyak yang populer. Sementara para pendahulunya yang mulai uzur dimakan usia perlahan dilupakan. Jika pun ada kemunculan grup nasyid baru, mereka mulai memakai berbagai varian musik. Padahal mula-mula nasyid yang popular di Indonesia berbentuk acapella.

Pemilihan acapella dilakukan karena dalam pandangan mereka musik (bunyi-bunyian yang berirama) itu hukumnya masih diperdebatkan.

“Karena itu daripada menanggung risiko terjerembab kepada perbuatan yang diharamkan agama, setidaknya statusnya yang tidak jelas dan problematis (syubhat), maka nasyid menyerupai acapella (bernyanyi tanpa diiringi musik) itu menjadi pilihan utama mereka dalam berkesenian,” tulis Ali Said Damanik dalam Fenomena Partai Keadilan (2002).

Dari Penyemangat Jihad hingga Funky Syar'i

Salah satu kelompok nasyid kampus yang berhasil menjulang dan besar adalah Izzatul Islam. Kelompok ini yang digagas oleh Bharata Adhi Dharma, seorang mantan anggota Paragita (kelompok Paduan Suara Universitas Indonesia) yang kemudian beralih menjadi aktivis dakwah kampus. Bersama Nurcholiq Ramdhan, mereka membentuk grup nasyid di lingkungan musala FMIPA UI sekitar tahun 1992.

Untuk penggarapan yang lebih serius, mereka kemudian melakukan perekrutan aktivis musala yang dikomandoi oleh Elva Wiseso dan Novi Hardian. Kemudian bergabung nama-nama baru: Afwan Riyadi, Agus Suharyadi, dan M. Cholid Riza.

Penggarapan album pertama didanai oleh para aktivis musala. Tanggal 8 Desember 1994, mereka mulai melakukan proses rekaman. Seperti ditulis di laman facebook Izzatul Islam, proses rekaman tersebut rampung dalam waktu 24 jam. Album pertama mereka bertajuk Seruan. Tanggal tersebut kemudian dijadikan hari lahir Izzatul Islam. Di album ini jumlah personel bertambah dengan kehadiran Ahmad Marzuki, Ali Amril, Irfan Santoso, Muhammad Ali, Bambang Suherman, Luqman Budiono, dan Irvandi Siahaan.

src="//mmc.tirto.id/image/2018/02/19/makin-syari-makin-funky--mild--fuad.jpg" width="860" alt="Infografik Makin syari makin funky" /

Salah satu nomor di album tersebut adalah "Tekad". Lirik nasyid ini menggedor-gedor. Berusaha memantik semangat jihad para pendengarnya. Diawali dengan kesadaran bahwa jalan dakwah yang mereka tempuh adalah jalan yang “penuh onak dan duri” serta “aral menghadang dan kezaliman akan dihadapi”, tapi dengan tekad dan rida di hati mereka rela menyerahkan jasad dan darah.

Setelah itu mereka menyatakan diri sebagai senjata yang siap digunakan oleh siapa pun asalkan untuk meraih keridaan Ilahi:

“Kami adalah panah-panah terbujur / yang siap dilepaskan dari busur / tuju sasaran siapapun pemanahnya.

Kami adalah pedang-pedang terhunus / yang siap terayun menebas musuh / tiada peduli siapapun pemegangnya.

Kami adalah tombak-tombak berjajar / yang siap dilontarkan dan menghunjam / menembus dada lantakkan keangkuhan.

Kami adalah butir-butir peluru / yang siap ditembakkan dan melaju / dan mengoyak menumbang kezaliman.”

Sampai tahun 1996, Izzatul Islam telah menambah lagi dua album, yaitu Ramadhan dan Untuk Sebuah Cita. Di tahun itu pula Bharata Adhi Dharma yang menjadi penggubah nasyid dan motivator tim mengundurkan diri. Hal itu tentu menjadi pukulan berat bagi Izzatul Islam. Mereka baru bisa menelurkan album lagi pada 1999 bertajuk Kembali.

Di album ini mereka masih mempertahankan cirinya, yaitu menggelorakan semangat jihad meski di beberapa nomor digarap dengan warna sendu: “Untukmu Syuhada”, Surat Meuthia Kepada Purnama”, dan “Selamat Tinggal Sahabat”.

Izzatul Islam menjadi salah satu grup nasyid yang bernapas panjang. Meski telah beberapakali berganti personel, tapi sampai hari ini mereka masih tampil di berbagai panggung dan telah mengeluarkan 15 album: Seruan (1994), Ramadhan (1995), Untuk Sebuah Cita (1996), Kembali (1999), Berderap di Jalan Panjang (2000), Tak Sekadar Kata (2001), Persembahan Kami (2002), Jiwa (2003), Pewaris Negeri (2004), Al Aqsha Memanggil (2005), Dtak (2007), Persembahan Kami (2009), Hai Sahabat (2011), Al Quds (2012), Perjuangan (2017).

Setelah Izzatul Islam, ada pula kelompok nasyid kampus bernama Suara Persaudaraan. Kelompok yang lahir dari kampus Universitas Brawijaya ini banyak mengusung tema keluarga. Dalam “Bergegaslah”, Suara Persaudaraan bahkan mengisahkan pentingnya lekas menikah.

Dengan memakai bandara Hang Nadim, Batam, sebagai latar penceritaan yang digambarkan sibuk dan panas, grup nasyid itu melihat wajah-wajah yang “penuh cinta dan harapan, serta merindukan sebuah tempat persinggahan.”

Mereka lalu menasihatinya dengan penggalan lirik ini:

“Duhai kawan bergegaslah kuatkan azzam di hati / dampingi hidup mereka dalam curahan kasih Ilahi / Duhai kawan agar tak lapuk usiamu / sirna ditelan masa dalam lumpur kebimbanganmu.”

Meski mendorong pendengarnya untuk segera menikah, akan tetapi Suara Persaudaraan menyadari betul bahwa selalu ada perang batin dalam setiap pengambilan keputusan dalam hidup, termasuk keputusan untuk menikah. Hal ini mereka tuangkan dalam nasyid bertajuk Hasrat Hatiku:

“…Namun pernikahan begitu indah kudengar / membuatku ingin segera melaksanakan / Namun bila kulihat aral melintang-pukang / hatiku selalu maju mundur dibuatnya…”

Setelah tema jelang pernikahan, para alumnus Universitas Brawijaya ini pun melanjutkannya dalam “Dialog Dua Hati” yang berisi tentang pasangan suami istri dalam mengarungi bahtera rumah tangga.

Selain nomor-nomor di atas, mereka juga menulis lirik tentang romantisme belajar mengaji waktu kecil (“Kenangan bersama Ayah”, melepas kepergian ibu (“Sejagad Kasih Ibu”), dll. Sepanjang mereka berkarya, ada beberapa album yang berkesan bagi para pendengarnya: Bara dalam Tazkiyah, Balada Sebuah Dangau, Latar Dunia Islam, dan Melodi Rindu dari Ufuk Kalbu.

Kelompok nasyid kampus ini punya keunggulan: mereka berusia muda, dan bisa berpikir seperti anak muda. Mereka juga sadar bahwa musik nasyid yang digarap dengan tema anak muda berpotensi untuk sarana dakwah pula. Pendekatan itu pula yang kemudian dipakai oleh Justice Voice.

Grup nasyid asal Yogyakarta ini dibentuk pada Desember 1998. Beberapa album mereka hadir dengan gaya anak muda. Materi tiga album pertamanya yaitu Baru Gede (2001), Lihat Dunia (2003), Senyum Dong Fren! (2004) cukup pas untuk menggaet para pendengar muda yang belum terbiasa atau bahkan belum mengenal nasyid sama sekali. Slogan mereka adalah “Nasyid Funky tapi Syar’i”.

Tema lirik di jalan dakwah yang dilakoni oleh grup-grup nasyid memang berbeda-beda. Gelora jihad, harmoni keluarga, dan kehidupan remaja yang dinamis belum semuanya mewakili ceruk dakwah yang teramat luas. Lebih dari itu, ternyata grup nasyid jebolan kampus yang sempat populer di tahun 1990-an dan membekas di benak para pendengarnya, ternyata mengalami dinamika juga.

Baca juga artikel terkait DAKWAH atau tulisan lainnya dari Irfan Teguh

tirto.id - Musik
Reporter: Irfan Teguh
Penulis: Irfan Teguh
Editor: Nuran Wibisono
-->